jpnn.com - “Harga sawit hancur kak,” ucap Fahmi, seorang petani sawit dari Dharmasraya, Provinsi Sumatera Barat kepada saya melalui pesan Direct Messagge Instagram.
Keluhan jatuhnya harga tandan buah segar (TBS) sawit dirasakan oleh petani-petani sawit di Sumatra.
BACA JUGA: Update Harga Minyak Goreng, Rabu 29 Juni di Alfamart dan Indomaret, Turun Atau Naik?
Saat ini harga TBS jatuh ambruk di angka 200-300 rupiah per kilogram (Kg).
Untuk menemukan keseimbangan pengendalian harga minyak goreng maka harga TBS seharusnya menyentuh harga di atas Rp 2.500 per kilogram dengan estimasi harga minyak goreng di pasar Rp 14.000/liter. Dengan demikian jeritan para petani bisa redam dan bernapas lega.
BACA JUGA: Puan: Sosialisasi Pembelian Minyak Goreng dengan PeduliLindungi Harus Gencar
Pengendalian hulu dan hilir distribusi minyak goreng seharusnya juga menyentuh para petani-petani sawit di Pulau Sumatra sebagai lahan perkebunan kelapa sawit terbesar di Indonesia dengan luas 7.944.520 hektare (BPS 2019).
Teriakan aspirasi tersebut patut didengar dengan bijaksana. Jeritan bukan hanya terdengar dari dapur ibu Darmiah karena harga minyak goreng yang mahal tetapi juga dari para petani sawit yang tercekik.
BACA JUGA: Bun, Begini Cara Beli Minyak Goreng Pakai PeduliLindungi
Mengendalikan distribusi minyak goreng dari hulu-hilir tentu semata-mata tidak dapat dilakukan dalam waktu semalam. Menteri Perdaganggan perlu waktu dalam memahami permasalahan minyak goreng dari hulu hingga hilir secara komprehensif.
Kita perlu mengapresiasi Mendag yang turun langsung ke pasar untuk bertemu langsung dengan para pedagang dan pemasok minyak goreng.
Semoga dalam waktu dekat Mendag juga datang berkunjung bertemu dengan para petani sawit di Sumatra dan Kalimantan.
Tingginya kebutuhan pasar Global membuat exsport menjadi trade off yang menarik bagi para eksportir. Namun, jangan sampai kebutuhan dalam negeri juga terabaikan sehingga terjadi kelangkaan stok dalam negeri.
Political will dari pemerintah sangat diperlukan untuk menjaga stabilitas harga TBS dari tangan petani. Akibat dari larangan ekspor terjadi overload stock yang membuat harga TBS di tangan petani menjadi turun.
Tidak hanya itu, apabila tangki penuh maka PKS akan berhenti beroperasi membeli TBS kepada petani.
Jika merunut data GAPKI, berikut pergerakan stok minyak sawit nasional 3 tahun terakhir. Pada 2019 produksi 51.82 juta ton dan stok 4,59 juta ton.
Tahun 2020 produksi 51.57 juta ton dan stok 4.86 juta ton, dan pada tahun 2021 produksi 51.3 juta ton dan stok 3.57 juta ton, sementara pada tahun 2022 (per April) produksi 16,46 ton dan stok 3.57 juta ton.
Terdapat kenaikan 2 kali lipat stok sawit dalam negeri dibandingkan jumlah pada 3 tahun terakhir.
Jika beberapa bulan yang lalu teriakan muncul dari hilir, periode sekarang teriakan yang lebih keras juga muncul dari hulu.
Sementara pemerintah harus memastikan produsen minyak goreng dapat memenuhi kebutuhan dalam negeri yang diproyeksikan mencapai 5,7 juta liter sepanjang tahun 2022 (Data Kemendag).
Alokasi ekspor dapat digenjot untuk mengendalikan DMO sepanjang semester akhir tahun ini, walapun terjadi penurunan harga CPO ke USA dan China, namun kebutuhan ekspor ke Eropa Barat dan Rusia justru mengalami kenaikan.
Kita tidak dapat mengelakkan terhadap isu internasional dimana negara Eropa telah melakukan resolusi sawit di wilayah mereka dengan mengoptimalkan penggunaan CPO untuk biodisel.
Semenjak diperlakukannya RED (Renewable Energy Directive) pada tahun 2009 oleh Eropa ini membuat hambatan baru bagi perdagangan ekspor dari Indonesia menuju Eropa.
Sebab kebijakan tersebut dibuat untuk melindungi komoditas lokal yang sulit bersaing dengan para eksportir dari luar (Khairunisa dan Novianti 2017).
Kebijakan tersebut tentunya akan sangat merugikan bagi Indonesia, mengingat Indonesia adalah eksportir minyak kelapa sawit terbesar di dunia dan Eropa merupakan salah satu pasar terbesarnya (Suwarno, 2019).
Perlu adanya analisis dengan pendekatan Balancing Loop untuk mengendalikan permasalahan minyak goreng dari hulu hingga hilir agar mencapai titik keseimbangan.
Tidak ada salahnya jika kita mencoba melakukan evaluasi dini dengan bercermin terhadap Eropa yang lebih berfokus untuk melakukan political will yang sustainable dan menguntungkan bagi perekonomian negaranya dan lingkungan.
Dengan melimpahnya stok dalam negeri pemerintah bisa melakukan kebijakan baru dengan melibatkan konversi energi di dalam regulasinya.
Limpahan setengah stok sawit saat ini bisa diproduksi untuk menjadi bio-diesel yang dapat bermanfaat untuk kebutuhan dalam negeri.
Tidak hanya itu, ekonomi sirkular dapat dimanfaatkan dalam mengelola UCO yang terdapat pada hilir minyak goreng, yaitu dari limbah-limbah rumah tangga dan UKM.
Sekitar 7,8 juta liter minyak jelatah dari sektor rumah tangga dan UKM dihasilkan atau setara 21 ribu liter per hari (Katadata 2019).
Model ekonomi sirkular merupakan model yang lebih baik dari model ekonomi linier (produksi – konsumsi – disposal) dengan tujuan untuk mengoptimalkan dan memaksimalkan potensi dari setiap material serta dapat memulihkan material yang telah sampai pada usia akhir dengan inovasi teknologi yang ramah lingkungan (Marino and Pariso, 2016).
Ekonomi sirkular dapat memberikan solusi untuk meningkatkan daya beli pada rumah tangga dan UKM terhadap minyak goreng sehingga tercipta rantai pasok yang berkelanjutan dan keseimbagan antara hulu dan hilir.
Dengan adanya tambahan penghasilan rumah tangga dan UKM dari UCO menjadi energi memberikan kemudahan bagi Ibu Darmiah untuk membeli minyak goreng.
Selain dapat meredam teriakan petani sawit dan ibu-ibu, kebijakan ini juga berdampak terhadap proteksi lingkungan yang disebabkan oleh pencemaran UCO.
Mendag akan menjadi idola bagi ibu-ibu yang tidak perlu pusing karena kenaikan harga minyak.***
Jangan Lewatkan Video Terbaru:
Redaktur & Reporter : Friederich Batari