jpnn.com - PUCUK adat Suku Anak Dalam, Jambi ke Jakarta menyambangi Istana Presiden RI. Trah keturunan Singosari dan Pagaruyung ini mengadu. Tanah ulayat mereka diserobot.
Wenri Wanhar – Jawa Pos National Network
BACA JUGA: Bunuh Teman Kerja Lantaran Takut Aksi Kejahatan Terbongkar
Sebetulnya, Suku Anak Dalam nama pemberian orang Barat ketika kolonialisme Eropa masuk ke pedalaman Sumatera.
Nama itu disematkan karena mereka tinggal di pedalaman Sungai Batanghari.
BACA JUGA: Waspada, Cuaca Ekstrim akan Melanda Jambi hingga Akhir Mei
Aselinya, ”kami Suku Batin. Batin Sembilan,” kata Kutar, pemangku adat Batin Sembilan, dalam sebuah obrolan dengan JPNN.com, Jumat, 5 Mei 2017.??
Lantas kenapa nama Suku Anak Dalam lebih populer ketimbang Suku Batin?
BACA JUGA: Apa yang Terjadi Bila Para Wartawan Sedunia Berunding?
Ini mengingatkan kita pada Suku Aborigin di Australia.
Bukankah nama aborigin yang diberian orang Barat itu maksudnya ab-original alias tidak orisinil?
Sama juga dengan Suku Indian di Amerika. Bukankah Indian nama pemberian rombongan pelaut pimpinan Columbus ketika nyasar ke benua itu saat mencari Kepulauan Hindia?
Tak perlu jauh-jauh. Kalimantan saja. Bukankah nama sebenar penduduk setempat Utus Palangka Belau?
Tapi kini, lagi-lagi karena warisan kolonial, pendapat umum tahunya suku aseli Kalimantan adalah Dayak.
Nah, Suku Batin Sembilan—Suku Anak Dalam (SAD) menurut kesepakatan umum—sejak zaman leluhur berdiam di Batanghari dan Muaro Jambi.
”Berdasarkan studi dokumen,” merujuk penelitian Abas Subuk dari Batin Sembilan, “wilayah SAD Batin Sembilan membentang di sebelah selatan Sungai Batanghari dan sebelah timur Sungai Batang Tembesi.”
Secara harafiah, batin punya makna sungai.
Batin Sembilan memayungi sembilan suku yang berdiam di dalamnya. Dan, nama-nama sembilan suku itu sama dengan nama-nama sungai yang mengaliri wilayah tersebut.
Batin Bahar di Sungai Bahar, Batin Jebak di Sungai Jebak, Batin Singoan di Sungai Singoan—disebut juga Sungai Sialang Puguk atau Semuguk.
Kemudian Batin Jangga di Sungai Jangga, Batin Bulian di Sungai Bulian, Batin Batin Pemusiran di aliran Sungai Pemusiran.
Lalu Batin Burung Antu di aliran Sungai Burung Antu, Batin Selisak di aliran Sungai Selisak dan Batin Sekamis di aliran Sungai Sekamis.
Merunding Pangkal
Tempo hari, 20 Oktober 2009, para tua tengganai Batin Sembilan merundingkan sejarah asal-usul nenek moyang di Gedung PKK Kabupaten Batanghari, Jambi.?Terkait sungai, perundingan mencari pangkal itu merumuskan…
Berdasar sejarah dan adat istiadat, dari semua sungai yang kami kuasai, hanya Sungai Bulian yang dari muaro sampai dengan ulu menjadi wilayah masyarakat Batin Sembilan.
Sedangkan sungai-sungai lainnya hanya bagian tengah sampai dengan ulu yang kami kuasai.
Kemudian, dalam hal administrasi pemerintahan...
Batin Selisak dan Batin Sekamis dari dahulu dijadikan satu pemerintahan yaitu Batin Selisak Sekamis.
Begitu juga Batin Pemusiran dan Batin Burung Antu dijadikan satu pemerintahan yaitu Batin Pemusiran Burung Antu.
Yang menarik, sejarah orang Batin Sembilan yang disimpulkan para tua tengganai. Berikut cuplikannya...
Batin Sembilan adalah keturunan dari Sembilan bersaudara anak Raden Ontar, anak Raden Nagosari, anak dari Meruhum Sungsang Romo berdarah Mataram Hindu dengan Bayang Lais anak Bayas Sigayur berdarah Pagarurung dan Putri Pinang Masak berdarah Gunung Kembang.
Moyang kami itu menurut kepercayaan kami hidup pada zaman antara Kerajaan Sriwijaya dan Kerajaan Majapahit.
Sembilan bersaudara itu adalah: Singo Jayo, Singo Laut, Singo Besar, Singo Patih, Singo Jabo, Singo Anum, Singo Gembalo, Singo Delago, dan Singo Mengalo.
Keyakinan para tua tengganai itu, menurut Abas Subuk, berkesesuaian pula dengan apa yang tertulis dalam Kidung Panji Wijayakrama dan Pararaton yang mengisahkan…
Pada 1275, Raja Kertanegara (dari Singosari) mengirim utusan ke Sumatera. Dikenal sebagai Ekspedisi Pamalayu. Utusan dipimpin Kebo Anabrang.
Pada 1286, Kertanagara kembali mengirim utusan untuk mengantar Arca Amoghapasa--kini jadi koleksi Museum Nasional, Jakarta, setelah dipindahkan dari Dharmasraya, Sumatera Barat pada zaman Belanda.
Para tua tengganai Batin Sembilan meyakini nenek moyang mereka persekawinan utusan Ekspedisi Pamalayu dan Pagaruyung.
Tentang struktur pemerintahan dan sosiokultural, mereka menyimpulkan bahwa, "sejak zaman dahulu kami dipimpin oleh Patih atau Pati atau De Patih (istilah Belanda), dan tidak pernah dipimpin oleh Tumenggung."
Dengan demikian, "sejak zaman dahulu kami berbeda dengan Orang Kubu (Kubu Lalan) dan Orang Rimbo (Bukit Dua Belas)."
Para tua tengganai Batin Sembilan pun mempertegas bahwa mereka bukan Orang Kubu. Bukan pula Orang Rimbo.
Pun demikian, mereka mengakui Orang Rimbo yang hidupnya nomaden (belakangan sudah mulai menetap) sebagai kelompok manusia yang lebih dahulu menghuni pedalaman Jambi sebelum mereka.
Sekadar catatan, Suku Batin Sembilan sejak zaman dahulu memiliki perkampungan. Kalau pun ke hutan, mereka hanya menginap (mandah) untuk berburu dan mencari hasil hutan.
"Masyarakat Batin Sembilan dipimpin oleh Patih, mengikuti struktur Kerajaan Singasari, yang kemudian mendapat pengaruh bahasa Belanda menjadi Depati (De Patih), dan di Orang Rimbo dipimpin oleh Tumenggung," tulis Abas Subuk.
Apa boleh buat, keseluruhan suku-suku yang bermukim di pedalaman Jambi ini, oleh para ilmuwan Barat diseragamkan sesuka hati.
Kadang mereka seragam menyebutnya Suku Anak Dalam. Kadang serampangan melabeli mereka Orang Kubu.
Abas Subuk mendapati itu setelah membaca sejumlah hasil penelitian ilmuwan Barat, antara lain...
Das Welt der Orang Kubus auf Sumatra, Globus, Zeitschrift fur Länder und Völkerkunde, Friedrich Bieweg und Zohn, Braunschweig. Andree, K. (ed.) 1874.
Een Maleische Legende Omtrent De Afstammeling Der Vorsten Van Djambi En De Geschiedenis Der Oerang Koeboe – tijdschrift voor, Damsté, H. T. 1901.
“On the Kubus of Sumatra”, The Journal of the Anthropological Institute of Great Britain dan Ireland Vol XIV, Tr?bner dan Co, London. Forbes, H. O. 1885.
Die Orang Kubu auf Sumatra, Staedtischen Voelker Museum, Frankfurt am Main, Joaeph Baer und Co.Hagen von, B. 1908.
Eenige bijzonderheden omtrent de oorspronkelijke orang koeboe in de omgeving van het Doeabelas Gebergte van Djambi, Tijdschrift van het Koninklijk Aardrijkskundig Genootschap, tweede serie deel XXII, Brill, Leiden. Waterschoot van der Gracht, W. A. 1915.
Pada 1927, menurut mereka, pemerintah kolonial Hindia Belanda menerbitkan surat yang menerangkan keberadaan dan tanah ulayat Suku Batin. Kemudian disusul lagi surat bertarekh 1930.
Oiya, Suku Batin Sembilan ahli pengobatan. Untuk penyembuhan mereka menggelar ritual basale.
Di samping asap kemenyan, untuk pelengkap ritual, mereka buat semacam benda yang mirip sekali rumah joglo ala Singosari.
"Bukan kami yang menyembuhkan. Kami ni tak ado apo-aponyo. Leluhur yang datang," kata Kutar, sang kepala suku.
Jika Belanda yang dibilang penjajah mengakui keberadaan dan tanah ulayat mereka, di zaman Indonesia merdeka kampung mereka malah diserobot.
"Pada 1986 kami terusir," kata Kutar, Pemangku Adat Batin Sembilan.
Untuk mengadukan itulah, para pucuk adat Batin Sembilan, didampingi Komite Rakyat Nasional (Kornas) dan Serikat Tani Nasional (STN) menyambangi Istana Presiden RI, Jumat, 5 Mei 2017.
Saat diterima Deputi IV Kantor Staf Presiden (KSP) Eko Sulistyo, seorang Tuo Tengganai Batin Sembilan yang bernama Nurman sampai menangis terisak-isak.
"Kami punya enam tanah pekuburan. Kini, tiga berada di dalam lahan perusahaan. Kami tak bisa ziarah ke leluhur kami."
Sekjen Kornas Akhrom Saleh berharap, sengketa antara masyarakat adat dan PT Asiatic Persada, anak perusahaan Wilmar Grup sejak 31 tahun lalu ini bisa diselesaikan Presiden Jokowi.
"Tanah ulayat Suku Anak Dalam seluas 3550 hektare yang dikuasai perkebunan sawit harus dikembalikan lagi. Kasihan. Kini, mereka tinggal berpencaran. Bila tidak, maka selapis sejarah akar bangsa ini akan hilang." (wow/jpnn)
BACA ARTIKEL LAINNYA... Suami Aniaya Anak, Istri Membiarkan, Keduanya pun Duduk di Kursi Pesakitan
Redaktur & Reporter : Wenri