jpnn.com - SIAPA yang menyangka kalau kasus Bank Mutiara (dahulu Bank Century, red) bukan saja bertele-tele, tapi juga menyengat kesadaran publik saat Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) menyatakan kerugian negara mencapai Rp 689,3 miliar ditambah Rp 6.742 miliar sehingga berjumlah Rp7,4313 triliun? Saya sendiri berpendapat kerugian itu tidak demikian besarnya, melainkan jumlah itu dikurangi dengan harga penjualan Bank Mutiara.
BACA JUGA: Pemerintah Dituding Abaikan Aspirasi Pengusaha Tambang
Tapi kerugian ini bertambah lagi karena Bank Mutiara membutuhkan injeksi modal Rp 1,249 triliun. Kebutuhan ini disebabkan kredit bermasalah yang perlu dicadangkan mencapai Rp 621,1 miliar dan kebutuhan biaya antara lain untuk pembayaran pajak Rp 222 miliar, pembayaran nasabah Antaboga Rp 40,7 miliar, Mandatory Convertible Bonds Rp 167,4 miliar, serta pembayaran atas kewajiban 3 koperasi Rp 173,3 miliar.
BACA JUGA: Tampung UKM Jatim
Yang jadi masalah, apakah kredit bermasalah yang muncul dari manajemen lama Rp 545,4 miliar sedangkan dari manajemen baru Rp 84,7 miliar tidak teridentifikasi dengan baik dengan pendekatan mitigasi risiko? Pertanyaan yang sama bisa diajukan saat bank tersebut diambil alih LPS. Apakah manajemen atas unjuk LPS tidak memperhitungkan risiko likuiditas ? Pertanyaan ini diajukan justru karena transfer dana dari LPS ke Bank Century tidak menggunakan pembatas jumlah injeksi penyertaan modal sementara (cut off) sebagaimana hasil audit BPK.
Dalam hal ini BPK berpendapat, karena pada saat pengambil alihan Bank Century oleh KSSK tidak ada ketentuan berapa besar injeksi modal yang ditentukan dan LPS kemudian juga tidak menetapkan batas atas besarnya penyertaan modal sementara, maka sejak diputuskan diambil alih hingga penambahan modal Rp 1,249 triliun, LPS tidak menerapkan prinsip kehati-hatian.
BACA JUGA: Fasilitasi Perdagangan ke Dili
Dalam sebuah talkshow di televisi saya pernah memilah kasus Bank Century menjadi empat bagian. Pertama, merger (penggabungan) menjadi Bank Century. Kedua, dari merger ke FPJP. Ketiga, dari FPJP ke KK. Keempat, dari KK ke KSSK.
Persoalan pertama dan kedua adalah persoalan bagaimana BI menjalankan peranannya sebagai regulator dan lembaga pengawas industri perbankan. Kalangan perbankan mengerti bahwa bank ini sejak awal memang tidak sehat. Ini tergambar dalam posisi merger dan setelahnya. Pada titik inilah perubahan PBI untuk memberi bantuan likuiditas melalui FPJP menjadi puncak buruknya pengawasan BI terhadap Bank Century. Justru karena memahami persoalan ini lebih dalam, maka situasi nilai tukar yang bergejolak pada Oktober-November 2008 dimanfaatkan BI untuk mengatakan bahwa krisis berdampak sistemik.
Sebenarnya sejumlah petinggi BI tidak setuju dengan keputusan tentang Bank Century sebagai bank gagal berdampak sistemik. Semua indikator keuangan menunjukkan tidak berdampak sistemik. Bank Century menjadi berdampak sistemik saat digunakan indikator psikologis. Saya berpendapat, penggunaan indikator psikologis inilah yang menunjukan bahwa penyelamatan Bank Century dipaksakan seperti yang saya kemukakan saat di hadapan Pansus Bank Century pada 21 Januari 2010. Karena itu menjadi ceroboh.
Sayangnya kecerobohan ini diulang. Jika LPS menerapkan prinsip kehati-hatian -paling tidak belajar dari cara pemerintahan Presiden BJ Habibie melakukan rekapitalisasi perbankan hingga Rp 430,2 triliun guna mencapai CAR tertentu- lalu manajemen atas unjuk LPS juga menerapkan prinsip ini serta proper and comply, maka tidak akan berlaku tudingan moral hazard. Pada manajemen misalnya, tugas utamanya adalah menjaga kepercayaan nasabah sehingga nasabah tidak menarik dananya disebabkan LPS sudah menjadi pemegang saham terbesar.
Kenyataannya, Bank Century tetap berhadapan dengan pasar yang tidak percaya. Begitu juga dengan soal kredit bermasalah. Tidaklah mungkin kolektibilitas aktiva langsung macet. Infonya, kondisi ini sudah berjalan sejak Mei 2013 di tengah laporan keuangan sebelumnya bahwa Bank Mutiara terus meraih untung. Padahal jika melihat kinerja keuangan bank ini yang belum diaudit per Oktober 2013, kredit yang diberikan mencapai Rp 11,4 triliun dan simpanan berjangka Rp 11,9 triliun, penempatan di BI Rp 2,29 triliun, kas Rp 220 miliar dan penempatan pada bank lain Rp 608,1 miliar. Angka-angka ini menunjukkan bahwa jika manajemen dan LPS sebagai pemegang saham mau realistis, injeksi Rp 1,249 triliun guna mencapai kecukupan modal minimum (CAR) 14 persen tidak dibutuhkan. Pindahkan saja dana penempatan di BI dan di bank lain ke pos modal. Ambil pula pencadangan aktiva dari sini.
Memang ada dampaknya, yakni aset menurun dan harga jual Bank Mutiara lebih jatuh lagi. Hal inilah yang tidak dikehendaki karena berarti kerugian negara makin besar. Karena itu dibutuhkan injeksi modal tambahan agar aset tidak menurun dan Bank Mutiara nampak kinclong. Akankah upaya ini sukses ? Mudah-mudahan saja kerugian negara mengecil, walau sulit dihindari.(***)
BACA ARTIKEL LAINNYA... Proyek Kereta Cepat Mulai 2014
Redaktur : Tim Redaksi