jpnn.com - MERUJUK data Kementrian Agama (2012-2013), total jumlah madrasah di Indonesia, mulai dari tingkat Raudlatul Athfal (RA) setingkat Taman Kanak-kanak (TK) hingga Madrasah Aliyah (MA) setingkat Sekolah Menengah Atas (SMA) sebanyak 73.786 sekolah.
Di negeri yang hari ini bernama Indonesia, madrasah atau sekolah Islam dirintis oleh Inyiak Rasul, ayah Buya Hamka di Padang Panjang, Sumatera Barat. Begini kisahnya...
BACA JUGA: PKI, Partai Politik Pertama yang Menggunakan Nama Indonesia
-------
Wenri Wanhar - Jawa Pos National Network
BACA JUGA: Oimak... Emas Istana Nabi Sulaiman dari Sumatera?
-------
Pada 1901, sepulang menimba ilmu dari Syekh Achmad Khatib Al-Minangkabawi--imam besar Masjidil Haram di Mekkah, Haji Rasul alias Inyiak Rasul alias Syekh Abdul Karim Amrullah mengamalkan ilmunya di surau Jembatan Besi, Padang Panjang.
BACA JUGA: Arsitektur Museum Sejarah Jakarta Menyerupai Balaikota Amsterdam
Karena "ber-alam luas ber-padang lebar", ia "dinaikkan seranting, dimajukan selangkah". Haji Rasul ditunjuk memimpin pengajian di surau Jembatan Besi.
Sebelum kedatangan Haji Rasul, ulama-ulama yang pernah mengasuh pengajian di sini antara lain, Syeikh Abdullah, Syeikh Daud Rasjidi, Syekh Abdul Latif Rasjidi.
“Di bawah asuhan Syeikh Abdul Karim Amrullah, pengajian surau Jembatan Besi bertambah maju,” tulis Datuk Palimo Kajo, dalam buku Sedjarah Perguruan Thawalib Padang Pandjang.
Urang Siak
Orang-orang datang belajar agama tak hanya dari seputaran Minangkabau, tapi juga dari Tapanuli, Aceh, Bengkulu, Malaya, Siam dan Siak.
Dari Siak paling banyak. Sampai-sampai semua orang yang belajar agama Islam di ranah Minang disebut urang siak, hingga hari ini. Sebutan urang siak ini lebih kurang serupa dengan santri di tanah Jawa.
“Inyiak Rasul merubah sistem belajar di Jembatan Besi yang semula berhalaqah (duduk bersila; murid melingkar guru) menjadi berkelas-kelas seperti sekolah modern,” tulis Burhanuddin Daya dalam Gerakan Pembaruan Pemikiran Islam: Kasus Sumatera Tawalib.
Pada 1912, murid dan guru surau Jembatan Besi mendirikan organisasi Sumatera Thuwailib. Kemudian berganti nama Sumatera Thawalib. Seiring itu, metode belajar mengajar pun berubah bentuk dari pengajian surau mendekati sekolah modern yang terdiri dari tujuh kelas.
“Kitab-kitab yang diajarkan menjadi lebih teratur untuk setiap kelas,” ungkap Datuk Palimo Kajo.
Karena pengajian semakin ramai, dibangunlah gedung baru (gedung Perguruan Tawalib sekarang) yang jaraknya sekira 100 meter dari surau Jembatan Besi (kini Masjid Az-zu’ama).
Lalu diadakan bangku dan meja. Jadilah Sumatera Thawalib sekolah modern Islam pertama di negeri yang hari ini bernama Indonesia.
Struktur kepengurusan sekolah Sumatera Thawalib, merujuk buku Sejarah Sumatera Tawalib yang ditulis Datuk Palimo Kajo, dipimpin Haji Rasul sebagai guru besar dan wakilnya Tuanku Mudo Abdul Hamid Hakim.
Mereka dibantu oleh Engku Hasjim Tiku sebagai ketua pengurus dan Zainuddin Labay El Junusy sebagai pembimbing.
Kawan Seperguruan
Pada 1917 Inyiak Rasul bertandang menjumpai Ahmad Dahlan, lakon Muhamadiyah ke Yogyakarta. Keduanya kawan satu guru satu ilmu. Sama-sama pernah berguru kepada Syeikh Achmad Khatib Al-Minangkabawi.
Tiga hari tiga malam, pimpinan Sumatera Thawalib itu menginap di Kauman. Haji Rasul menyimak perkembangan organisasi Muhammadiyah yang baru saja didirikan Dahlan. Sementara Dahlan menyimak sekolah Islam yang didirikan Haji Rasul.
Dua sekondan itu saling mempengaruhi. Haji Rasul membawa Muhammadiyah ke Sumatera. Dan empat tahun kemudian, persisnya 8 Desember 1921, Ahmad Dahlan mengubah pengajian Muhammadiyah di Kauman menjadi sekolah Pondok Muhammadiyah.
“Inilah untuk pertama kalinya Muhammadiyah membuka sekolah,” tulis Saleh Putuhena, mantan Rektor UIN Alauddin Makassar dalam Historiografi Haji Indonesia. (wow/jpnn)
BACA ARTIKEL LAINNYA... Orang Ini yang Pertama Membawa Radio ke Indonesia
Redaktur : Tim Redaksi