Sungguh Baik Hati, Mereka Buka Pintu Rumah untuk Pengungsi

Kamis, 28 September 2017 – 23:15 WIB
Suasana di Pengungsian warga yaang terdampak dari aktivitas gunung Agung di GOR Suweca Gelgel, Klungkung, Bali (25/9). Ilustrasi : Raka Denny/Jawa Pos

jpnn.com - Tak cuma menyediakan tempat berteduh, para tuan rumah juga berupaya membuat para pengungsi nyaman dengan menyediakan layar lebar, dapur umum, sampai tempat penitipan hewan. Yang ingin meneruskan usaha selama di pengungsian juga dipersilakan.

SAHRUL YUNIZAR, Klungkung

BACA JUGA: Ratusan Napi - Tahanan Lapas Karangasem Diungsikan

---

LIMA hari sudah Komang Widastra meninggalkan kampung halamannya di Karangasem.

BACA JUGA: Pengungsi Gunung Agung Tembus 134.229 Jiwa

Namun, tidak tampak kegundahan yang berlebihan di raut wajah pria yang akrab disapa Bagong itu.

"Karena Bu Ani yang baik hati mau menampung kami," ungkap warga Dusun Karangsari, Kelurahan Duda Utara, Kecamatan Selat, Bali, tersebut, lantas tersenyum kepada Ni Wayan Saryani.

BACA JUGA: Gunung Agung Status Awas, Turis Tetap Ramai ke Bali

Ani -sapaan Ni Wayan Saryani- merupakan pemilik rumah di kawasan Jalan Jempiring, Klungkung. Sejak Jumat malam (22/9) Bagong bersama keluarga mengungsi di rumah tersebut untuk mengantisipasi letusan Gunung Agung.

Total 35 orang ditampung guru sekolah dasar berusia 57 tahun itu dan sang suami, Ketut Sutawan.

Selain menyediakan tempat berteduh dan konsumsi, Ani menyiapkan hiburan berupa televisi dan proyektor dengan layar cukup besar.

Beragam film, kadang-kadang juga tayangan langsung sepak bola, diputar agar Bagong dan pengungsi lain bisa nonton bareng se­tiap malam.

"Jangan sampai merasa seperti di pengungsian," tutur Ani kepada Jawa Pos Selasa (26/9).

Ani tak sendirian yang secara sukarela membuka rumah pribadi untuk menampung pengungsi.

Banyak keluarga di Klungkung yang melakukan hal serupa.

Dua di antaranya adalah Anak Agung Gede Rai Sri Budaya dan pasangan Ani Gitawan dan suami­nya, Wayan Gitawan.

Motivasi mereka sama: hanya ingin membantu. Meringankan beban sesama, tanpa pamrih.

Sebab, bagi mereka, mengu­lurkan tangan kepada yang tengah membutuhkan adalah berkah.

Selaras dengan prinsip kearifan lokal Bali: menyama braya.

Mengutip Menyama Braya (Studi Perubahan Masyarakat Bali) karya Christantius Dwiatmadja, Sony Heru Priyanto, David Samiyono, dan I Wayan Damayana, menyama braya bermakna bahwa semua orang (orang lain) merupakan saudara atau keluarga, tidak ada orang lain atau wong liyan.

Karena merupakan saudara atau keluarga, orang lain diperlakukan seperti keluarga sendiri.

"Malu rasanya kalau kami sampai tidak membantu," kata Gung Rai, sapaan akrab Anak Agung Gede Rai Sri Budaya.

Kalau Gunung Agung benar meletus, Karangasem diprediksi menjadi kabupaten yang paling parah terdampak.

Karena itulah, banyak warga Karangasem yang diungsikan ke kabupaten tetangga, Klungkung.

GOR Swecapura, Klungkung, merupakan pusat koordinasi dan penampungan pengungsi. Tapi, di luar GOR, banyak pula yang ditampung di banjar alias desa adat.

Begitu mendengar arus pengungsi dari Karangasem mulai mengalir, Ani mengaku langsung mendatangi GOR dan sejumlah banjar.

Dia menawari mereka tinggal di rumah yang ditempatinya bersama suami, anak, dan cucu.

Rumah Ani yang berbentuk huruf U bisa menampung total sampai sekitar 80 orang.

Ada empat kamar di bagian luar bangunan utama yang disediakan untuk pengungsi.

Selain itu, masih ada tujuh kamar lagi di bagian belakang yang selama ini disewakan untuk kos.

Empat di antaranya masih disewa pengekos. Tiga lainnya diperuntukkan pengungsi.

Seluruh kamar dilengkapi toilet. Sedangkan Ani dan keluarga menempati satu kamar di bagian dalam bangunan utama.

Ibu dua anak itu menggelengkan kepala ketika Jawa Pos bertanya soal kerepotan mengurus 35 pengungsi di rumahnya. Sebaliknya, Ani malah senang.

"Bagaimana kalau dibalik? Saya yang jadi mereka. Sudah pasti bingung mencari tempat tinggal sementara," katanya.

Layaknya ruang keluarga, pelataran rumah Ani yang jadi tempat nonton bareng juga dilengkapi bantal dan karpet.

Ani memang ingin seluruh pengungsi nyaman. Tidak kaku, apalagi ragu, berbuat yang mereka mau.

"Harus seperti rumah sendiri," imbuhnya.

Ani siap menanggung biaya demi menyokong kebutuhan sehari-hari seluruh pengungsi di rumahnya. Baik listrik, air, maupun logistik.

Dia sangat percaya, dengan niat baik, akan selalu ada jalan untuk membantu.

Benar saja, untuk kebutuhan makanan, dia akhirnya dapat bantuan dari Pemkab Klungkung.

Ani pun membuatkan dapur khusus untuk mereka. "Ada di belakang. Jadi, bebas. Bisa masak apa pun. Kalau di depan saya mungkin sungkan," kata dia.

Tujuan lain dia membuat dapur itu adalah para pengungsi tidak melulu bergantung kepada pemerintah.

Untuk itu, dia mempersilakan para pengungsi yang sehari-hari menggantungkan nasib dengan berjualan oleh-oleh untuk meneruskan usaha mereka.

"Sekarang (Selasa lalu, Red) alatnya sedang dibawa (ke sini)," ujarnya.

Di Kompleks Puri Kaler Kangin, Gung Rai membuka lebar-lebar pintu rumah sekaligus tempat ibadah itu karena teringat yang dilakukan sang ayah, Anak Agung Gede Rai Tan Naya, 54 tahun silam. Persisnya ketika Gunung Agung terakhir meletus pada 1963.

"Ayah ketika itu langsung membuka rumah untuk menampung pengungsi," kata pria yang masih keturunan raja Klungkung itu.

Jadilah sejak Jumat malam lalu puluhan pengungsi mengetuk pintu tempat tinggalnya. "Mereka langsung datang karena sudah tahu," ucap suami Gusti Ayu Rupini tersebut.

Satu di antara 27 pengungsi yang datang ke rumahnya bahkan pernah menjadi pengungsi saat Gunung Agung meletus pada 1963. "Umurnya sudah 90 tahun lebih," tambah pensiunan PNS tersebut.

Pengungsi yang dimaksud adalah Ketut Suwanda. Gung Rai lantas mengajak Jawa Pos menemuinya.

Tampak sekali keakraban di antara keduanya meski tak ada pertalian darah.

"Katanya masih ingat saya. Masih ingat ayah saya," ucap Gung Rai menirukan ucapan Suwanda yang tak bisa berbahasa Indonesia.

Di tempat terpisah di Klungkung, sudah ada sembilan keluarga yang ditampung di kediaman Wayan dan Ani Gitawan.

Memang semuanya masih memiliki hubungan saudara. Tapi, tidak berarti yang tak punya hubungan famili tak diterima.

"Siapa pun kami terima," tutur Ani Gitawan.

Perempuan yang sehari-hari bertugas sebagai instruktur yoga itu pun sampai meliburkan anak didiknya.

Tujuannya tidak lain adalah tempat berlatih yoga bisa dipakai istirahat oleh para pengungsi.

Khusus untuk pengungsi yang punya hewan ternak, Ani bersama suami sudah menyiapkan lahan kosong di Dusun Cucukan.

Luasnya 60 hektare. Sekarang sudah ada beberapa sapi milik pengungsi yang dititipkan di sana

"Ketimbang dijual murah, lebih baik para pengungsi menitipkan hewan ternak mereka di lahan tersebut. Sehingga bisa terus dipantau," katanya. (*/c10/ttg/jpnn)

BACA ARTIKEL LAINNYA... Menko PMK: Pemerintah Siap Hadapi Bencana Gunung Agung


Redaktur & Reporter : Natalia

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler