Sri Mulyani Sebut Indonesia Rugi Rp 112,2 Triliun Akibat Perubahan Iklim

Kamis, 15 September 2022 – 08:07 WIB
Menteri Keuangan Sri Mulyani mengatakan Indonesia bisa kehilangan potensi ekonomi Rp 112,2 triliun pada 2023 akibat perubahan iklim. Foto: Dok HSBC

jpnn.com, JAKARTA - Menteri Keuangan Sri Mulyani mengatakan Indonesia bisa kehilangan potensi ekonomi Rp 112,2 triliun atau 0,5 persen dari produk domestic bruto (PDB) pada 2023 akibat krisis perubahan iklim.

Sri Mulyani menjelaskan tanda-tanda terjadinya krisis perubahan iklim bisa dilihat dari kenaikan emisi gas sebesar 4,3 persen dari 2010-2018, suhu udara yang naik 0,03 derajat celcius tiap tahun serta tinggi permukaam laut yang naik 0,8-1,2 sentimeter.

BACA JUGA: Sri Mulyani Minta Belanja Negara 2023 Ditambah Rp 19,4 Triliun, Ternyata...

“Pada 2030, Indonesia bisa kehilangan potensi ekonomi akibat krisis perubahan iklim sebesar 0,6 – 3,45 persen dari GDP. Salah satu institut di Swiss membuat laporan bahwa dunia akan kehilangan potensi ekonomi hingga 10 persen jika kesepakatan Paris Agreement untuk mencapai emisi nol pada 2050 tidak tercapai,” jelas Sri Mulyani dalam acara HSBC Summit 2022: Powering the transition to net zero, Indonesia’s pathway for green recovery di Jakarta, Rabu (14/9).

Sri Mulyani menegaskan pemerintah pun berkomitmen untuk mengurangi emisi lewat kesepakatan Paris Agreement yaitu menurunkan 29 persen emisi C02 dengan upaya sendiri serta 41 persen CO2 dengan bantuan internasional pada 2030.

BACA JUGA: Kabar Baik dari Sri Mulyani untuk Pemda yang Mampu Menjinakkan Inflasi

Pemerintah sudah mengalokasikan anggaran untuk tindakan mitigasi dari perubahan iklim. Tetapi untuk mencapai target tersebut perlu sumber dana yang besar yaitu sekitar Rp 3.461 triliun atau Rp 266 triliun per tahun.

Di sisi lain, APBN hanya mengalokasikan Rp 89,6 triliun per tahun atau 3,6 persen dari total pengeluaran pemerintah.

BACA JUGA: Harga Minyak Dunia Turun, BBM Tetap Naik, Begini Alasan Sri Mulyani

"Karena itu untuk bisa mencapai target pembangunan rendah karbon dan nol emisi, perlu bantuan daru banyak pihak,” ungkap Sri Mulyani.

Sri Mulyani mengakui proses transisi tidak mudah dan memiliki banyak implikasi.

Di negara lain proses transisi ke ekonomi hijau menghadapi banyak tantangan khususnya di sektor energi.

“Transisi bisa menimbulkan biaya hidup yang meningkat di tahap awal. Ini makin menantang ketika ekonomi global tengah menghadapi laju inflasi yang tinggi dan juga masih rentan setelah bangkit dari pandemi serta memunculkan sejumlah pilihan politik yang tidak mudah,” jelas Sri Mulyani.

Karena itu, kata dia, pemerintah melalui kebijakan fiskal terus mendukung inisiatif transisi energi. Presiden Jokowi sudah mengumumkan di acara CO26 di Glasgow tentang bagaimana Indonesia terus melanjutkan upaya mencapai emisi nol dengan meluncurkan mekanisme transisi energi.

"Indonesia juga sudah meluncurkan platform mekanisme transisi energi di pertemuan menteri keuangan G20, Juli lalu," ujar Sri Mulyani.

Presiden Direktur HSBC Indonesia Francois de Maricourt mengatakan pihaknya memberikan komitmen penuh untuk mendukung pemerintah Indonesia dalam melakukan transisi energi serta pembangunan berkelanjutan.

“Kami sangat senang bahwa transisi energi menjadi salah satu priorotas pemerintah Indonesia pada Presidensi G20. Kami juga mendukung sejumlah inisiatif dan juga kebijakan yang dikeluarkan pemerintah untuk mempercepat transisi pembangunan yang rendah karbon,” kata Francois.

Francois menyebutkan untuk mempercepat transisi energi diperlukan modal yang besar. Tidak hanya meningkatkan investasi di sector teknologi yang rendah karbon tetapi juga memberikan insentif ke sektor lain agar bisa menjadi lebih hijau dengan biaya yang tidak mahal.

Berdasarkan data dari Nationally Determined Contribution, Indonesia memerlukan pembiayaan sebesar Rp 4.520 triliun untuk melakukan aksi mitigasi dalam peta jalan NDC. Dana sebesar tersebut tidak semuanya bisa dipenuhi oleh APBN.

Karena itu, kata Francois, perlu ada kolaborasi antara institusi keuangan swasta dan juga negara serta juga aliansi keuangan global seperti Glasgow Financial Alliance for Net Zero (GFANZ).

Menurutnya, transisi pembiayaan harus dipimpin pemerintah difasilitasi oleh bank dan diadopsi oleh perusahaan besar dan juga kecil.

"HSBC berkomitmen untuk mendukung semua nasabah kami untuk melakukan transisi energi yang lebih bersih, bekerja sama dengan regulator dan juga industri banyak sektor untuk mempercepat transisi pembiayaan dan mendukung pembangunan berkelanjutan,” ujar Francois. (mcr10/jpnn)

Yuk, Simak Juga Video ini!


Redaktur & Reporter : Elvi Robiatul

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler