Stafsus Kementerian Investasi Pradana Soroti Ketidakadilan Kerja Sama Antarnegara

Kamis, 16 Mei 2024 – 16:06 WIB
Staf Khusus Kementerian Investasi/BKPM, M. Pradana Indraputra menyoroti soal ketidakadilan kerja sama antarnegara dalam konferensi UNCTAD di Bandung, Rabu (15/5). Foto: source for JPNN.com

jpnn.com, JAKARTA - Staf Khusus Kementerian Investasi/BKPM, M. Pradana Indraputra menyoroti soal ketidakadilan kerja sama antarnegara dalam Konferensi Tingkat Tinggi PBB untuk Perdagangan dan Pembangunan (UNCTAD) ke-60, yang diselenggarakan di Kota Bandung, Rabu (15/5).

Pradana dalam pemaparannya menyampaikan pandangannya tentang Kebijakan Industri dan Keuangan terhadap Transisi Energi Bersih.

BACA JUGA: Menkominfo Johnny Ajak UNCTAD Kembangkan Tata Kelola Data Global

"Kita sekarang hidup di dunia di mana perekonomiannya, sejujurnya, tidak terlalu bersahabat," kata Pradana dikutip JPNN.com, Kamis (16/5).

Dia menjelaskan berdasarkan World Bank dan Our World in Data mengenai fakta produksi emisi gas kaca dunia, delapan negara dengan ekonomi terbesar, yang mencakup 30 persen populasi dunia, telah menyumbang 54 persen dari total emisi gas rumah kaca dari 1998 hingga 2022. 

BACA JUGA: BKPM Sudah Tahu Duduk Perkara Isu PHK Besar-besaran di Industri Tekstil, Ternyata

"Sementara itu, 70 persen populasi dunia lainnya yang sebagian besar ialah negara berkembang harus menanggung beban yang sama yang disebabkan oleh 8 negara tersebut," lanjutnya.

Terkait dengan hal itu, Pradana menegaskan bahwa dalam kolaborasi antarnegara, memperlakukan semua negara dengan cara yang sama adalah sesuatu yang tidak afdal.

BACA JUGA: BKPM: Perlu Alat Ukur untuk Mencapai Target Ekonomi Hijau

"Karena setiap negara mempunyai kapasitas, kemampuan, dan sumber daya keuangan yang berbeda," jelasnya.

Menurut dia, setiap negara harus diperlakukan sesuai dengan kebutuhan dan kekuatannya, memastikan keadilan dan kesetaraan. 

"Negara-negara maju secara historis berkontribusi lebih besar terhadap emisi, sehingga mereka harus mendukung negara-negara berkembang untuk membantu mereka mencapai kemajuan dengan kecepatan yang sama. Ini adalah landasan fundamental dari kerja sama antarnegara," imbuh Pradana.

Selain isu kesetaraan, isu greenflation yang sempat diangkat oleh Wakil Presiden Terpilih Gibran Rakabuming Raka, dibahas dalam KTT itu. 

"Berdasarkan pengalaman kami (Kementerian Investasi/BKPM), agar transisi energi bersih menjadi berkelanjutan, transisi tersebut harus terjangkau secara ekonomi dan terjangkau. Pertanyaannya adalah bagaimana mencapai hal ini?" kata Pradana.

Dia menyebutkan Greenflation sendiri adalah ketidakseimbangan antara jumlah penawaran dan permintaan, yang menyebabkan biaya transisi energi bersih menjadi tidak terjangkau secara ekonomi. 

"Sebagai tambahan, transfer teknologi sangat penting untuk menjadikan energi bersih terjangkau secara ekonomi," tuturnya.

Menurut dia, pemerintah Indonesia juga harus berevolusi dari sekadar regulator, menjadi fasilitator dan matchmaker. 

"Kementerian Investasi di Indonesia berwenang memberikan insentif fiskal, seperti tax holiday dan tunjangan. Transisi energi bersih merupakan salah satu kategori yang memenuhi syarat untuk menerima insentif ini," jelasnya.

Dia mengatakan Kementerian Investasi bisa menawarkan pembebasan pajak kepada perusahaan hingga 20 tahun, dan berencana untuk memperluas insentif ke semua praktik berkelanjutan, tidak hanya energi bersih. 

"Pendekatan holistik inilah yang kami sebut sebagai kebijakan industri dan keuangan yang ramah lingkungan. Indonesia siap bekerja sama dengan negara lain dalam upaya ini," pungkas Pradana. (mcr8/jpnn)

BACA ARTIKEL LAINNYA... BKPM Permudah Izin Usaha UMKM dengan Pelaku Usaha Skala Besar


Redaktur : M. Rasyid Ridha
Reporter : Kenny Kurnia Putra

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler