Selama beberapa dekade, surat An-Nisa' ayat 34 telah menjadi sumber perdebatan sengit tentang apakah dan sejauh mana Islam memberi sanksi pada otoritas laki-laki dan tindakan memukul perempuan.
Meskipun para cendekiawan Muslim terbelah atas beberapa poin - termasuk terjemahan bahasa Arab yang benar dari kata "wa-dribuhunna', yang telah diterjemahkan sebagai "memukul mereka" dan "menyerang mereka", tetapi juga "berpisah" dan "pergi" dari mereka -ayat tersebut menyatakan bahwa seorang perempuan pemberontak pertama-tama harus dinasihati oleh suaminya, lalu ditinggalkan di tempat tidur dan, akhirnya, jika ketidaktaatannya berlanjut, dipukuli.
BACA JUGA: Jaksa Gagal Hadirkan Bukti James Ricketson Spionase
Ayat tersebut telah menjadi duri bagi para pekerja kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) dan aktivis hak-hak perempuan, yang mengatakan hal itu memicu penyalahgunaan di komunitas Muslim dan menghalangi para korban untuk meminta bantuan.
Sekarang, generasi baru Ulama di Australia menentang kondisi status quo itu dan berbicara untuk mempromosikan tafsir An-Nisa' ayat 34 tanpa kekerasan dengan harapan mereka bisa menghentikan kerusakan yang telah terjadi selama beberapa dekade.
BACA JUGA: Tokoh Aborijin Kecewa Tony Abbott Ditunjuk Sebagai Utusan Khusus Urusan Pribumi
Pemimpin agama "benar-benar" memiliki tanggung jawab untuk mendiskusikan An-Nisa' ayat 34 dengan komunitas mereka, kata Sheikh Alaa El Zokm, seorang Ulama di Melbourne -seraya menekankan bahwa hal itu tak boleh digunakan untuk memaafkan kekerasan.
Pada saat yang sama, ia menambahkan, banyak pemimpin yang tidak memenuhi syarat dalam keilmuan Islam, dan hanya menerjemahkan terjemahan harfiah yang mereka ambil.
BACA JUGA: Kekerasan Negara Picu Gelombang Pendatang Ilegal Asal Vietnam
"Seorang Ulama seharusnya tidak membicarakan masalah ini kecuali ia belajar dan tahu apa yang ia bicarakan ... Ini bisa sangat berbahaya jika ia mengatakan sesuatu yang tidak benar." Photo: Perempuan Muslim merenungkan kitab suci Al-Quran. (Amani Haydar)
Ulama di Australia memiliki berbagai tafsir
Ketika ABC pertama kali mulai melaporkan kisah ini 18 bulan yang lalu, pertanyaan tentang hubungan antara surat An-Nisa' ayat 34 dan KDRT dengan cepat dibungkam oleh para ahli dan sosok serupa Ulama - sebagian karena ketakutan bahwa mengangkat masalah ini akan mengundang (atau memperpanjang) pemberitaan media yang sensasional dan pengawasan yang tidak diinginkan terhadap komunitas Muslim, yang sudah merasa tertekan.
Tetapi setelah menghabiskan lebih dari satu tahun berbicara dengan Muslim Australia tentang pertanyaan ini, menjadi jelas bahwa Ulama, pada kenyataannya, terbelah, sementara para pemimpin kunci terus menolak untuk terlibat sama sekali. Video: Shady Alsuleiman describes the 'husbands rights upon his wife' (ABC News)
Ulama besar Australia, Dr Ibrahim Abu Mohammed, tidak menanggapi beberapa permintaan ABC untuk mencari kejelasan tentang surat An-Nisa' ayat 34 (begitu-pun pendahulunya, Sheikh Abdel Aziem Al-Afifi, yang meninggal pada bulan Juli, hanya empat bulan menjabat).
Presiden Dewan Imam Nasional Australia, Sheikh Shady Al Suleiman, juga menolak untuk menanggapi permintaan berulang untuk berkomentar selama enam bulan terakhir, termasuk terhadap pernyataannya bahwa suami memiliki hak untuk melarang istri meninggalkan atau bekerja di luar rumah, termasuk pergi ke halaman belakang untuk "menjemur cucian".
Kaum perempuan juga cenderung menghindar dari pembahasan ayat itu: ketakutan bahwa mereka mungkin dilihat sebagai kritis atau menantang otoritas para Ulama laki-laki adalah alasan kuat, terutama bagi mereka yang bekerja di sektor KDRT.
Fatima *, seorang ibu di Melbourne yang baru saja bercerai, mengalami kekerasan fisik, emosional dan keuangan selama puluhan tahun oleh suaminya, yang ia sebut menggunakan An-Nisa' ayat 34 untuk membenarkan tindakannya.
"Saya dibesarkan di Australia, dan menggunakan terjemahan bahasa Inggris sampai saya mulai belajar bahasa Arab sendiri. Selama bertahun-tahun saya menafsirkan [ayat]-nya secara harfiah, saya percaya ia berhak, bahwa saya layak mengalaminya," kata Fatima. Photo: Para pria Muslim menolak kekerasan dalam rumah tangga. (Amani Haydar)
Ia berkata bahwa ia telah menerima saran yang berbeda dari para pemimpin agama.
"Saya pernah mendengar seorang Ulama mengatakan bahwa seorang pria memiliki hak [untuk memukul istrinya] dalam keadaan paling ekstrim dari 'nushuz' [ketidaktaatan atau ketidaksetiaan] ... Jadi pada dasarnya jika ia masuk dan menemukan istrinya berselingkuh ... Jika ia kehilangan kesabarannya dan memukulnya, maka ia akan dimaafkan untuk reaksi pertamanya."
Ulama-Ulama lain, tambahnya, "telah mengatakan, 'Yah, tindakan [memukul] itu harus bersifat simbolis; seorang suami bisa menggunakan sikat gigi atau syal dan tak bisa meninggalkan bekas atau memar - itu hanya untuk menunjukkan bahwa Anda marah."Investasi dalam beasiswa ke-Islaman dibutuhkan
Pernyataan dan tafsir hukum Islam bergantung pada cendekiawan yang memiliki "pemahaman mendalam" tentang masyarakat di mana mereka tinggal, dan harus selalu relevan dengan dan mencerminkan budaya lokal, kata Mehmet Ozalp, direktur pendiri Pusat Studi Islam dan Peradaban di Charles Sturt University.
Dr Ozalp mengatakan, ada kebutuhan untuk investasi yang lebih besar dalam beasiswa ke-Islaman di sini.
"Hingga kami mendirikan Pusat Studi Islam di CSU, jika seorang Muslim ingin unggul dalam studi Islam, mereka harus pergi ke luar negeri - misalnya, Yaman, Suriah atau Mesir - untuk belajar."
"Tempat-tempat ini masih memiliki daya tarik bersejarah, tetapi kita perlu memberikan tingkat pendidikan Islam yang setara atau lebih baik di Australia."
Satu dekade yang lalu sebuah laporan oleh Dewan Kesejahteraan Perempuan Islam di Victoria menyatakan bahwa para Ulama Muslim tidak diperlengkapi untuk menanggapi masalah modern yang rumit termasuk pernikahan, perceraian dan kekerasan dalam rumah tangga, dan bahwa beberapa dari mereka melakukan pernikahan poligami ilegal, atau menghalangi polisi untuk mengajukan tuduhan KDRT.
"Mayoritas Ulama di Australia masih menerapkan apa yang saat ini dianggap sebagai Islam klasik arus utama dan logikanya, terutama pada isu-isu gender," kata Adis Duderija, yang meneliti Islam progresif dan gender dalam Islam di Griffith University. Photo: Seorang perempuan yang mengenakan niqab. (Amani Haydar)
Apa yang juga dibutuhkan sekarang, kata para penyintas dan para pendukung, adalah agar para cendekiawan dan pemimpin spiritual Australia yang paling senior untuk memecah kebisuan mereka dan memberikan kejelasan pada surat An-Nisa' ayat 34, sebagaimana yang dilakukan para Ulama di negara-negara Barat lainnya.
Dalam sebuah langkah yang langka di tahun 2012, misalnya, Dewan Tinggi Islam Kanada mengeluarkan fatwa, yang ditandatangani oleh 34 Ulama anggota, yang menyatakan bahwa pembunuhan demi kehormatan, kebencian terhadap perempuan dan kekerasan dalam rumah tangga adalah "tindakan dan kejahatan yang tidak Islami dalam Islam".
Namun di Australia, hampir tidak ada diskusi. Dewan Ulama Nasional Australia sebelumnya menyerukan para Ulama untuk menyampaikan khotbah Jumat khusus tentang KDRT untuk menandai Hari Internasional Penghapusan Kekerasan terhadap Perempuan.
Tapi sementara pihak mereka telah mengeluarkan pernyataan rinci mengklarifikasi posisi Islam terhadap homoseksualitas ("homoseksualitas adalah tindakan terlarang; dosa besar dan siapa pun yang mengambil bagian di dalamnya dianggap sebagai hamba yang tidak patuh kepada Allah yang akan mendapatkan ketidaksenanga dan ketidaksetujuan-Nya"), tidak ada nasihat seperti itu yang tertulis dalam surat An-Nisa' ayat 34.
"Sebagai seorang perempuan, sebagai anggota komunitas Muslim, itu akan sangat berarti jika Ulama besar akan muncul dan berkata, 'tidak pernah ada alasan untuk kekerasan," kata Fatima, korban kekerasan dalam rumah tangga.
Lihat artikelnya dalam bahasa Inggris selengkapnya di sini
*Nama-nama dari para penyintas kekerasan dalam rumah tangga telah diubah demi alasan hukum dan keamanan.
BACA ARTIKEL LAINNYA... Ganti Baju di Lapangan, Petenis Perempuan Dinilai Langgar Kode Etik