Laporan terbaru dari sebuah lembaga advokasi demokrasi mengungkap, kebebasan pers di Indonesia berada satu tingkat di bawah Australia atau Amerika Serikat yang mendapat nilai maksimal. Namun sayangnya, kekerasan terhadap jurnalis di negara ini masih saja terjadi. Poin utama:Ada 42 kasus kekerasan terhadap jurnalis di Indonesia selama Mei 2018-Mei 2019Kendala utama dari penuntasan kasus kekerasan terhadap jurnalis di Indonesia berada di proses kepolisian.Di tingkat global, selama satu dekade terakhir, kebebasan pers dinilai memburuk.
BACA JUGA: Indeks Perdamaian Global 2019
Dalam laporan terbaru Freedom House, kebebasan pers di Indonesia mendapat angka 3, hanya terpaut satu angka di bawah negara demokrasi mapan seperti AS dan Australia yang mendapat angka maksimal 4.
Namun di sisi lain, Indonesia masih dikategorikan sebagai negara yang bebas sebagian, predikat yang telah disandang selama beberapa tahun terakhir.
BACA JUGA: Beredar Video Diduga Menteri Malaysia Tidur Dengan Pria Gay
Bahkan kelompok pegiat demokrasi lainnya, yakni Reporters Without Borders (RSF), menempatkan indeks kebebasan pers di Indonesia di peringkat ke 124, atau dengan kata lain stagnan atau tak ada kemajuan sama sekali dibanding tahun lalu.
Berdasarkan data Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Indonesia, sejak awal tahun ini sudah ada 10 laporan kekerasan terhadap jurnalis.
BACA JUGA: Lebanon Desak Pengungsi Suriah Tinggal di Tenda Plastik
Dan jika dihitung setahun terakhir (Mei 2018-Mei 2019), ada 42 kasus kekerasan berbagai jenis yang menimpa para pewarta.
Sebanyak 30 di antaranya berupa kekerasan fisik seperti pemukulan atau pencekikan, kriminalisasi serta ancaman.
Sementara itu, mayoritas pelaku kekerasan terhadap para jurnalis di Indonesia, dalam kurun waktu yang sama, adalah warga yang, menurut temuan AJI, menjadi bagian tak terpisahkan dari kelompok massa tertentu, misalnya pendukung klub sepakbola, pendukung aparatur desa, dan pendukung pejabat daerah.
Polisi dan pejabat pemerintah juga masuk sebagai 3 besar pelaku kekerasan terhadap jurnalis di Indonesia walau jumlahnya menurun.
Ketua Bidang Advokasi AJI, Sasmito, mengatakan, dari puluhan kasus kekerasan itu, belum ada satupun yang diproses hingga ke pengadilan.
"Setahu saya belum ada yang masuk. Kasus kekerasan terbaru misalnya, malam munajad 212, itu masih di kepolisian," ujarnya kepada Nurina Savitri dari ABC Indonesia hari Selasa (11/6/2019).
Kekerasan oleh massa dalam acara Munajat 212 yang berlangsung pada 21 Februari 2019 diwarnai kericuhan yang berujung kekerasan terhadap jurnalis.
Dua jurnalis dari CNN Indonesia mendapat intimidasi serta dipaksa untuk menghapus rekaman liputan mereka.
"Sekarang prosesnya masih di kepolisian. Sedang ditindaklanjuti oleh Polda Metro Jaya," kata Gading Yonggar Ditya dari LBH Pers yang mendampingi AJI dan dua jurnalis korban kekerasan ketika dihubungi ABC (12/6/2019). Photo: Jurnalis rentan mengalami kekerasan ketika bertugas. (Flickr: Laksamana Rayhan Ican)
Kasus kekerasan terhadap jurnalis lainnya setahun terakhir adalah kasus persekusi jurnalis detik.com yang terjadi pada 10 November 2018.
Fotografer Detik ini dipergoki, diinterogasi, lalu diusir oleh massa Aksi Bela Tauhid ketika mengambil foto ceceran sampah di lokasi aksi, yakni Silang Monas Jakarta.
Satu kasus kekerasan yang telah diproses dan berujung putusan, dalam catatan Sasmito, terjadi tahun 2016.
"Ada satu kasus yang kita kawal sampai sekarang, itu kasus Ghinan di Surabaya."
"Tapi kemarin kalah di pengadilan dan sekarang sedang berupaya kasasi."
Peristiwa yang dialami jurnalis Ghinan Salman terjadi pada 20 September 2016. Kala itu, Ghinan memotret sejumlah pegawai negeri sipil (PNS) di lingkungan Dinas Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPRS) Kabupaten Bangkalan, Jawa Timur, tengah bermain pimpong di jam kerja.
Atas aksinya itu, Ghinan dianiaya dan diancam. Berkas perkara Ghinan dinyatakan lengkap oleh jaksa baru dua tahun kemudian setelah kejadian.
Sasmito berpendapat, kendala utama dari penuntasan kasus kekerasan terhadap jurnalis ini berada di proses kepolisian.
"Bahkan kadang kita mesti sampaikan kalau polisi bisa gunakan UU Pers untuk kasus-kasus kekerasan jurnalis. Bukan KUHP."
"Itu kondisi di Jakarta, mungkin di daerah lebih sulit lagi," sebutnya.Kebebasan pers global memburuk
Sementara itu di tingkat global, selama satu dekade terakhir, kebebasan pers dinilai memburuk.
Menurut laporan Freedom House, lembaga non-pemerintah asal Amerika Serikat (AS), munculnya bentuk represi baru dan makin maraknya informasi yang bias dituding menjadi beberapa faktor pemicu.
Dalam laporan bertajuk "Freedom and the Media: A Downward Spiral" yang dirilis pekan lalu, Freedom House mencatat para pemimpin negara demokrasi dan otoriter, yang berniat untuk mengkonsolidasikan kekuasaan, ternyata menemukan cara-cara baru untuk menekan jurnalisme independen. Photo: Tingkat kebebasan pers di berbagai negara dunia. (Freedom House)
Dari sejumlah negara yang tergolong 'Bebas' menurut penilaian Freedom, sebanyak 19 persen atau 16 negara di antaranya mengalami penurunan skor kebebasan pers selama lima tahun terakhir.
Hal itu, sebut Freedom House, sesuai dengan temuan kunci dari laporan mengenai "Kebebasan di Dunia" - bahwa demokrasi, pada umumnya, mengalami penurunan dalam hak-hak politik dan kebebasan sipil.
Di beberapa negara demokrasi paling berpengaruh di dunia, sebagian besar masyarakat tak lagi menerima berita dan informasi yang tidak bias.
Lembaga penggiat demokrasi dan hak asasi manusia itu menjelaskan, hal tersebut terjadi bukan karena jurnalis dijebloskan ke bui, seperti yang mungkin terjadi dalam negara otoriter.
Sebaliknya, media malah melakukan upaya yang terkesan membatasi kebebasan mereka sendiri. Sebagai contoh, adanya perubahan kepemilikan media yang didukung pemerintah, muncul regulasi yang mengikat dan tekanan keuangan, serta munculnya pengaduan dari publik terhadap jurnalis yang jujur.
Di sisi lain, Pemerintah di beberapa negara juga menawarkan dukungan proaktif ke media yang dianggap kooperatif melalui langkah-langkah seperti kontrak negara yang menguntungkan, regulasi yang menguntungkan, dan akses ke dokumen negara.
Freedom House mengatakan upaya itu bertujuan untuk membuat pers melayani mereka yang berkuasa ketimbang publik.
"Di beberapa negara demokrasi paling berpengaruh di dunia, para pemimpin populis telah mengawasi upaya bersama untuk menekan kebebasan media," kata Sarah Repucci, direktur senior untuk penelitian dan analisis Freedom House.
"Sementara ancaman terhadap kebebasan media global begitu mengkhawatirkan, pengaruhnya terhadap demokrasi adalah hal yang membuat langkah itu benar-benar berbahaya."
Repucci merinci masalah itu muncul secara bersamaan dengan populisme sayap kanan, yang telah merusak kebebasan dasar di banyak negara demokratis.
"Para pemimpin populis menampilkan diri mereka sebagai pembela mayoritas yang dirugikan terhadap elit liberal dan etnis minoritas yang kesetiaannya mereka pertanyakan."
"Dan berpendapat bahwa kepentingan bangsa - sebagaimana mereka definisikan - harus mengesampingkan prinsip-prinsip demokrasi seperti kebebasan pers, transparansi, dan debat terbuka," tulisnya dalam Freedom and the Media: A Downward Spiral.
Meski demikian, gambaran global mengenai kebebasan pers tak sepenuhnya suram. Lembaga tersebut memaparkan, ada contoh kemajuan demokrasi selama dua tahun terakhir yang terjadi di beberapa negara Afrika, Asia, dan Amerika Selatan.
Salah satunya adalah negara tetangga Indonesia, yakni Malaysia. Di negeri jiran, pencabutan tekanan politik terhadap media memungkinkan media independen untuk bangkit kembali dari sensor dan juga memungkinkan media yang sebelumnya pro-pemerintah untuk memproduksi pemberitaan yang lebih kritis.
Ikuti berita-berita lainnya di situs ABC Indonesia.
BACA ARTIKEL LAINNYA... Mantan Jurnalis Australia Bantah Ancam Bunuh Jemaat Gereja Via Facebook