Sudah Lama Berkawan dengan Orang Utan

Selasa, 07 Oktober 2014 – 12:01 WIB
BERPENGALAMAN: Aschta Nita Boestani Tajudin saat berkeliling di KBS. Foto: Frizal/Jawa Pos

jpnn.com - Terik matahari tidak begitu terasa di dalam Kebun Binatang Surabaya (KBS). Pepohonan rimbun menghalau sinar yang terik pada Sabtu siang lalu (27/9). Pengunjung yang tidak terlalu ramai juga asyik melihat satwa dengan tingkah polahnya. Ada yang sibuk berfoto selfie hingga melemparkan kacang ke kandang satwa.

= = = = = = = = = = = = =

BACA JUGA: Mantan Dirut Pertamina Kini Bisa Tersenyum Ramah

ASCHTA Nita Boetani Tajudin yang sedang berkeliling menegur bocah yang hendak melemparkan kacang lagi. ’’Adik, jangan ya. Orang utannya sudah punya makanan sendiri,” kata dia ramah.

Bocah itu tidak mau kalah. ’’Kalau dikasih es krim boleh?” tanyanya setengah merajuk. ’’Makanannya buah-buahan,” tegas Aschta yang diakhiri dengan senyuman. Bocah itu mengangguk, lalu pergi.

BACA JUGA: Tantangannya Guncangan Hebat dan Suhu Dingin di Ruangan

Pengunjung yang melemparkan makanan tersebut hanya satu persoalan kecil yang harus diatasi Aschta. Dia resmi menjadi direktur operasional Perusahaan Daerah Taman Satwa (PDTS) KBS pada 29 Agustus lalu menggantikan drh Liang Kaspe.

Persoalan lain yang harus segera dibenahi adalah penataan KBS secara menyeluruh. Bukan hanya satwa dan kandang, tapi juga kemampuan karyawan PDTS KBS. Bersama Direktur Utama Ratna Achjuningrum serta Direktur Keuangan dan Sumber Daya Manusia Fuad Hassan, Aschta menyatakan siap untuk merealisasikannya. Dia punya banyak pengalaman di bidang konservasi sebagai modal.

BACA JUGA: Menelusuri Jejak Sejarah Persandian di Jogja

Jauh sebelum bergabung dengan jajaran direksi KBS, Aschta pernah datang sebagai pengunjung pada 2013. Ketika itu kabar harimau bernama Melani yang sakit pencernaan berat mencuat. Dia datang bersama kawannya dari Austria yang ingin mengetahui langsung kondisi harimau sumatera tersebut.

Nyatanya, kabar yang dia dengar tidak seperti yang dilihat sendiri. ”KBS tak sejelek seperti yang diberitakan di media luar negeri,” ujar Aschta yang menirukan ucapan temannya. Dia pun punya pemikiran yang sama. ”Masih bisa diperbaiki, 80 persen masih bagus,” ujar Aschta yang lahir di Makassar, 29 September 1969, tersebut.

Penilaian Aschta itu didasari pengalamannya yang begitu panjang dalam bidang konservasi. Alumnus Jurusan Biologi Universitas Nasional Jakarta tersebut memang cinta binatang sejak kuliah. Dia secara khusus meneliti sidik jari untuk mengetahui perbedaan orang utan Kalimantan dan Sumatera. ”Sebelum meneliti, saya mendapat kesempatan belajar sidik jari selama tiga bulan di Mabes Polri,” ujar dia. Penelitian untuk bahan skripsi itu berlangsung antara 1991 hingga 1992.

Penelitian tersebut semakin menjerumuskan dia pada dunia satwa, khususnya soal orang utan. Setelah lulus kuliah, dia mengabdikan diri di Pusat Penelitian Dipterocarpaceae Wanariset Samboja di Balikpapan, Kalimantan Timur. Di tempat itu pula, dia pernah mengambil sampel sidik jari seratus orang utan saat menggarap skripsi.

Dia bekerja di bawah bimbingan Dr Willie Smiits, orang Belanda yang menjadi warga negara Indonesia. Willie juga dikenal sebagai bapak primata Indonesia.

Aschta juga terlibat dalam pendirian Balikpapan Orang Utan Society (BOS) pada 1993 bersama Willie, Joe Cutbertson, dan Peter Karsono. Organisasi yang menaruh perhatian pada pelestarian orang utan itu berkembang pesat. Kegiatannya bukan hanya di Balikpapan, tapi juga di kawasan lain di Kalimantan. Agar organisasi tersebut klop dengan kegiatan yang digeluti, namanya pun diganti Borneo Orang Utan Survival pada 1998.

Pada 1997 Aschta mendapatkan beasiswa dari British Chevening Award untuk belajar di Edinburgh University, Inggris. Dia belajar tentang forestry and natural resource management. Studi selama dua tahun dia selesaikan dengan mulus. ’’Lalu saya bekerja di WWF Jakarta. Tapi, proyeknya di Kalimantan Timur,” ungkap dia. Lagi-lagi, Aschta bergelut dengan orang utan dan bertemu dengan sahabat-sahabatnya.

Aschta melanjutkan ceritanya sambil berjalan dari kandang satu ke kandang lain. Dia berhenti di depan kandang orang utan jantan bernama Sinyo yang berusia 11 tahun.

Di siang yang cukup terik itu, Sinyo sedang bermain di dekat kolam yang mengelilingi kandang peraga. Penjaga bernama Lajiono memberikan sebutir kelapa pada Sinyo. ’’Ayo, Nyo, dikupas. Kelihatan agak tua ya kelapanya?” seru Aschta.

Sambil memperhatikan tingkah polah Sinyo, Aschta melanjutkan ceritanya saat menangani orang utan. Dia menyebutkan, satwa itu harus diperhatikan secara khusus. Sebab, tiap satwa punya karakter masing-masing.

Pernah suatu kali dia menangani puluhan anak orang utan. Tingkat kematiannya tinggi sekali. Berbagai cara telah dilakukan, mulai memberikan obat hingga tempat yang layak. Tapi, usaha tersebut tidak membuahkan hasil.

Lantas, mereka mencoba untuk memasukkan seorang penjaga perempuan. Tingkat kematiannya langsung turun 80–70 persen. Lalu ditambah lima perempuan lagi, persentase kematiannya tinggal 10 persen. ”Rupanya anak orang utan itu suka mendengarkan detak jantung dan sangat butuh perhatian,” katanya.

Pengalaman dia dalam dunia satwa bukan itu saja. Aschta pernah didapuk sebagai assistant senior officer di ASEAN-Wildlife Enforcement Network (A-WEN) yang bermarkas di Bangkok, Thailand. Organisasi di bawah ASEAN tersebut bertugas untuk memantau perdagangan satwa liar yang dilindungi di Asia Tenggara. ”Kalau dengan Indonesia, kami bekerja sama dengan polisi, bea cukai, dan Kementerian Kehutanan,” imbuhnya.

Ketika dia bekerja pada 2008-2010 itu, A-WEN punya perhatian khusus pada perdagangan harimau dan trenggiling. Daging trenggiling begitu laris di daratan Tiongkok untuk dijadikan sup. Sedangkan harimau diperjualbelikan karena kulitnya. ”Jalur perdagangan satwa itu juga menjadi jalur perdagangan narkoba, senjata, dan trafficking,” ujar perempuan yang menikah dengan Andi Tajudin pada 2010 tersebut. Dalam beberapa kasus, transaksi perdagangan itu tidak memakai uang. Tapi, dengan pertukaran.

Aschta yang pernah mengenyam pendidikan tentang land use management geography di Edinburgh University itu suka tantangan dan hal baru. Pada 2013, misalnya, dia bekerja di sebuah perusahaan bidang logistik di Tanjung Perak. Pekerjaan tersebut memang punya hubungan secara langsung dalam bidang konservasi satwa.

Namun, pada April 2014 dia melihat ada lowongan rekrutmen direktur operasional PDTS KBS. ’’Teman-teman saya pada teriak. Kenapa tidak ikut benahin KBS,” ujarnya. Lalu dia melamar dan akhirnya dipilih sebagai direktur operasional setelah melewati proses seleksi tiga tahap. Administrasi, tes kemampuan, dan presentasi. Lantas namanya dipilih Wali Kota Surabaya Tri Rismaharini.

Perempuan yang hobi meneliti tersebut memiliki banyak rencana untuk mengembangkan KBS. Setidaknya ada empat program prioritas yang segera digulirkan. Yakni, inventarisasi satwa, perbaikan pakan, pelayanan medis, dan peningkatan kemampuan karyawan.

Aschta menyebutkan, di antara 2.400 satwa, hanya 500 yang diketahui jenis kelaminnya. Riwayat kesehatan dari tiap satwa juga belum terekam dengan baik. Begitu pula hubungan kekerabatan antarsatwa. Yang dikhawatirkan adalah inbreeding (perkawinan sedarah) yang bisa menurunkan kualitas satwa. ”Semua harimau di KBS bersaudara. Jadi, harus segera ditukarkan karena masih dalam masa produktif,” katanya.

Sementara itu, perbaikan nutrisi akan difokuskan pada penambahan kapasitas ruang penyimpanan pakan. Tambahan nutrisi untuk satwa seperti kalsium dan vitamin juga bakal disuguhkan pada satwa. Pengunjung dilarang memberi makan. Akan disediakan keranjang khusus di dekat kandang satwa untuk tempat memberi makan hewan. ”Jadi, kacang bisa dimasukkan di keranjang saja. Nanti keeper yang akan memberi makan,” tutur dia.

Perbaikan pelayanan medis akan difokuskan pada pembagian kinerja dokter hewan. Mereka akan ditugasi secara khusus pada empat grup besar kelas satwa. Yakni, aves, reptil, mamalia, dan pisces. ”Saat ini sudah ada tiga dokter. Kami mungkin perlu menambah tiga atau empat lagi,” ungkapnya.

Yang tak kalah penting adalah peningkatan kemampuan para keeper satwa. Dia melihat di antara 47 keeper, hampir semua telah berusia di atas 40 tahun. Aschta berencana merekrut keeper baru dengan latar pendidikan sarjana biologi atau kedokteran hewan.

Keeper itu juga bakal bertugas merawat satwa dan memandu pengunjung yang ingin tahu banyak soal satwa. ”Kelak KBS harus menjadi pusat pendidikan dan riset satwa yang mumpuni. Khususnya satwa Indonesia,” tuturnya. (*/c7/dos)

 

BACA ARTIKEL LAINNYA... Bocah Penderita Hemofilia Itu Masih Alami Pendarahan


Redaktur : Tim Redaksi

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler