Sudah Jalan Tiga Jam, Bayi Keburu Lahir

Rabu, 15 Juli 2009 – 08:16 WIB

  Penolakan suku Badui Dalam terhadap metode pengobatan modern kini mulai terkikisBerkat kegigihan Bidan Eros Rosita, mereka mengenal jarum suntik dan bahkan mulai intens berobat.
 
  ZULHAM MUBARAK, Lebak--
 
Kabut merayap pelan di sebagian punggung Pegunungan Kendeng pada pagi Senin pekan lalu (6/7)

BACA JUGA: Pijit Tombol agar Tidak Merasa Dianaktirikan

Tepat pukul 06.15 seorang wanita muda berbaju hitam berjalan pelan menaiki tangga buatan di sebuah jalan setapak yang melintasi perbatasan kampung suku Badui Luar di Kampung Kadu Ketug
Dia menuju Desa Ciboleger, sebuah desa di luar kawasan Badui.
 
Sambil menutupi sebagian wajahnya, ibu muda bernama Lis, 20, itu tampak kedinginan

BACA JUGA: Frederica Widyasari Dewi, dari Artis Sinetron ke Kursi Direktur BEI

Pagi itu perempuan Badui tersebut sudah berjanji untuk berobat di tempat praktik Bidan Eros Rosita di Desa Ciboleger
Dia adalah satu-satunya tenaga medis yang telah mendapatkan  "lisensi" dari para tetua adat suku Badui Luar dan Badui Dalam untuk mengobati warga Badui secara langsung.
 
"Dulu tidak begini

BACA JUGA: Mengunjungi Suku Badui yang Satu Kampung Golput saat Pilpres (2-Habis)

Pasien sangat minim karena takut berobatMereka lebih percaya kepada dukun," ujar Rosita setelah menangani sejumlah pasienPagi itu wartawan koran ini melihat sedikitnya tiga wanita Suku Badui yang sudah keluar masuk ke ruang praktiknya untuk mendapatkan penanganan medis.
 
Pada jam-jam tertentu sebelum atau setelah bertugas di Puskesmas Ciboleger, wanita 38 tahun itu membuka praktik di kediamannyaJawa Pos pun dipersilakan masuk untuk melihat ke balik pintu praktik tersebutRuang praktik berukuran 3 x 4 meter itu sangat sederhanaDindingnya dipenuhi poster cara hidup sehat dan gambar ilustrasi cuci tanganJuga ada foto ibu hamil dan janinDua buah stetoskop tergantung di salah satu sudut ruangDi meja praktik  ada beberapa mainan anak-anak"Maaf, maklum anak saya masih kecil, jadi suka bikin kacau di rumah," canda Rosita sambil merapikan tempat praktiknya.
 
Setelah berbasa-basi, Rosita mulai membuka lembaran kisah hidupnyaDia menjelaskan bahwa suku Badui adalah kelompok masyarakat yang menerapkan hidup bersahaja dan bertahan bersama tradisi nenek moyang merekaSudah ratusan tahun mereka hidup mengasingkan diri dari modernitas dan hidup selaras dengan keaslian alamJauh dari ingar-bingar modernitas, termasuk di bidang kesehatan sekalipunBahkan,  sejak era kemerdekaan, berkali-kali sudah tenaga medis didatangkan dari ibu kota dan silih berganti pula mereka kembali dengan tangan kosong karena ditolak warga suku Badui"Kondisi itu yang justru memotivasi saya untuk bisa bekerja sesuai dengan keterampilan saya di sini," kata wanita berjilbab tersebut.
 
Dengan misi itu, ketika menjadi pegawai tidak tetap (PTT) kesehatan, Rosita memilih ditugaskan ke Desa Kanekes, desa yang menaungi 59 kampung Badui, dalam dan luarBidan Ros "begitu dia akrab dipanggil" menuturkan, sebelum dirinya berhasil membuka akses pengobatan di pedalaman, suku Badui menggunakan jasa paraji alias dukun beranak untuk proses kelahiranKedatangan sejumlah tenaga medis kerap dianggap sebagai pelanggaran terhadap tradisi leluhur yang membatasi diri dari sentuhan dengan dunia modernNamun, kata Rosita,  kebiasaan itu yang membuat derajat kesehatan suku Badui, terutama kaum ibu dan anak-anak, stagnan dan cenderung menurunMenyadarkan pentingnya kesehatan kepada suku Badui bukan tugas mudah"Saya mulai bertugas di posyandu pada 1997Dari rumah, saya harus menyiapkan imunisasi, bubur kacangSaya ketok dari pintu ke pintu di satu kampungDemikian yang saya lakukan berulang-ulang," kata ibu dua anak itu.
 
Awalnya, Rosita kerap ditolak atau kehadirannya tidak dihiraukanPerlakuan seperti itu jelas membuat mental tenaga medis biasa jatuhSebab, mencapai lokasi-lokasi perkampungan Badui membutuhkan tenaga ekstraTenaga medis paling tidak harus berjalan kaki selama satu hingga enam jam di jalan setapak menembus hutan dan menyeberangi sungaiJarak untuk sampai di titik-titik perkampungan Badui Dalam yang paling jauh mencapai 15?20 kilometer dengan medan menanjak dan menurun
 
"Tak terhitung puluhan kali saya tiap malam harus menangis dan merasa kecewa dengan perlakuan ituTapi, di pagi harinya, setelah salat subuh, saya selalu berdoa dan kembali menemukan semangat lagi," kenang istri Asep Kurnia itu.
 Momen keberhasilan Bidan Ros terjadi ketika ada wabah Prambusia  atau  Penyakit Merah, salah satu penyakit kulit yang menular pada 1999?2000Ketika itu, dia memberanikan diri datang ke Badui Dalam dan menawarkan diri untuk mengobati penyakit itu dengan suntikan penisilin dan obat kulit"Awalnya mereka menolak karena tubuh mereka harus dimasuki alat modern yakni jarum suntik," kenangnya.

Tapi, karena dalam keadaan terjepit, setelah mendapat persetujuan pimpinan adat, mereka pun menyediakan satu orang warga yang terkena Prambusia untuk dijadikan "percobaan?Penyuntikan dan pengobatan pun dilakukan di hadapan puluhan pasang mata termasuk salah satu dukun lokalSetelah melakukan beberapa kali pengobatan dan puluhan kilometer berjalan kaki bolak-balik dari pedalaman ke perkampungan, akhirnya pasien itu pun sembuhSejak saat itu, dari mulut ke mulut nama Bidan Ros mulai dikenalKarena komunitas mereka yang terbatas, informasi pun cepat sekali menyebar sampai ke 59 kampung di Badui"Dalam hal Prambusia, dukun Badui telah takluk sama tenaga medis," candanya

Menurut Bidan Ros, orang Badui umumnya jarang mengalami sakit berat seperti hipertensi, jantung koroner, ginjal, atau gulaKarena itu, tidak heran bila ada orang Badui yang usianya sampai lebih dari 100 tahun"Lebih banyak yang berobat ke saya karena penyakit-penyakit ringan seperti penyakit kulit, batuk, atau pilek," terang dia.
 
Sampai di situ, mimpi Bidan Ros masih belum tuntasDia masih belum dipercaya membantu persalinanWarga Badui, kata dia, memiliki mitos bahwa jika plasenta alias ari-ari bayi dipotong ketika proses persalinan, sang bayi akan matiSelain itu, mereka juga berpersepsi bahwa melahirkan dengan dibantu bidan akan membutuhkan biaya mahalUntuk mengatasinya, Bidan Ros  mempraktikkan kelahiran bayi di depan para ibu Badui"Saya tunjukkan secara medisBahkan, ketika saya potong plasenta bayi, ada yang protes dan menghalangiTapi, setelah terbukti bahwa bayi tidak mati, mereka terheran-heran," ujar dia dengan mata berkaca-kaca.
 
Setelah berhasil membantu persalinan itu, dia pun menamai anak pertama yang membuka sukses "pertunjukan" medis kepada warga pedalaman itu dengan nama suaminyaDia mengaku kerap terharu jika mengenang masa-masa itu"Apalagi kalau sekarang ketemu dengan anak itu, saya selalu ingat kisah perjuangan saya," papar perempuan kelahiran Gunung Kencana, Lebak, itu
 
Namun, hingga kini, dia belum berhasil menangani persalinan warga Badui DalamBukan karena warga tidak mau,  tapi terutama karena medan yang beratKetika dia masih di perjalanan, sang ibu keburu melahirkanPernah suatu saat, ketika dia baru berjalan tiga jam (dari enam jam yang dibutuhkan), jabang bayi yang akan ditolong sudah keluar. 
 
Dalam menjalankan profesinya, Rosita bekerja dengan ikhlas, tanpa pamrihBetapa tidak, untuk sekali persalinan, dia rela walau hanya dibayar Rp 20 ribuBahkan, kata dia, jika ada yang mengaku tidak mampu, dia siap tidak dibayar"Saya masih tetap ingat pesan orang tua, yakni ketika bertugas di mana pun harus tulus dan ikhlasInsya Allah, rezeki tidak akan ke mana," ungkapnya.
 
Bagi Rosita, warga Badui memiliki arti tersendiriDia mengabdikan diri selama hampir 12 tahun dan punya delapan posyandu yang tersebar di pedalaman BaduiSebulan sekali dia mengunjungi tempat-tempat tersebut secara bergiliranUntuk tiba di posyandu terdekat, Ros butuh waktu minimal dua jam perjalanan dengan berjalan kakiTidak ada sepeda, sepeda motor, apalagi mobil karena di kawasan Badui kendaraan jenis apa pun dilarangUsaha yang dirintisnya tidak sia-siaPerbandingan angka kematian ibu dan bayi di Badui saat ini berubah"Dulu tahun 1997 saya hitung setahun mencapai lima kasus kematianSekarang alhamdulillah secara data sudah tidak ada," tutur Rosita.
 
Namun, dia masih memiliki mimpi, yakni membangun rumah sakit bersalinTujuannya mempermudah tugas dan bisa secara maksimal membantu warga pedalaman yang juga membutuhkan fasilitas medis"Itu hanya mimpi di siang bolong MasTapi siapa tahu ada malaikat lewat dan mendengarnya," canda dia, lantas mengakhiri pembicaraan(nw)

BACA ARTIKEL LAINNYA... Mengunjungi Suku Baduy yang Satu Kampung Golput Saat Pilpres 2009 (1)


Redaktur : Tim Redaksi

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler