Suro

Oleh: Dhimam Abror Djuraid

Rabu, 11 Agustus 2021 – 12:38 WIB
Ilustrasi. Foto: Ricardo/JPNN.com

jpnn.com - Sebagian besar masyarakat Jawa masih mempercayai bahwa malam satu Suro adalah malam istimewa dengan nilai mistis yang tinggi.

Di berbagai daerah banyak ritual tradisional memperingati Tahun Baru Jawa sekaligus Islam ini.

BACA JUGA: Mahfud MD Menyerukan Hal Penting Jelang Tahun Baru Islam

Di lingkungan Keraton Surakarta dan Yogyakarta, beragam ritual dan kirab digelar. Ramai dan semarak.

Namun, karena tahun ini musim pagebluk maka kemeriahan itu tidak tampak.

BACA JUGA: Tahun Baru Hijriah, Remaja Masjid Nurul Islam Gelar Festival

Tradisi malam 1 Suro berawal di era Sultan Agung.

Ketika itu, masyarakat masih mengikuti sistem penanggalan tahun Saka warisan tradisi Hindu.

BACA JUGA: Hijrah

Adapun Kesultanan Mataram Islam sudah menggunakan sistem kalender Hijriyah Islam.

Sultan Agung yang ingin memperluas ajaran Islam di tanah Jawa berinisiatif memadukan kalender Saka dengan kalender Hijriah menjadi kalender Jawa.

Penyatuan kalender ini dimulai sejak Jumat Legi bulan Jumadil Akhir tahun 1555 Saka atau 8 Juli 1633 Masehi.

Satu Suro adalah hari pertama dalam kalender Jawa di bulan Suro, bertepatan dengan 1 Muharram dalam kalender Hijriyah.

Secara etimologis, dalam perspektif Islam-Jawa, kata Suro berasal dari kata “Asyura” dalam bahasa Arab yang berarti sepuluh.

Asyura merujuk pada tanggal 10 bulan Muharram, yang berkaitan dengan peristiwa wafatnya Sayyidina Husein, cucu Nabi Muhammad di Karbala, wilayah Irak sekarang.

Dari era Sultan Agung ini kemudian peringatan tahun Hijriah dilaksanakan secara resmi oleh negara, dan diikuti seluruh masyarakat Jawa.

Berbagai ritual perayaan Muharram dan Asyura di Indonesia terus lestari sampai sekarang berkat jasa Sultan Agung.

Hingga saat ini, setiap tahunnya tradisi malam satu Suro selalu diadakan oleh masyarakat Jawa.

Beragam tradisi digelar untuk menyambut Suro seperti jamas pusaka, ruwatan, hingga tapa brata atau meditasi. Para abdi dalem keraton melakukan ritual dengan mengarak hasil kekayaan alam berupa gunungan tumpeng serta kirab benda-benda pusaka.

Di keraton Surakarta peringatan 1 Suro dilakukan dengan cara bersyukur, tafakur (merenung) dan taqarrub (mendekatkan diri) kepada Allah yang dipusatkan di Masjid Pujasana.

Pada awal 1970-an Sinuhun Paku Buwono XII mulai mengadakan kirab pusaka di luar tembok keraton.

Salah satu pusaka yang paling banyak ditunggu publik adalah kemunculan kebo bule bernama Kiai Slamet, yang dianggap sebagai bentuk pusaka keraton yang bernyawa.

Kebo bule bukan sembarang kerbau, karena leluhurnya merupakan hewan klangenan atau kesayangan Paku Buwono II.

Leluhur kerbau bule itu merupakan hadiah dari Kyai Hasan Besari Tegalsari Ponorogo. Secara turun-temurun kebo bule menjadi cucuk lampah (pengawal) pusaka keraton yang bernama Kiai Slamet sehingga masyarakat menyebutnya kebo bule Kiai Slamet.

Dalam kirab satu Suro, orang-orang berdesak-desakan dan berebut kotoran kebo bule. Kotoran kebo bule dianggap dapat membawa berkah dan keselamatan.

Berbeda dari Solo, di Yogyakarta perayaan malam satu Suro biasanya identik dengan membawa keris dan benda pusaka sebagai bagian dari iring-iringan kirab.

Tradisi malam satu Suro menitikberatkan pada ketenteraman batin dan keselamatan. Karena itu, pada malam satu Suro biasanya selalu diselingi dengan ritual pembacaan doa dari semua umat yang hadir merayakannya.

Selain itu, terdapat pula tradisi mubeng beteng atau mengelilingi benteng keraton. Tradisi ini kemungkinan besar terpengaruh oleh pradaksina dan prasawya dalam tradisi Hindu dan Buddha.

Pradaksina adalah ritual berjalan kaki mengelilingi benteng sesuai arah jarum jam. Sedangkan prasawya adalah ritual berjalan kaki mengelilingi benteng kebalikan arah jarum jam.

Jika orang berjalan dengan menggunakan pradaksina, maka secara simbolis dia memohon kebutuhan lahiriah. Jika berjalan dengan menggunakan prasawya, maka secara simbolis lebih bersifat ilmu kesempurnaan hidup batiniah.

Ada banyak cara dilakukan masyarakat Jawa untuk menyambut satu Suro. Namun, umumnya melakukan laku prihatin, misalnya tidak tidur semalaman. Aktivitas yang dilakukan adalah tirakatan, menyaksikan kesenian wayang, dan acara kesenian lainnya.

Sepanjang bulan Suro masyarakat Jawa meyakini untuk terus bersikap eling (ingat) dan waspada. Eling berarti manusia harus tetap ingat siapa dirinya dan di mana kedudukannya sebagai ciptaan Tuhan.

Sementara waspada berarti manusia juga harus terjaga dan waspada dari godaan yang menyesatkan.

Ritual ini menjadi bagian dari praktik sufisme Jawa yang merupakan paduan dari tradisi Islam dan Hindu-Budha.

Almarhum Prof. Simuh dalam ‘’Sufisme Jawa: Transformasi Tasawuf Islam ke Mistik Jawa’’ (2019) menegaskan bahwa mistisisme Jawa ini berakar pada tradisi tasawuf Islam.

Inti ajaran tasawuf adalah distansi, menjaga jarak dari nafsu urusan duniawi, konsentrasi atau memusatkan pikiran untuk berzikir pada Allah, serta menjadi insan kamil, yaitu puncak proses untuk menjadi manusia sempurna karena kedekatan dengan Allah.

Di Indonesia perkembangan tasawuf tidak selalu mulus, karena selalu mendapat penentangan dari kalangan Islam rasional.

Dalam sejarah perkembangan Islam di Arabia, hal yang sama juga terjadi ketika kelompok rasional yang bertumpu pada filsafat bertentangan dengan kalangan kelompok syariah.

Para filsuf Islam seperti Ibnu Rusydi, Al-Kindi, Al-Farabi, dan Ibnu Sina dianggap sebagai penganjur ajaran yang tidak sesuai dengan syariah. Imam Al-Ghazali mengecam keras para penganut filsafat dan menyebut pikiran mereka rancu (tahafut) dan menyesatkan kepada kekafiran.

Perbedaan pendapat Al-Ghazali dengan Ibnu Rusydi menjadi legenda dalam sejarah perkembangan pemikiran Islam, setelah Ibnu Rusydi mengecam balik Al-Ghazali dengan menyebut rancu dalam menuduhkan kerancuan (tahafut-al tahafut).

Al Ghazali, ahli syariat dan teolog, menyusun landasan yang menyediakan ruang bagi perpaduan Islam dan mistisisme melalui buku magnum opus Ihya’ Ulumuddin.

Al-Ghazali menegaskan bahwa Islam dan tasawuf seharusnya bisa saling mendukung dan menguatkan, bukannya saling menjatuhkan.

Keberadaan sufisme Jawa bisa dilacak sejak Islam masuk ke Jawa abad ke-15. Islam masuk melalui pedagang Gujarat lewat wilayah-wilayah pesisir Utara Jawa seperti Gresik, Tuban, dan Jepara.

Dari ketiga tempat tersebut, Islam lantas menyebar secara signifikan di seluruh Jawa oleh Walisongo.

Di satu sisi, Walisongo sukses menyebarkan Islam ke seluruh wilayah Jawa. Namun, di sisi lain Islam versi Walisongo yang sinkretis, campur baur, dengan tradisi Hindu-Budha ini menjadi penyebab munculnya lemah karsa (weak-will) manusia Jawa.

Islam sinkretis ini juga dianggap menjadi sumber munculnya paham jabariah yang dianggap fatalistik.

Penjajahan yang dialami Indonesia sampai tiga setengah abad, antara lain, disebut-sebut karena bangsa Indonesia mengalami lemah karsa. (*)


Redaktur : Adek
Reporter : Tim Redaksi

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler