Status Jokowi Harus Dipastikan

Sabtu, 24 Mei 2014 – 08:16 WIB

jpnn.com - JAKARTA - Kejaksaan Agung (Kejagung) sebaiknya segera mempertegas status Joko Widodo alias Jokowi dalam kasus dugaan korupsi proyek pengadaan bus Trans Jakarta yang sudah menjadikan mantan Kadishub DKI Jakarta Udar Pristono sebagai tersangka.

Pakar hukum tata negara Universitas Parahyangan Bandung Prof Dr Asep Warlan Yusuf dalam perbincangannya dengan wartawan di Jakarta, kemarin (22/5).

BACA JUGA: Jaksa Agung Sebut Jokowi Tak Terkait Korupsi Transjakarta

"Kalau Kejagung tidak segera menentukan status Jokowi, apakah hanya sebatas saksi, atau tersangka. Maka hal ini akan menimbulkan ketidakjelasan dalam proses pilpres. Artinya Kejagung harus segera menjelaskan status Jokowi," papar Asep.

Kalau hal ini dibiarkan hingga Pilpres 9 Juli nanti, lantas seandainya Jokowi yang terpilih atau memenangkan Pilpres.

BACA JUGA: Semua Capres Cawapres Kesulitan Psikotes

Baru kemudian Kejagung menetapkannya sebagai tersangka, maka hal tersebut malah mengarah kepada kekosongan kekuasan atau vacum of power.

”Atau penetapannya malah di ujung menjelang pilpres, ini pun bisa mengacaukan tahapan pilpres. Sebab sesuai undang-undang pilpers tak bisa dilakukan kalau ternyata hanya ada satu pasangan calon. Ini pun akan berdampak kepada kekosongan kekuasaan, sebab sesuai undang-undang pula masa jabatan Presiden SBY selesai pada 20 Oktober 2014,” tuturnya.

BACA JUGA: 35 Orang Ikut Rombongan Haji Menag 2012, Ini Daftarnya

Menurut Asep, sesuai aturan UU pula, kalau ternyata salah satu capres menjadi tersangka terkait pelanggaran pidana dengan ancaman hukumannya di atas lima tahun, maka capres tersebut harus diganti oleh parpol pengusungnya.  

"Nah kalau kasusnya korupsi maka ancaman hukumannya 15 tahun sampai 20 tahun, itu sudah mencukupi untuk segera dilakukan pergantian capres," tukasnya.

Dia menilai jangan sampai proses tahapan pilpres yang sudah berjalan jadi berantakan lantaran Kejagung baru melakukan penetapan tersangka mendekati hari pelaksanaan pilpres, sehingga tak mencukupi waktu dilakukan pergantian capres oleh parpol pengusung.

”Selain itu negara juga akan dirugikan kalau status tersangka baru diberikan setelah proses kampanye berjalan. Kalau mundur setelah masuk masa kampanye, maka biasanya sang calon harus mengundurkan diri karena negara sudah mengeluarkan dana kampanye. Kalau ditetapkan jadi tersangka tidak ada kewajiban mengganti, tapi negara rugi karena dia sudah menggunakan dana kampanye tentunya,” pungkasnya.

Untuk diketahui, Kejagung menetapkan tersangka Udar Pristono dengan tuduhan melakukan mark up harga satuan unit bus Trans Jakarta dari 140 ribu dolar AS per unit menjadi 355 ribu dolar AS per unit. Proyek pengadaan bus itu sebanyak 125 unit bus senilai Rp 402 miliar. (ind)

BACA ARTIKEL LAINNYA... 10 Tahun di Senayan, DPD Masih Nebeng


Redaktur : Tim Redaksi

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler