SAYA bisa membayangkan dengan baik sulitnya mengevakuasi pesawat Susi Air yang jatuh di pedalaman Papua Jumat laluLokasi itu begitu terjal, penuh gunung, dan lembah yang curam
BACA JUGA: Kereta Rp 15 Triliun Setahun Hanya Jalan Tiga Hari
Tidak jauh dari lembah terjal yang dengan susah payah saya kunjungi bulan laluKetika berada di lokasi itu saya sering mendongak karena ada pesawat yang lewat
BACA JUGA: Di Al Haram Tak Ada Yang Tersinggung
Rupanya di atas lokasi itu merupakan jalur penerbangan yang baik untuk keluar dari lembah WamenaBACA JUGA: Perbedaan, Sikap Kita dan Kenisbian
Memang, setiap pesawat yang hendak keluar atau masuk Wamena harus mencari celah-celah di antara gunung-gunung tinggi di sekeliling WamenaDi kawasan itu kita bisa terkaget-kaget ketika pesawat keluar dari awan tiba-tiba ada tebing gunung tinggi di sebelah jendelaItu saya alami sendiri ketika hendak mendarat di Wamena bulan laluPesawat masih berada di dalam kegelapan awan ketika pilot mengumumkan kita segera mendaratSaya pikir mau mendarat di mana? Wong tidak kelihatan apa-apa beginiEh, tidak lama kemudian pesawat keluar dari awan dan seperti tiba-tiba berada di samping tebing puncak gunung yang terjalRasanya ngeri-ngeri asyik.
Yang membuat hati saya tetap tenang adalah ini; pesawat ini, Susi Air, dalam sejarahnya belum pernah mengalami kecelakaanPemiliknya, Susi yang saya kenal baik, selalu membanggakan ituPesawat ini sejenis dengan yang jatuh itu (atau jangan-jangan memang itu?) adalah pesawat yang masih relatif baruBaru berumur empat tahunToh, saya sering naik pesawat yang umurnya sudah lebih 30 tahunSeperti Boeing 737-200 atau MD80 itu.
Yang juga membuat saya tenang, Susi Air menempatkan banyak pesawat jenis ini di Papua, yang berarti perhatian terhadap perawatannya sangat baikBahkan, Susi Air adalah pemilik terbanyak kedua di dunia untuk pesawat jenis Caravan ini, setelah FedEx ASYang juga menambah ketenangan saya adalah (Ini sikap yang saya sadari kurang baik, dan kelihatan lebih kurang baik setelah terjadinya kecelakaan itu) pilot-pilotnya orang bule
Susi Air memang punya kebijakan hanya mempekerjakan pilot asing untuk 38 pesawatnyaPilot-pilot Susi Air, ujar Susi kepada saya suatu saat, mau mengerjakan semua hal yang terkait dengan pesawatnya: mengangkat bagasi, menutup pintu, mencuci pesawat, dan menjadi pramugarinya sekalianIni sama dengan sikap Susi sendiri yang senang mengerjakan apa sajaMeski seorang bos besar, dia biasa melakukan pekerjaan yang remeh-temeh
Pernah saya terbang dengan Susi Air dari Dobo di Maluku TenggaraDi situlah saya pertama kenal dengan diaSemula saya pikir dia karyawan biasaDia bertindak seperti petugas ground dan ketika ikut terbang di psesawat itu dia yang melayani penumpangSaya kagum ketika akhirnya tahu dialah bos besar Susi AirOrangnya cekatan, cerdas, antusias, bicaranya blak-blakan, suaranya besar, agak parau, dan sangat tomboi.
Susi sangat bangga menjadi wanita Sunda yang lahir dan besar di Pangandaran, pantai selatan Jabar, yang bisa menjadi bos dari begitu banyak orang asingDia juga begitu bangga bisa mengabdi untuk republik dengan pesawat-pesawatnyaBaik sebagai jembatan daerah terisolasi maupun saat menjadi relawan waktu tsunamiDia juga begitu bangga dengan desa kelahirannya, sehingga kantor pusat Susi Air dia pertahankan tetap di Desa Pangandaran yang jauh dari JakartaTermasuk di desa itu pula pusat pelatihan pilot dan peralatan simulasinya yang canggih
Dari Pantai Pangandaran memang Susi jadi orangYakni, ketika awalnya dia mulai mencoba menampung udang hasil tangkapan nelayan di desanya yang kualitasnya begitu tinggiLalu dia kirim ke JakartaLalu dia eksporLalu dia mengalami kesulitan karena tak ada sarana yang bisa mengangkut udang Pangandaran dengan cepat dan dalam keadaan masih hidup sudah tiba di Jakarta atau SingapuraLalu, demi udang nelayan Pangandaran itu dia sewa pesawatLalu beli pesawatLalu beli lagi dan beli lagi hingga mencapai 38 buahLalu bikin perusahaan penerbangan.
Saya begitu sering menggunakan jasa Susi AirBanyak rute yang penerbangan lain tidak mau, dia terbangiMisalnya, Jakarta-CilacapAtau Medan-MeulabohAtau antarkota kecil di PapuaSebagai orang yang kini harus memikirkan listrik sampai ke seluruh pelosok negeri yang terpencil, saya ikut berterima kasih kepada Susi
Saya agak heran mengapa kecelakaan itu terjadiSelama ini saya sangat yakin dengan peralatan modern di Caravan yang berisi 14 orang ituLayar radarnya yang cukup lebar bisa memberikan banyak indikasi cuacaSaya sering duduk di barisan paling dekat pilot sehingga sering bertanya makna tanda-tanda yang muncul di layarKetika di depan sana ada awan tebal, layar itu bisa menggambarkan mana awan yang berisiko dan yang tidakMana awan tipis dan tebalGunung juga terbaca di situ
Saya menduga kecelakaan itu karena pilot tidak berhasil mengangkat atau menaikkan pesawat setinggi yang dibutuhkan untuk melompati sebuah puncak gunung di situMisalnya, karena empat drum solar seberat 1,1 ton itu terlalu berat.
Saya pernah naik Caravan Susi Air dari Nabire ke Timika di Papua yang juga mendebarkanDua kota itu dipisahkan oleh pegunungan yang salah satu puncaknya setinggi 4.500 meterSebelum take off, saya mengira pesawat akan menghindari ketinggian itu dengan cara sedikit memutar ke atas Kaimana
Ketika pesawat mengudara, saya terus memegang peta yang dalam posisi membukaKetika saya rasakan pesawat terus meninggi, barulah saya tahu bahwa sang pilot memilih meloncati saja puncak 4.500 meter ituWow! Kata saya dalam hatiPesawat begini kecil terbang 5.000 meter! Karena kami semua memegang BlackBerry, kami menggunakannya juga untuk mengecek ketinggianBenar5.000 meter!
Saya juga sering dibantu pilot Susi AirKetika terbang dari Jakarta ke Pangandaran, kami diberi bonus bisa terbang rendah dan memutar dua kali di atas Pegunungan KamojangDengan cara begitu saya bisa melihat dari atas secara jelas pembangkit listrik geotermal di lereng Gunung Kamojang dan lereng Gunung Salak
Demikian juga ketika saya terbang dari Bintuni ke Nabire, pilotnya tidak keberatan ketika saya minta mengarah dulu ke selatan karena saya ingin melihat dari atas fasilitas LNG Tangguh di pantai Teluk BintuniBahkan, ketika ke Digul dan pesawat diperkirakan tidak bisa mendarat karena landasan jelek, pilot dengan sabar berusaha keras mendaratCaranya, beberapa kali pilot menerbangkan Caravannya rendah sekali menyusuri sebelah landasan DigulYakni, untuk melihat dengan mata telanjang apakah landasan itu aman didaratiAkhirnya Susi Air mendarat di Digul dengan mulusnya.
Tentu saya juga sering bergurau dengan pilot-pilot ituKetika Susi Air mendarat di Merauke, saya menggoda pilot muda asal Australia itu
"Apakah Anda ingin mampir pulang dulu?" tanya saya sambil menunjukkan jari ke arah Australia yang sudah begitu dekat
Apa jawabnya? "Iya lhoTinggal 150 mil lagi sudah Australia," jawabnya lantas senyumMudah-mudahan bukan dia yang jatuh di Yahukimo Jumat lalu ituSaya masih begitu ingat senyum perpisahan hari itu(c2/lk)
BACA ARTIKEL LAINNYA... Era Baru Superblok, Mal dan Foodcourt di Ring Satu
Redaktur : Tim Redaksi