Syafruddin Beberkan Pendekatan untuk Penyelesaian Dipasena

Jumat, 24 Agustus 2018 – 23:59 WIB
Syafruddin Arsyad Temenggung, terdakwa perkara penerbitan Surat Keterangan Lunas (SKL) bagi obligor Sjamsul Nursalim memberikan keterangan di Pengadilan Tipikor, Jakarta Pusat, Kamis (23/8/2018). Foto: Ist

jpnn.com, JAKARTA - Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN) di bawah kepemimpinan Syafruddin Arsyad Temenggung mengambil pendekatan menyehatkan ekonomi dan dunia usaha berkaitan dengan persoalan petani tambak Dipasena. Salah satu tindakan yang diambil adalah melakukan revitalisasi aset.

“Yang paling penting itu adalah bahwa message yang dimintakan kepada kami dari pimpinan KKSK dan Ibu Presiden (Megawati Soekarnoputri), ini sudah menimbulkan kerusuhan sosial, jadi petani plasma ini harus segera dibenahi, dan salah satu cara kami membenahi petani petambak itu adalah dengan kami melakukan tindakan revitalisasi, mencarikan modal kerja, dan seterusnya,” kata Syafruddin ketika memberikan keterangan sebagai terdakwa dalam persidangan perkara dugaan korupsi berkaitan dengan penerbitan Surat Keterangan Lunas (SKL) bagi obligor Sjamsul Nursalim, di Pengadilan Tipikor, Jakarta Pusat, Kamis (23/8/2018).

BACA JUGA: Kasus BLBI: Kerugian Negara karena Penjualan Aset 2007

Syafruddin menjelaskan kerusuhan sosial berlangsung sejak tahun 1999-2001. Pokok masalahnya adalah mengenai utang petambak. Bahkan, kata dia, saat dirinya menjabat ketua BPPN mulai 22 April 2002, kerusuhan itu masih ada.

“Terus terang saja, pada waktu kami menjabat ketua BPPN, tiga bulan pertama itu seminggu sekali kantor kami dikepung, Istana dikepung, DPR dikepung. Mereka (petambak) minta segera diselesaikan, ada kepastian dari pemerintah,” ujarnya.

BACA JUGA: Eks Ketua BPPN Ungkap Alasan Penerbitan SKL untuk Sjamsul

Menurut Syafruddin, saat menghadapi situasi kala itu, acuan yang mengikatnya adalah Keputusan Komite Kebijakan Sektor Keuangan (KKSK) tanggal 29 Maret 2001, semasa Rizal Ramli menjabat ketua KKSK. Mengenai utang petambak, diputuskan oleh KKSK bahwa maksimal totalnya adalah Rp 1,1 triliun atau setara Rp 100 juta/petambak yang jumlahnya sekitar 11 ribu orang.

Pada persidangan Kamis, 5 Juli 2018, Rizal Ramli menerangkan kewajiban Sjamsul Nursalim sebesar Rp 28,5 triliun termasuk utang petambak. BPPN lantas mengusulkan restrukturisasi. Utang petambak dikurangi dari Rp 135 juta/orang menjadi Rp 100 juta/orang sehingga total 11 ribuan petambak menjadi Rp 1,1 triliun. Pada persidangan yang sama, mantan Menteri Keuangan Boediono menjelaskan,

BACA JUGA: Surat Dakwaan Beber Cara Zumi Zola Cari Rasuah

“Pada pokoknya petambak mempunyai kewajiban penyelesaian utangnya, tapi kemudian ada usulan BPPN agar diperingan bebannya. Saya lupa angkanya berapa, tapi tujuannya untuk membantu petambak. Karena saya ingat dan sampaikan, kalau ini semua sesuai aturan tentu ini sesuatu yang baik.”

Syafruddin menegaskan, mekanisme penyelesaian kewajiban petambak tidak bisa dilepaskan dari ketentuan keperdataan dalam Master of Settlement and Acquisition Agreement/MSAA yang dibuat pada 1998. Posisi aset Bank Dagang Negara Indonesia (BDNI) per 21 Agustus 1998 sebesar Rp47 triliun.

Sementara itu kewajibannya juga sebesar Rp47 triliun. Jumlah aset yang digunakan untuk mengurangi kewajiban BDNI sebesar Rp18 triliun. Sehingga sisa kewajiban pemegang saham BDNI sebesar Rp 28 triliun, yang dibebankan pembayarannya dengan cara pembayaran tunai Rp 1 triliun dan penyerahan saham 12 perusahaan setara nilai Rp27 triliun.

Mengenai kewajiban petambak, tegas Syafruddin, terdapat penjaminan dari perusahaan inti yakni PT Dipasena Citra Darmadja (DCD). Hal inilah yang menyebabkan kewajiban petambak itu dihapusbukukan karena sudah ada penjaminan dari inti. Jadi, dari total kewajiban sebesar Rp 3,9 triliun, sebesar Rp 1,1 triliun dikenakan kepada para petambak, dan Rp 2,8 triliun kepada perusahaan inti.

Jaksa bertanya apakah penagihan kepada perusahaan inti sudah dilakukan?

“Jadi step pertama yang kami lakukan adalah kita harus ambil Intinya. Sebab kalau intinya belum diambil, ini yang terjadi di zaman sebelum-sebelum kami, ketua-ketua BPPN berkomunikasi untuk meminta penjaminan, mereka selalu tidak mau, tapi pada waktu itu kita sudah ambil, maka yang harus kita lakukan itu adalah kita harus sehatkan yang namanya Dipasenanya supaya dia bisa membayar penjaminannya, dan kita harus sehatkan petambaknya supaya dia bisa membayar utangnya,” jawab Syafruddin, sambil menambahkan, proses penyehatan perusahaan inti dan petambak dilakukan sejak 2003.

Langkah penjaminan itu, kata dia, sama sekali tidak mengurangi valuasi dari perusahaan Dipasena, yang nilainya Rp19 triliun, menurut penilaian Ernst and Young. Secara akuntansi, ini persoalan keseimbangan antara aktiva-pasiva.

“Neraca Dipasena itu tidak akan berkurang nilainya karena ada penjaminan. Nilainya itu akan kurang kalau Dipasena itu tidak jalan. Ini kan masalah aktiva-pasiva. Ada satu perusahaan, dia menjamin, tapi kalau dia keluarkan uang jaminan Rp100 juta, sebagai penjaminnya dia dapat aset yang dia jamin, nilainya 120 persen. Jadi sebetulnya tidak ada pengurangan,” kata Syafruddin.

Kemudian Syafruddin menyatakan pengurangan nilai dari suatu perusahaan itu terjadi kalau perusahaan itu macet, tidak jalan, tidak beroperasi, sehingga dia tidak menghasilkan. “Karena itu, dia tidak akan bisa membayarkan kewajibannya,” kata Syafruddin.

Langkah yang diambilnya itu, kata Syafruddin, terbukti telah membawa perubahan bagi operasional perusahaan dan nasib para petambak, karena proses produksi bisa berjalan lagi. “Pada akhirnya seperti kita lihat dari keterangan para petambak di sini (persidangan), mereka dengan mantap berkata sebagai petambak yang mandiri,” ujarnya.(jpnn)

BACA ARTIKEL LAINNYA... Ahli Hukum: Perkara Syafruddin Temenggung Tidak Masuk Akal


Redaktur : Tim Redaksi

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler