Kasus BLBI: Kerugian Negara karena Penjualan Aset 2007

Jumat, 24 Agustus 2018 – 22:40 WIB
Mantan Kepala BPPN Syafruddin Arsyad Temenggung. Foto: JPG/Rmol

jpnn.com, JAKARTA - Mantan Ketua Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN) Syafruddin Arsyad Temenggung (SAT) mengungkapkan terjadinya kerugian negara atas menyusutnya aset kredit petani tambak bukan terjadi saat dia menduduki kursi orang nomor satu di BPPN (Periode 2002-2004), melainkan baru terjadi pada tahun 2007.

Hal tersebut dikemukakan SAT saat diperiksa sebagai terdakwa dalam sidang lanjutan kasus dugaan korupsi penerbitan Surat Keterangan Lunas (SKL) Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI), di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi, Jakarta, Jumat (24/8).

BACA JUGA: Eks Ketua BPPN Ungkap Alasan Penerbitan SKL untuk Sjamsul

Menurut pengakuan SAT, aset kredit petambak adalah aset yang dimiliki oleh Bank BDNI yang diambil alih oleh BPPN berdasarkan penyerahan dari Bank Indonesia kepada BPPN sebagai Bank Dalam Penyehatan.

SAT mengungkapkan, pada saat BPPN bubar tanggal 27 Februari 2004, BPPN menyerahkan kepada Menteri Keuangan berupa utang petambak sebesar Rp 4,8 triiun. Dimana pada tanggal 21 Mei 2007, Menteri Keuangan telah menetapkan harga dasar utang Petambak sebesar Rp 220 miliar, yang kemudian aset utang petambak dijual oleh PT PPA pada tanggal 23 Mei 2007 dengan nilai yang sama dengan harga dasar, yaitu Rp 220 miliar.

BACA JUGA: Ahli Hukum: Perkara Syafruddin Temenggung Tidak Masuk Akal

SAT juga mengungkapkan bahwa proses hapus buku dan hapus tagih pada BPPN didasarkan pada ketentuan Pasal 3, Pasal 26 dan Pasal 53 PP 17, yang merupakan peraturan pelaksanaan Pasal 37A Undang-undang Perbankan.

Dalam fakta sidang sebelumnya, bankir senior yang juga mantan Ketua Perbanas Sigit Pramono menjelaskan bahwa penghapusbukuan tidak bisa langsung dianggap sebagai bentuk kerugian. Karena penghapusanbukuan sama sekali tidak menghapuskan hak tagih. Kerugian baru terjadi jika hak tagihnya yang dihapus.

BACA JUGA: Misrepresentasi Harus Dibuktikan Lewat Putusan Pengadilan

SAT juga menegaskan tak pernah mengusulkan dan menyetujui restrukturisasi utang petambak PT DCD. Sebab saat itu dia hanya menjabat sebagai sekretaris di Komite Kebijakan Sektor Keuangan (KKSK).

“Sekretaris KKSK bertugas menyiapkan bahan-bahan yang berasal dari BPPN atau lain-lain, mengenai masalah-masalah perbankan. Kita siapkan materi untuk pengambilan keputusan KKSK," ungkapnya.

Menurutnya, yang disampaikan adalah draft. Sekretaris tidak mempunyai kewenangan mengusulkan. Draft dibuat untuk dibaca ketua. Namun jika tidak (ada kesalahan) maka akan ditandatanganinya.

SAT juga mengatakan bahwa sekretaris KKSK tak dilibatkan dalam penanganan utang petani petambak PT Dipasena di Lampung. Sekretaris KKSK hanya bertanggung jawab pada pembuatan draft hasil keputusan rapat.

SAT juga mengungkapkan bahwa pernyataan dan dakwaan Jaksa Penuntut Umum keliru dalam menagihkan utang petambak ke MSAA BDNI.

Menurut SAT, utang petambak bukan kewajiban Sjamsul Nursalim dalam MSAA BDNI. Utang petambak tidak pernah dinyatakan lancar dan dijamin oleh Sjamsul Nursalim dalam MSAA-BDNI dan pemberian SKL telah melalui rangkaian pembahasan dalam KKSK dan didasarkan pada KKSK tanggal 17 Maret 2004 dan Inpres No. 8 Tahun 2002.

Berdasarkan fakta persidangan sebelumnya, Mantan Deputi BPPN, Taufik Mappaenre menjelaskan bahwa BPPN tidak mengajukan klaim kepada pemegang saham BDNI, Sjamsul Nursalim lantaran tidak menemukan unsur misrepresentasi terhadap isi perjanjian MSAA.

Menurut Taufik dalam kesaksiannya pada persidangan (16/7), yang tahu informasi mana yang material atau tidak dalam menghitung nilai perusahaan PT DCD dan PT Wachyuni Mandira (PT WM) adalah akuntan publik Ernts & Young.

Menurut SAT, berdasarkan Keputusan KKSK tanggal 13 Februari 2004, KKSK telah menyetujui nilai hutang 11 ribu petambak plasma ditetapkan setinggi-tingginya Rp 1,1 triliun, sedangkan nilai aset jaminan tetap.

Utang Petambak kepada BDNI tersebut dijamin oleh lahan 0,6 hektare per petambak. Kisaran harga lahan di lokasi Dipasena petambak berdasarkan akta jual beli notaris Juli 2018 antara Rp 120 ribu m2 sampai Rp 180 ribu m2.

Menurut SAT, jika lahan tambak yang merupakan jaminan hutang petambak kepada BDNI masih dikuasai oleh Pemerintah dan dijual pada tahun 2018, maka nilai aset jaminan atas utang petambak sebesar Rp 3,1 triliun sampai dengan Rp 7,3 triliun. Dengan demikian, jelas kerugian negara atas utang petambak terjadi karena penjualan di tahun 2007. (dil/jpnn)

BACA ARTIKEL LAINNYA... Kasus BLBI: Penghapusan Hutang Petambak atas Dasar Keamanan


Redaktur & Reporter : Adil

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler