jpnn.com, JAKARTA - Neraca perdagangan Indonesia terpengaruh tingginya konsumsi domestik sepanjang Ramadan dan Idulfitri lalu.
Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS), neraca dagang hanya surplus tipis USD 1,63 miliar pada Juni.
BACA JUGA: Panglima TNI: Impor Berisiko Tinggi Berdampak Bagi Ekonomi dan Penerimaan Negara
Surplus neraca dagang sepanjang Juni itu tercatat menurun jika dibandingkan dengan surplus pada Mei lalu yang mencapai USD 5,89 miliar.
Namun, Kepala BPS Suhariyanto menyatakan, secara kumulatif, sepanjang Januari hingga Juni tercatat surplus neraca dagang USD 7,63 miliar.
BACA JUGA: Pembentukan Satgas Penertiban Impor Dinilai Hanya Memboroskan Anggaran
Torehan nilai ekspor yang melebihi nilai impor tersebut merupakan yang tertinggi sejak 2012.
’’Dulu pernah tinggi pada 2011 sampai USD 15 miliar. Mudah-mudahan bisa mencapai sebesar itu lagi,’’ tuturnya, Senin (17/7).
BACA JUGA: Ekspor Migas Naik 12,84 Persen
Nilai surplus USD 1,63 miliar pada Juni diperoleh dari selisih nilai ekspor Juni USD 11,64 miliar dan nilai impor USD 10,01 miliar.
Dari segi ekspor, terjadi penurunan hingga 18,82 persen kalau dibandingkan dengan bulan sebelumnya.
Bila dibandingkan dengan Juni 2016, terdapat penurunan kinerja ekspor 11,82 persen.
Namun, BPS menilai kinerja ekspor pada Juni 2016 dan Juni 2017 tidak bisa dibandingkan.
Sebab, ada sejumlah kondisi yang berbeda. Di antaranya, terjadi pergeseran Ramadan dan Lebaran.
’’Biasanya, tren beberapa tahun sebelumnya, kalau puasa total ekspor naik, Lebaran turun. Akan kembali naik setelah itu,’’ katanya.
Selain faktor seasonal, ada cuti bersama selama lima hari dan larangan kendaraan truk atau kontainer beroperasi sejak H-7 Lebaran.
’’Itulah yang membuat total ekspor kita turun,’’ papar Suhariyanto.
Selain itu, ada sejumlah komoditas yang mengalami penurunan harga.
Di antaranya, minyak dan lemak hewan maupun nabati, mineral, serta karet dan produk dari karet.
Sebaliknya, komoditas yang mengalami kenaikan harga adalah bubur kayu, aluminium, garam, dan belerang kapur.
Negara tujuan utama ekspor Indonesia masih didominasi Tiongkok, Amerika Serikat, dan India.
Pemerintah berupaya memperluas pasar ekspor dengan mempercepat perundingan bilateral dengan Afrika Selatan, Kenya, dan Nigeria.
Kinerja impor pada Juni juga mengalami penurunan cukup dalam.
Nilai impor USD 10,01 miliar itu turun 17,21 persen jika dibandingkan dengan Juni tahun lalu.
Penurunan impor terbesar adalah golongan mesin dan peralatan listrik.
Sebaliknya, peningkatan nilai impor terbesar adalah golongan kapal laut dan bangunan terapung.
’’Penurunan impor ini disebabkan harga komoditas belum stabil,’’ jelas Suhariyanto.
Kepala Ekonom CIMB Niaga Adrian Panggabean menilai arus perdagangan internasional terbantu dengan stabilnya nilai tukar.
Sejak kuartal keempat 2016 hingga Juli 2017, nilai tukar rupiah terhadap dolar AS (USD) stabil di kisaran Rp 13.300 hingga Rp 13.400.
Kemarin, kurs Jakarta Interbank Spot Dollar Rate (Jisdor) tercatat Rp 13.313 per USD.
Volatilitas rupiah pun turun ke level terendah dalam 16 tahun terakhir. ’’Currency risk-nya nol,’’ ujarnya. (ken/rin/c14/noe)
BACA ARTIKEL LAINNYA... Inflasi Terkendali, Daya Beli Masyarakat Melemah
Redaktur & Reporter : Ragil