jpnn.com, JAKARTA - Koalisi Masyarakat Sipil untuk Kesehatan dan Keadilan menilai aneh pemerintah tidak menerapkan harga tes PCR dengan Undang-Undang Kedaruratan Kesehatan.
Pemerintah justru menurunkan harga secara perlahan dengan condong untuk kepentingan relaksasi bisnis.
BACA JUGA: Buka-bukaan soal Bisnis PCR, Luhut Binsar: Jujur, Saya Tak Biasa Seperti Ini
Peneliti Indonesia Corruption Watch (ICW) Wana Alamsyah mengatakan penurunan harga tes PCR oleh pemerintah tidak mencerminkan asas transparansi dan akuntabilitas.
Kebijakan tersebut diduga hanya untuk mengakomodasi kepentingan kelompok tertentu yang memiliki bisnis alat kesehatan, khususnya ketika PCR dijadikan syarat untuk seluruh moda transportasi.
BACA JUGA: Pengamat Sebut Kejanggalan soal Tes PCR Harus Diusut Tuntas
"Ketentuan mengenai harga pemeriksaan PCR setidaknya telah berubah sebanyak empat kali. Pada saat awal pandemi muncul, harga PCR belum dikontrol oleh pemerintah sehingga harganya sangat tinggi, bahkan mencapai Rp 2,5 juta," kata dia dalam keterangan yang diterima, Kamis (4/11).
Kemudian pada Oktober 2020, pemerintah baru mengontrol harga PCR menjadi Rp 900 ribu. Sepuluh bulan kemudian harga PCR kembali turun menjadi Rp 495 ribu-Rp525 ribu akibat kritikan dari masyarakat yang membandingkan biaya di Indonesia dengan di India.
BACA JUGA: Luhut dan Erick Thohir Dilaporkan ke KPK soal Harga PCR
Terakhir, 27 Oktober lalu, pemerintah menurunkan harga menjadi Rp 275 ribu-Rp 300 ribu.
"Perlu diingat ketika lonjakan angka positif Covid-19 pada Juli 2021, harga pemeriksaan PCR saat itu berada pada harga Rp 900 ribu per tes yang mengakibatkan tidak seluruh masyarakat dapat mengakses pemeriksaan tersebut," kata dia.
Wana menilai pemerintah tidak menggunakan prinsip kedaruratan kesehatan masyarakat. Justru, kata Wana, pemerintah terkesan mementingkan kepentingan kelompok bisnis tertentu.
"Terlebih penurunan terakhir ini terkesan hanya untuk menggenjot mobilitas masyarakat. Kami melihat bahwa penurunan harga ini seharusnya dapat dilakukan ketika gelombang kedua melanda, sehingga warga tidak kesulitan mendapatkan hak atas kesehatannya," kata dia.
Lebih lanjut kata Wana, Penurunan harga PCR untuk kebutuhan mobilitas juga mencerminkan bahwa kebijakan ini tidak dilandasi asas kesehatan masyarakat, tetapi pemulihan ekonomi.
Dari seluruh rangkaian perubahan tarif pemeriksaan PCR sejak awal hingga akhir, kata dia, pihaknya mencatat setidaknya ada lebih dari Rp 23 triliun uang yang berputar dalam bisnis tersebut.
Total potensi keuntungan yang didapatkan adalah sekitar Rp 10 triliun lebih.
"Ketika ada ketentuan yang mensyaratkan penggunaan PCR untuk seluruh moda transportasi, perputaran uang dan potensi keuntungan yang didapatkan tentu akan meningkat tajam. Kondisi tersebut menunjukan bahwa pemerintah gagal dalam memberikan jaminan keselamatan bagi warga," kata dia.
Berdasarkan anggaran penanganan Covid-19 sektor kesehatan pada 2020, Wana mengatakan realisasi penggunaan anggaran untuk bidang kesehatan hanya 63,6 persen dari Rp 99,5 triliun. Kondisi keuangan tahun ini pun demikian.
Per 15 Oktober diketahui bahwa dari Rp 193,9 triliun alokasi anggaran penanganan Covid-19 untuk sektor kesehatan, baru terserap 53,9 persen. Dari kondisi tersebut, pemerintah masih memiliki sumber daya untuk memberikan akses layanan pemeriksaan PCR secara gratis kepada masyarakat.
"Terdapat dua permasalahan dari kondisi di atas. Pertama, Koalisi menduga penurunan harga PCR karena sejumlah barang yang telah dibeli, baik oleh pemerintah atau perusahaan, akan memasuki masa kedaluwarsa.
Dengan dikeluarkannya ketentuan tersebut diduga pemerintah sedang membantu penyedia jasa untuk menghabiskan reagen PCR. Sebab, kondisi tersebut pernah ditemukan oleh ICW saat melakukan penyelidikan bersama dengan Klub Jurnalis Investigasi.
"Kedua, ketertutupan informasi mengenai komponen biaya pembentuk harga pemeriksaan PCR. Dalam sejumlah pemberitaan, BPKP dan Kementerian Kesehatan tidak pernah menyampaikan informasi apa pun perihal jenis komponen dan besarannya. Berdasarkan informasi yang dimiliki oleh Koalisi, sejak Oktober 2020 lalu, harga reagen PCR hanya sebesar Rp 180 ribu," tambahnya.
Ketika pemerintah menetapkan harga Rp 900 ribu, kata Wana, maka komponen harga reagen PCR hanya 20 persen. Selain itu komponen harga lainnya tidak dibuka secara transparan sehingga penurunan harga menjadi Rp 900 ribu juga tidak memiliki landasan yang jelas.
"Begitu pula dengan penurunan harga PCR menjadi Rp 350 ribu juga tidak dilandaskan keterbukaan informasi, sehingga keputusan kebijakan dapat diambil berdasarkan kepentingan kelompok tertentu. Artinya, sejak Oktober 2020, pemerintah diduga mengakomodasi sejumlah kepentingan kelompok tertentu," kata dia. (tan/jpnn)
Redaktur : Natalia
Reporter : Fathan Sinaga