jpnn.com, JAKARTA - Anggota Komisi I Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) Sukamta menyebut Undang-undang Cipta Kerja menghadirkan celah liberalisasi dalam industri alat utama pertahanan.
Terutama, setelah muncul ketentuan Pasal 11 UU Ciptaker yang memungkinkan sektor swasta bisa mengurusi industri alat utama pertahanan.
BACA JUGA: Polisi Temukan Ladang Ganja Seluas Satu Hektare di Bukit Barisan, Dua Pemuda Diringkus
Lantas Sukamta pun berbicara tentang kepemilikan modal industri alat utama pertahanan seperti tertuang dalam Pasal 52 ayat 1 UU Ciptaker. Di situlah, kata Sukamta, celah liberalisasi bisa terjadi.
"Kini pihak swasta bisa masuk ke industri alat utama. Permasalahan kemudian muncul ketika sebuah industri strategis bisa dikuasai oleh pihak swasta. Modal perusahaan swasta bisa saja berasal dari asing walaupun status perusahaan tersebut merupakan badan usaha dalam negeri," kata Sukamta dalam keterangan resminya, Kamis (15/10).
BACA JUGA: Mantan Istri Polisi dan Seorang Pria Digerebek saat Asyik Berbuat Dosa di Kamar Indekos
Anggota Badan Anggaran (Banggar) DPR RI itu mengatakan, kepemilikan modal menjadi krusial bagi Indonesia. Sebab, menyangkut arah, kebijakan usaha, kerahasiaan data produksi alat utama pertahanan dari perusahaan swasta.
"Ini jelas akan banyak mengubah Daftar Negatif Investasi (DNI) khususnya dalam hal penanaman modal di bidang alat utama pertahanan," ucap dia.
BACA JUGA: Pelempar Batu dari Atas Gedung ke Massa Penolak Cipta Kerja Akhirnya Terkuak, Oh Ternyata
Selama ini, kata dia, sesuai dengan Perpres Nomor 44 Tahun 2016 tentang DNI, badan usaha yang menyelenggarakan alat utama mensyaratkan 100 persen modal berasal dari dalam negeri.
Namun, kata dia, dengan masuknya badan usaha dalam negeri nonpemerintah, bisa jadi tidak harus 100 persen modal berasal dari dalam negeri.
"Jangan sampai niat untuk memperkuat industri pertahanan dalam negeri menjadi liberalisasi industri yang ujung-ujungnya pihak asing yang menikmati," ucap dia.
Sukamta kemudian mengingatkan bahwa dalam konteks bisnis pembukaan peluang swasta mengurusi alat utama pertahanan ibarat mata pisau. Bisa jadi pertahanan Indonesia semakin kuat atau sebaliknya tumpul.
"Bab perizinan industri pertahanan kini tidak lagi di bawah Kemenhan. Kemenhan hanya jadi pengawas. Maka, soal izin ini harus ketat, tegas, dan terukur, agar bisa sesuai tujuan yaitu memperkuat pertahanan Indonesia. Jangan sampai liberalisasi industri pertahanan ini membuat ada kekuatan militer tidak resmi di luar institusi militer Indonesia," tutur dia.
Sebagai catatan, Pasal 11 UU Ciptaker yakni "Industri alat utama sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 ayat (1) huruf a merupakan: a. badan usaha milik negara; dan/atau
b. badan usaha milik swasta,
yang ditetapkan oleh Pemerintah sebagai pemadu utama (lead integrator) yang menghasilkan alat utama sistem senjata dan/atau mengintegrasikan semua komponen utama, komponen, dan bahan baku menjadi alat utama"
BACA JUGA: Kedapatan Miliki Senpi Ilegal, Adik Kandung Anggota Dewan Ini Melawan saat Ditangkap Petugas
Sementara itu, pasal 52 ayat 1 berbunyi "Kepemilikan modal atas industri alat utama dimiliki oleh badan usaha milik negara dan/atau badan usaha milik swasta yang mendapat persetujuan dari menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang pertahanan". (ast/jpnn)
Redaktur & Reporter : Aristo Setiawan