jpnn.com, JAKARTA - Direktorat Kesehatan Jiwa Kementerian Kesehatan, dr. Puspita Tri Utami, M.Si, M.KKK menyatakan stres menjadi isu kesehatan yang makin mendesak di era modern, khususnya bagi para pekerja.
Stres bisa memengaruhi berbagai aspek kehidupan dan menimbulkan masalah kesehatan secara jangka panjang.
BACA JUGA: 6 Makanan Pemicu Depresi yang Wajib Anda Ketahui
Sebagai respons terhadap stres, para pekerja sering kali melarikan diri dengan berbagai kebiasaan berisiko seperti merokok.
Dia mengungkapkan stres pada pekerja bisa berdampak pada aspek psikologis dan fisiologis.
BACA JUGA: Cegah Depresi dengan Mengonsumsi 5 Makanan Kaya Nutrisi Ini
Secara psikologis, stres bisa memicu depresi, psikosomatis, hingga masalah kejiwaan.
dr. Puspita menjelaskan dari sisi fisiologis, stres bisa menimbulkan berbagai masalah kesehatan mulai dari kardiovaskular, diabetes melitus, muskuloskeletal, sakit kepala, hingga gangguan imunitas.
“Kesehatan jiwa dan kesehatan fisik sangat berkaitan karena hormon kortisol bisa menyebabkan gangguan-gangguan fisik sehingga kita harus menjaga kesehatan mental,” kata dr. Puspita saat menjadi narasumber dalam diskusi yang digelar Masyarakat Sadar Risiko Indonesia (MASINDO) dengan tema “Membangun Kesadaran Risiko Kesehatan Mental” dikutip JPNN.com, Selasa (5/11).
Dia menyebutkan dampak stres terhadap gangguan perilaku meliputi perubahan pola makan dan tidur, sosialisasi menurun, dan kebiasaan merokok serta performa pekerja menjadi turun.
“Organisasi akan turut terdampak karena pekerja menjadi sering tidak masuk kerja, peningkatan turnover, konflik meningkat dan penurunan kualitas hubungan antar sesama. Akhirnya juga akan ada peningkatan biaya untuk masalah kesehatan karena tingkat kecelakaan meningkat,” lanjutnya.
Sementara itu, menurut Psikolog, Sukmayanti Rafisukmawan, M.Psi untuk mengatasi stres memang memerlukan pendekatan yang mendalam selain pemberian edukasi agar para pekerja tidak melakukan kebiasaan berisiko yang sifatnya coping menchanism seperti kebiasaan merokok.
“Jika berhenti langsung ternyata tidak berhasil dan tetap dipaksakan, akan menimbulkan ketidakseimbangan berupa kecemasan yang berlebih sehingga berdampak pada menurunnya tingkat konsentrasi, suasana hati mudah berubah, dan rentan emosi," kata Sukmayanti.
Dia menjelaskan untuk para perokok dewasa yang mengalami kesulitan berhenti merokok secara langsung, dapat mengedepankan upaya pengurangan risiko dengan cara beralih melalui penggunaan produk tembakau alternatif.
“Misalnya mereduksi kebiasaan merokok dengan menggunakan produk-produk yang jauh lebih rendah risiko, seperti produk tembakau alternatif dan sambil terus melakukan konseling dengan psikolog. Intinya adalah bisa menstabilkan,” jelasnya.
Senada, Dokter Spesialis Gizi Klinik, dr. Andri Kelvianto, M. Gizi, Sp. GK, AIFO-K menyatakan untuk mengurangi kebiasaan buruk akibat stres perlu dilakukan secara bertahap.
“Kalau emotional eating, kita tahu hormon kortisol lagi tinggi sehingga menginginkan rewarding berupa makanan manis untuk menaikkan hormon dopamin. Jadi, bisa ganti ke gula bebas kalori karena yang dikejar dari rewarding emotional eating adalah rasa manisnya. Ini salah satu cara mengurangi risiko,” kata dr. Andri.
Strategi tersebut, lanjut Andri, dapat juga diterapkan untuk mengurangi risiko dari kebiasaan merokok.
"Jadi seseorang tidak merasa terlalu berat karena tidak berubah 180 derajat. Itu salah satu pengurangan risiko yang bisa kita lakukan,” pungkas dr. Andri.(mcr8/jpnn)
Redaktur : Elvi Robiatul
Reporter : Kenny Kurnia Putra