Survei Membuktikan, Kekecewaan Terhadap Kinerja Jokowi-Ma'ruf Amin Meningkat

Rabu, 28 Oktober 2020 – 17:05 WIB
Presiden Jokowi dan Wapres Ma'ruf Amin. Foto: Ricardo/JPNN.com

jpnn.com, JAKARTA - Lembaga survei Indonesia Political Opinion (IPO) merilis hasil jajak pendapat terbaru mereka bertajuk 'Kinerja Kementerian/Lembaga, Peluang Reshuffle Kabinet dan Potensi Capres 2024' secara virtual, Rabu (28/10).

Direktur Eksekutif IPO Dedi Kurnia Syah menyatakan dalam survei ditemukan bahwa kekecewaan publik terhadap kinerja Presiden Jokowi dan Wakil Presiden Ma'ruf Amin meningkat.

BACA JUGA: Rakyat Kritis Ditangkapi, Demokrasi Mundur di Satu Tahun Jokowi-Amin

“Jika dibandingkan pada survei periode Juli 2020, kekecewaan kepada presiden meningkat dari 33,5 persen menjadi 51 persen. Begitu halnya dengan wapres (KH Ma'ruf Amin), dari 42,5 persen responden menyatakan tidak puas, meningkat menjadi 67 persen," kata Dedi dalam paparan hasil survei Rabu (28/10), secara virtual.

Survei ini dilakukan 12-23 Oktober 2020, menggunakan metode purposive sampling dilakukan terhadap 170 orang pemuka pendapat (opinion leader) yang berasal dari peneliti Universitas, lembaga penelitian mandiri, dan asosiasi ilmuwan sosial/perguruan tinggi.

BACA JUGA: Bara JP: Satu Tahun Pemerintahan Jokowi, 70 Persen Tangani Covid-19

Sementara survei terhadap massa pemilih nasional dilakukan dengan metode multistage random sampling terhadap 1.200 responden di seluruh Indonesia dengan margin of error dalam rentang 2,9 persen dan  tingkat kepercayaan 95 persen.

Dedi menjelaskan, faktor paling berpengaruh terhadap kekecewaan presiden dan wapres adalah kepemimpinan 75 persen, keberpihakan pada rakyat 71 persen, integritas atau ketepatan janji 66 persen, koordinasi antarlembaga 69 persen dan empati atau aspiratif 53 persen.

BACA JUGA: Ganjar Pranowo Diadang Eks Napi Terorisme Jelang Upacara Sumpah Pemuda, Langsung Hormat

Dedi mengatakan dari beberapa faktor tersebut, kepemimpinan adalah hal yang paling banyak disoroti publik.

Menurut dia, publik menilai terlihat benar KH Ma'ruf Amin seolah-olah tidak terlibat di dalam kebijakan-kebijakan hal yang sifatnya memgemuka ke publik.

"Jadi lebih banyak memperlihatkan one man show kira-kira," tegasnya.

Dalam bidang ekonomi, kata Dedi, penilaian publik atas kinerja pemerintah cukup menegaskan ketidakpuasan.

Menurut dia, hal ini terlihat dari akumulasi respons buruk (51 persen) dan sangat buruk (6 persen) mencapai 57 persen. Sementara respons positif hanya mampu menyerap 43 persen.

Menurut Dedi, kekecewaan publik atas kondisi ekonomi ini dipengaruhi beberapa hal.

Di antaranya persepsi mahalnya harga bahan pokok (58 persen), sulitnya mencari pekerjaan (44 persen), sulitnya melakukan transaksi perdagangan atau jual beli (38 persen) dan pengaruh lain (34 persen).

Dedi menambahkan di bidang penegakan hukum, ketidakpuasan publik mencapai 64 persen. "Angka ini menjadi yang tertinggi dari bidang lain," tegasnya.

Menurutnya, beberapa faktor yang memengaruhi penilaian publik adalah buruknya pemberantasan korupsi (62 persen), lemahnya independensi penegak hukum (56 persen), ancaman kebebasan berpendapat (52 persen), kualitas kebijakan (48 persen), dan faktor lain (36 persen).

Dedi mengatakan performa pemberantasan korupsi menjadi pemantik terbesar buruknya bidang penegakan hukum, terlebih kurun periode survei berbagai persoalan korupsi makin menguat.

Dia mengatakan bidang politik dan keamanan juga mendapat respons kepuasan lebih rendah dibanding ketidakpuasan, hanya 49 persen menyatakan puas. Dedi memerinci beberapa faktor yang memengaruhi persepsi publik terkait kondisi politik dan keamanan adalah kebebasan berbeda pendapat (49 persen), kriminalitas (45 persen), perasaan aman (41 persen), ketertiban umum (36 persen), dan pengaruh lainnya (31 persen).

Lalu bidang sosial dan humaniora, persepsi publik berbagi angka ketidakpuasan tercatat sebesar 50 persen. Beberapa faktor yang memengaruhi persepsi publik terkait kondisi sosial, politik dan humaniora adalah Pengelolaan toleransi (51 persen), konflik sosial (46 persen), kesejahteraan (45 persen), keadilan (38 persen), dan hal lainnya (27 persen).

“Secara umum klaster sosial mendapat penilaian baik, meskipun setara dengan tidak baiknya. Pemerintah terbantu dengan program-program bantuan selama pandemi, dan itu mendapat respons positif di masyarakat," ungkap Dedi. (boy/jpnn)


Redaktur & Reporter : Boy

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler