Sudah Teriak – teriak Tsunami Datang tapi Mereka tak Percaya

Rabu, 10 Oktober 2018 – 07:53 WIB
Boyke Iwan saat menceritakan pengalamannya bertahan setelah gempa dan tsunami di Palu. Foto: ANGGI PRADITHA/KALTIM POST

jpnn.com - Saat gempa dan tsunami menerjang, acara Audisi Indonesian Island Model Looks di Palu Grand Mall (PGM) sedang berlangsung. Boyke Iwan, warga Balikpapan ada di dalamnya. Menyelamatkan diri dari kekacauan dan ancaman tertimbun bangunan.

M RIDHUAN, Balikpapan

BACA JUGA: Kekurangan Guru, Rekrut Sarjana Pendidikan Baru Lulus

SALAM penutupan baru diucapkan setengah jalan. Ketika gempa bumi mengguncang Palu, Donggala, dan Sigi, Sulawesi Selatan (Sulteng) berkekuatan 7,4 skala richter (SR) pada Jumat (28/9). Semua yang ada di dalam mal panik. Berlarian keluar bangunan.

Iwan membanting mikrofon yang dipegangnya. Dia ikut berlari. “Saya sambil merangkak. Soalnya pernah melihat cara warga Jepang menghadapi gempa,” katanya.

BACA JUGA: Areal Terdampak Likuifaksi Sepakat Ditutup

Berhasil keluar, dia dan ratusan pengunjung berkumpul di pelataran lobi mal. Dengan ketinggian dua lantai gedung, pemandangan laut tersaji di hadapan mereka.

Namun bukannya terpesona dengan kebiruan Teluk Palu, ombak panjang tampak di kejauhan. Menggulung membentuk bencana lainnya. “Tsunami datang,” ucap Iwan.

BACA JUGA: Relawan Ubaya Bantu Proses Healing Anak Korban Gempa

Dia dan pengunjung lain lantas berteriak tsunami datang. Banyak warga yang masih berada di bawah. Namun respons mereka membuat Iwan mengelus dada. Banyak dari mereka tak percaya. Jadi para pejalan kaki hanya santai menyusuri jalan. Tak ada yang menghiraukan teriakan dari atas.

Ombak semakin mendekat. Pikirannya seketika melayang ke pemberitaan tsunami di Aceh pada 2004 lalu. Tak ingin berhadapan dengan alam, dia masuk lagi ke mal. Sempat menyelamatkan laptop dan tas milik orangtua peserta.

Dalam kondisi gelap gulita, dia berusaha mencapai lantai paling atas. Senter dari ponsel menolongnya hingga ke lantai tiga. “Saya bersama para peserta audisi berkumpul di sana. Karena menurut kami itu lokasi paling aman,” beber pria 46 tahun itu.

Iwan salah satu penyelenggara dan juri di Indonesian Island Model Looks. Bekerja sama dengan Dinas Pariwisata Palu menjaring anak-anak berbakat di dunia model. Saat kejadian audisi tengah dilangsungkan. Dia bersama anak-anak dan orangtua mereka, baru saja menyelesaikan acara.

Di lantai paling atas itu, mereka menyempatkan diri salat Magrib. “Hanya tayamum saja (wudhu menggunakan debu),” kata pria berkacamata itu.

Mencoba bertahan, seorang pria mengaku manajer PGM datang. Meminta mereka untuk keluar. Karena kondisi gedung dikhawatirkan akan membahayakan siapa saja yang ada di dalamnya. Dengan terpaksa mereka berpindah. “Memang kondisinya saat itu bangunannya sudah retak-retak,” sambungnya.

Saat itu, sebut dia, ada sekitar 15 orang rombongannya dari orangtua dan anak-anak peserta audisi. Banyak dari mereka adalah perempuan. Bahkan seorang ibu harus bersusah payah karena membawa empat anak sekaligus.

Akhirnya untuk meringankan beban ibu itu, Iwan membantu menggendong anak yang terkecil berusia 2,5 tahun. “Alhamdulillah mereka (peserta audisi) semua selamat,” kata dia.

Perjuangan mencari tempat aman tak mudah. Ketika sampai di lantai dasar mal, kondisinya banjir. Air laut dari tsunami masih sekitar 50 sentimeter. Dengan kegelapan, susah bagi dirinya untuk berjalan. Ditambah banyak material bangunan, ancaman terluka sangat terbuka.

“Dua kali saya terjatuh. Alhamdulillah saya kuat menahan anak yang saya gendong agar tak tercebur,” tuturnya.

Iwan sudah memiliki tujuan saat itu. Yakni rumah orangtua angkatnya di perbukitan di selatan Palu. Menyusuri Jalan Lasoso, dia menyaksikan banyak kerusakan dan tubuh korban bergelimpangan di jalan.

“Kami terus berjalan hingga ke daerah kering. Lantas bertemu dengan warga sekitar dan mengikutinya ke daerah yang lebih tinggi,” sebut Iwan.

Di halaman deretan rumah bangsal, rombongan menghabiskan malam. Iwan sendiri tidur dalam kondisi duduk di atas pikap bersama alat-alat las milik warga sekitar. Beruntung, ada generator set (genset) dan terpal. Jadi mereka tak khawatir kehabisan baterai ponsel. Untuk melakukan komunikasi di tengah keterbatasan sinyal. “Hanya ada satu provider yang bisa digunakan untuk menelepon. Yang lain hanya berkabar melalui media sosial,” ucap bapak satu anak itu.

Selain kesulitan berkomunikasi, mereka tak memiliki bekal makanan. Walhasil, malam itu mereka harus tidur dalam kondisi lapar. Usaha mencari makan dilakukan keesokan pagi. Iwan turun dibonceng warga mengambil perbekalan dan membeli sejumlah persediaan untuk dibawa ke lokasi pengungsian.

“Besoknya saya sama bapak itu turun ke rumahnya. Kami ambil bahan makanan dan apa saja untuk membantu di lokasi kami mengungsi,” katanya.

Disebutnya pada hari kedua, masih mudah menemukan toko yang menjual makanan. Namun, pada hari ketiga, kondisi mulai kacau. Pemerintah Sulteng terlambat memberikan bantuan. Sehingga banyak korban yang selamat marah dan mulai berbuat onar.

Banyak toko dijarah. Bahkan untuk mendapatkan satu botol air mineral saja sulit. “Jadi ada pemilik toko yang sampai menggratiskan semua barangnya. Setelah kosong dia langsung pergi mengungsi,” lanjutnya.

Kekacauan makin meningkat pada hari keempat. Bantuan tak kunjung sampai ke lokasi-lokasi warga mengungsi. Padahal, kata dia, sudah banyak bantuan bertumpuk di sejumlah lokasi seperti Bandara Mutiara SIS Al-Jufrie Palu. Juga sejumlah relawan sudah tiba. Namun mereka tak bisa bergerak dan menyalurkan bantuan itu.

“Saya tanya teman saya, dokter dari Bali yang sudah datang pada hari kedua setelah bencana. Ternyata mereka tak bisa membantu karena terbelit birokrasi,” sesalnya.

Kekecewaan tersebut bertambah ketika ada kabar sejumlah penerbangan reguler dialihkan. Karena harus mengangkut keluarga pejabat Sulteng untuk keluar dari lokasi bencana. Ini membuat geram warga.

Hingga Rabu (3/10), Presiden Joko Widodo datang. Membuat sedikit ketenangan karena bantuan mulai mengalir sejak itu. “Banyak yang tersiksa. Pemerintah daerah sana (di Sulteng) seolah tak tanggap bencana,” katanya.

Kabar soal Pesawat Hercules pun sampai ke telinga Iwan. Dia dan rombongan memutuskan turun gunung. Menuju bandara yang sudah dikepung warga yang ingin eksodus. Dua hari dihabiskannya menginap. Sambil terus mencari informasi penerbangan ke Balikpapan. Meski barang-barangnya dikirim ke Makassar.

“Tujuan saya hanya Balikpapan. Saya sudah pegang tiket. Kebetulan informasi terus ada dari teman yang kakaknya bekerja di bandara,” kata warga RT 49 Jalan Jenderal Ahmad Yani, Gunung Sari Ilir, Balikpapan Tengah itu.

Dalam penantiannya, Iwan kehabisan makanan. Dia terpaksa bertahan dengan berkeliling mencari makanan sisa orang yang dibuang. Begitu juga air minum. Setiap ada orang minum akan ditunggu. Karena banyak dari mereka yang akan langsung pergi begitu ada Pesawat Hercules yang mendarat.

Pengalaman menghadapi bencana di Palu disebut Iwan semakin menguatkannya. Dia mengaku sudah terbiasa menghadapi bencana. Sehingga apapun yang terjadi tak perlu dihadapi dengan panik. Namun, kegeramannya terhadap tak maksimalnya pengiriman bantuan membuat Palu menghadapi kondisi yang kacau setelah gempa.

“Itu sebabnya saya mencurahkannya di media sosial. Karena bagaimanapun kalau ada gerakan cepat dari pemerintah setempat untuk mengirimkan bantuan, maka banyak korban yang bisa selamat. Dan kondisi Palu tidak chaos,” pungkasnya. (rom/k16)

BACA ARTIKEL LAINNYA... H+11 Gempa Sulteng: 2.010 Korban Meninggal


Redaktur & Reporter : Soetomo

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler