jpnn.com - JAKARTA - Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 dianggap sudah saatnya diperbaiki. Sebab, perkembangan yang ada di sektor perbankan belum sepenuhnya diatur dalam undang-undang pengganti UU Nomor 7 Tahun 1992 itu.
Anggota Komisi XI DPR yang membidangi keuangan dan perbankan, M Misbakhun mengatakan, UU Nomor 19 Tahun 1998 sudah berumur hampir 17 tahun dan tanpa proses revisi. Berbicara dalam diskusi bertema ‘Revisi UU Perbankan’ di pressroom DPR RI, Selasa (24/3), Misbakhun menyatakan, hal penting dalam perbankan adalah perlindungan bagi konsumen dan bank tidak mematok bunga tinggi.
BACA JUGA: Duh Bu Menteri.. Harga Ikan Napoleon Melorot, Nelayan Budidaya Rugi Besar,
Karenanya, Komisi XI DPR telah menjadikan revisi UU Perbankan sebagai usul inisiatif. “Revisi ini akan menciptakan payung kuat, sehingga konsumen dilindungi,” kata Misbakhun dalam diskusi yang juga menghadirkan mantan menteri keuangan, Fuad Bawazier dan Deputi Gubernur Bank Indonesia (BI) Halim Alamsyah sebagai pembicara itu.
Lebih lanjut Misbakhun mengatakan, kini jumlah bank di Indonesia sudah terlalu banyak. Agar perbankan efisien, katanya, maka perlu perampingan yang diarahkan melalui regulasi.
BACA JUGA: Iwapi Berperan Aktif Dorong Pertumbuhan Ekonomi Global
Ia menuturkan, menjamurnya bank tak lepas dari longgarnya aturan. Misalnya, ada pemain yang sebenarnya punya bisnis inti di bidang ritel, pertambangan ataupun infrastruktur, tapi justru merambah ke perbankan dengan memanfaatkan industri keuangan non-bank.
Untuk merampingkannya, Misbakhun mendorong pengelompokan untuk perbankan. Menurutnya, jumlah bank umum cukup 15 saja dengan syarat modal minimal Rp 5 triliun. Sedangkan bank devisa harus memiliki modal minimal Rp 10 triliun. “Jadi nanti banyak merger dan akuisisi, sehingga perbankan kita jadi ramping,” cetus politikus Golkar itu.
BACA JUGA: BTN Bagikan Dividen Rp 220 miliar
Dalam kesempatan itu Misbakhun juga menyinggung peran bank asing. Menurutnya, keterbatasan permodalan perbankan dalam negeri memang membuat bank asing jadi semakin leluasa.
Di satu sisi, katanya, perbankan memang butuh modal untuk investasi jangka panjang. Namun, di sisi lain justru nasabah menyimpan uang di bank untuk jangka pendek. Imbasnya, bank asing yang punya modal kuat jadi leluasa.
Karenanya, sebaiknya unsur nasionalisme tetap harus dikedepankan dalam UU Perbankan. Namun demikian Misbakhun tetap mendorong adanya nasionalisme di sektor perbankan. “Saya bukan alergi asing, tapi itu tetap harus dipikirkan,” katanya.
Sementara mantan keuangan era Orde Baru, Fuad Bawazier menyatakan, sejak era reformasi bergulir justru pemerintah malah cendering pro-asing. Menurutnya, hal itu tak terlepas dari krisis moneter 1997-1998 sehingga pemerintah meminta bantuan Dana Moneter Internasional (IMF) yang ternyata malah menjadi pintu masuk bagi asing untuk melakukan intervensi.
Fuad menegaskan, letter of intent (LoI) antara IMF dengan pemerintah Indonesia telah membuka liberalisasi perbankan yang mengakibatkan bank swasta dan nasional terseok-seok. Namun, kata Fuad, bank asing ternyata tak punya peran banyak dalam menguatkan perekonomian nasional karena uang yang digelontorkan hanya demi fee. “Jadi bukan untuk kredit produktif,” ujarnya.
Sedangkan Halim Alamsyah tak menampik pernyataan Fuad. Halim mengakui, peran bank asing dalam pemberian kredit memang tak besar. “Tahun 2014, (bank) milik asing dan campuran cuma 14 persen, swasta 45 persen,” katanya.
Menurutnya, bank asing fokus memburu fee dan devisa karena memang imbas dari kebijakan BI. Pasalnya, bank sentral itu membatasi bank asing hanya bisa membuka cabang di 10 kota.
“Tak heran fokus mereka ke fee dan devisa. Di satu sisi mereka seperti itu, tapi kita harus manfaatkan mereka bagi kepentingan ekonomi,” tandasnya.(jpnn)
BACA ARTIKEL LAINNYA... PDAM Utang Rp 4,8 Triliun, 58 Persen Kabupaten Krisis Air Bersih
Redaktur : Tim Redaksi