Begini Strategi Sri Mulyani Agar APBN Enggak Ngos-ngosan Genjot Ekonomi 2023

Kamis, 17 Februari 2022 – 07:18 WIB
Menteri Keuangan Sri Mulyani bakal merancang kebijakan agar pemulihan ekonomi 2023 tidak mengandalkan APBN. Foto: Ricardo/JPNN.com

jpnn.com, JAKARTA - Menteri Keuangan Sri Mulyani menegaskan pertumbuhan ekonomi 2023 tidak akan bergantung pada APBN.

Pemerintah akan menyusun APBN 2023 dengan memperhatikan ancaman pandemi serta tantangan-tantangan baru seperti inflasi global.

BACA JUGA: Sri Mulyani Buka-Bukaan soal Duit untuk Pemulihan Ekonomi, Angkanya Bikin Kaget

Sri Mulyani menyebut pemerintah bakal mendorong non-APBN untuk menjadi motor petumbuhan ekonomi.

"Tadi konsumsi investasi ekspor seperti yang disampaikan oleh Pak Menko (Airlangga Hartarto) di mana kenaikannya cukup tinggi dan juga yang berasal dari institusi keuangan seperti perbankan," ujar Sri usai mengikuti Sidang Kabinet Paripurna di Kantor Presiden, Jakarta, Rabu (16/2).

BACA JUGA: Sri Mulyani Berbagi Kabar Baik, Bikin Sejuk

Menurut Sri Mulyani, saat ini perbankan dengan dana pihak ketiga mencapai Rp 7.250 triliun dan loan to deposit ratio hanya 77 persen.

Hal itu merupakan ruang untuk memulai mendukung pemulihan ekonomi dengan menyalurkan kredit.

BACA JUGA: Sri Mulyani Puji Kinerja BRI dalam Mengangkat Potensi Ultra Mikro

Pertumbuhan kredit saat ini juga mulai pulih dan tumbuh di 5,2 persen, dari sebelumnya mengalami kontraksi pada tahun lalu.

Kedua, kata Sri, sumber pertumbuhan juga berasal dari pasar modal, dalam hal ini pasar saham dan obligasi. Pasar saham mencapai Rp 7.231 triliun dan selama ini naik 3,77 persen, sementara pasar obligasi yang mencapai Rp 4.718 triliun naiknya 9,65 persen.

"Bisa menjadi sumber bagi pemulihan ekonomi dengan perusahaan-perusahaan bisa melakukan IPO rights issue maupun mengeluarkan obligasi. Ini karena investor domestik kita sekarang sudah mencapai 7,5 juta investor," tambahnya.

Eks petinggi Bank Dunia itu menjelaskan Indonesia termasuk sebagai negara dengan pemulihan ekonomi yangsudah bisa mencapai level sebelum pandemi Covid-19, bahkan di atasnya.

Hal tersebut didukung oleh pemulihan baik dari sisi permintaan seperti konsumsi, investasi, dan ekspor, maupun dari sisi produksi, yaitu manufaktur, perdagangan, dan konstruksi.

"Ini adalah suatu pemulihan yang cukup cepat hanya lima kuartal kita sudah bisa kembali ke GDP sebelum terjadi musibah Covid," ungkapnya.

Padahal, lanjut dia, banyak negara-negara di tetangga, bahkan di ASEAN maupun emerging country di dunia yang belum mencapai pre-Covid level.

"GDP-nya masih ada di sekitar 94 sampai 97 persen," imbuhnya.

Lebih jauh, Sri menyampaikan Presiden Jokowi ingin pemulihan ekonomi didasari pada produktivitas yang tinggi.

Menurutnya, hal itu bisa tercapai jika ada perbaikan sumber daya manusia (SDM), infrastruktur, dan kualitas birokrasi serta regulasi.

"Yang akan menjadi pokok bagi Kerangka Ekonomi Makro dan Pokok-Pokok Kebijakan Fiskal (KEM PPKF)," ucap dia.

Pemerintah juga mengidentifikasi pusat-pusat atau tren baru dari pertumbuhan ekonomi yang berasal dari beberapa hal.

Pertama, sisi pola hidup normal baru sesudah pandemi, terutama berbasis kesehatan.

Kedua, reformasi di bidang investasi dan perdagangan.

Transformasi di sektor manufaktur baik itu industri mesin, elektronik, alat komunikasi, kimia, dan hilirisasi mineral menjadi sangat penting untuk menjadi roda atau lokomotif bagi pemulihan ekonomi.

"Ketiga, yang perlu untuk terus ditingkatkan adalah kesadaran ekonomi hijau di mana nilai ekonomi yang berasal dari karbon dan teknologi energi terbarukan akan menjadi sumber atau diandalkan menjadi sumber pertumbuhan yang baru," kata dia.

Sri menambahkan target itu akan didukung oleh APBN untuk 2023 dengan harapan pertumbuhan ekonomi di kisaran 5,3 hingga 5,9 persen.

Kendati demikian, Sri Mulyani mengaku mewaspadai lonjakan inflasi dunia, terutama di negara-negara maju.

Tercatat, Amerika Serikat mengalami inflasi sebesar 7,5 persen pada Februari ini dan hal tersebut akan mendorong kenaikan suku bunga dan pengetatan likuiditas.

"Tentu ini akan memberikan dampak spill over atau rambatan yang harus diwaspadai yaitu dalam bentuk capital flow akan mengalami pengaruh negatif dari kenaikan suku bunga, dan juga dari sisi yield atau imbal hasil dari surat berharga, yang tentu akan mendorong dari dalam hal ini biaya untuk surat utang negara," jelasnya.

Selain di negara-negara maju, inflasi juga terjadi di negara-negara berkembang, seperti Argentina dengan inflasi mencapai 50 persen, Turki 48 persen, Brasil 10,4 persen, Rusia 8,7 persen, dan Meksiko 7,1 persen.

"Kenaikan inflasi yang tinggi tentu akan bisa mengancam proses pemulihan ekonomi karena daya beli masyarakat tentu akan tergerus. Ini yang akan diwaspadai," tandas Menteri Keuangan Sri Mulyani. (tan/jpnn)

Jangan Lewatkan Video Terbaru:


Redaktur : Elvi Robia
Reporter : Fathan Sinaga

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler