Syarat kemampuan berbahasa Inggris untuk mendapatkan visa pasangan atau 'partner visa' di Australia telah menimbulkan kekhawatiran, salah satunya adalah soal diskriminasi dalam perkawinan.
Komisioner Diskriminasi Rasial Chin Tan menyatakan tambahan syarat kemampuan berbahasa Inggris menimbulkan kekhawatiran yang beralasan di kalangan masyarakat.
BACA JUGA: Seribu Jembatan untuk Indonesia Bermodalkan Ilmu Panjat Tebing
Mulai tahun depan, orang asing yang menikah atau hidup bersama dengan orang Australia, termasuk yang berstatus 'permanent resident' (PR), akan dikenai syarat kemampuan bahasa Inggris untuk mendapatkan 'partner visa'.
Dari pernyataan yang diterima ABC, Chin mengatakan kebijakan baru ini telah mengejutkan kalangan pemuka masyarakat dari sektor multikultur.
BACA JUGA: Perang Dingin, Tiongkok Minta Perusahaan Tak Beli Kapas Australia
Karena itu, Komisioner Diskriminasi Rasial di Australia mendorong pemerintah untuk melakukan konsultasi dengan para pemangku kepentingan karena aturan tersebut "tak adil" dan akan mempengaruhi hak pasangan.
"Saya mendukung posisi pemerintah yang mempromosikan dan mendorong semua pendatang ke Australia untuk belajar bahasa Inggris," ujarnya.
BACA JUGA: Untuk Pertama Kalinya Penumpang Internasional Masuk Australia Tanpa Karantina
"Namun bila ada kebijakan mengatur hak-hak pasangan untuk bisa ditinggal di Australia melalui kemampuan berbahasa Inggris, maka syarat tersebut bisa jadi tak adil terhadap hak-hak pasangan tersebut," tambahnya.
Komisioner Chin secara khusus menyatakan kekhawatiran bahwa persyaratan ini bakal mendorong "kebijakan segregasi perkawinan yang menentukan dengan siapa orang Australia akan menjalin hubungan berdasarkan ras, budaya dan kebangsaaan," katanya. Baca juga: Keringanan dan Pengembalian Biaya Visa Bagi Mereka yang Tak Bisa Masuk Australia Photo: Komisoner Diskriminasi Rasial Chin Tan. (Supplied: Swinburne University)
'Aturan ini menyiksa'
Seorang warga asal Indonesia yang menikah dengan warga Australia, Nilawati Asmar juga memiliki kekhawatiran, meski ia tidak terdampak aturan ini.
"Aturan ini begitu menyiksa bagi mereka yang tidak bisa berbahasa Inggris," ujar Nila, yang menikah dengan Peter Muaz.
Nila sendiri telah mendapatkan status PR, setelah mengajukan permohonan melalui jalur visa pasangan.
Namun berdasarkan pengalamannya, Nila menyebutkan aturan baru ini bakal mempersulit pernikahan pasangan yang berbeda latar belakang kewarganegaraaan dan ingin tinggal di Australia.
"Saya tidak bisa berbahasa Inggris ketika ketemu suami saya. Dia citizen [warga negara] Australia yang bisa berbahasa Indonesia. Awal nikah, saya tak ada niat dan minat ke Australia," ujarnya kepada wartawan ABC Indonesia Farid M Ibrahim, Rabu (14/10).
"Semua urusan visa PR, keluarga suami yang tangani. Saya bisa bayangkan jika ada orang sama kisahnya dengan saya, maka aturan ini begitu menyiksa," katanya.
"Mau enggak mau orang Australianya yang [malah] harus hidup di negara [asal] pasangannya."
"Syukur-syukur kalau dia bisa adaptasi. Kalau nggak nanti malah berakhir ke perceraian," ujar Nila, yang telah dikaruniai tiga orang anak.
Nila sendiri mengaku bisa beradaptasi dengan masyarakat di Melbourne melalui program kelas bahasa Inggris yang disediakan pemerintah Australia.
"Dengan program AMEP yang ada sekarang ini jauh lebih memberikan ruang yang cukup untuk para imigran yang tak bisa berbahasa Inggris untuk bisa beradaptasi dan berbaur dengan masyarakat luas," jelasnya.
AMEP atau 'Adult Migrant English Program' didanai oleh Pemerintah Australia untuk memberikan kursus bahasa Inggris hingga 510 jam bagi PR atau penduduk sementara yang memenuhi syarat.
"Saya membayangkan jika aturan itu diterapkan, maka pasangan yang tidak bisa berbahasa Inggris meski sudah punya anak dengan citizen Australia, mereka harus mengurungkan niatnya untuk mengajukan permohonan PR," kata Nila lagi. Untuk cari kerja dan hindari KDRT
Dalam pengumuman yang disampaikan pekan lalu, pejabat pelaksana Menteri Imigrasi Australia Alan Tudge mengatakan, pemohon visa pasangan dan sponsor mereka disyaratkan untuk menunjukkan kemampuan berbahasa Inggris pada level fungsional atau dapat menunjukkan keseriusan untuk belajar.
"Kecuali Anda bisa berbahasa Inggris, maka akan sulit untuk mendapatkan pekerjaan," ujarnya.
"Dan juga akan menjadikan pihak perempuan lebih berisiko alami kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) karena mereka mungkin tak bisa berkomunikasi dan mendapatkan dukungan yang diperlukan," tambah Menteri Tudge. Photo: Menteri urusan Imigrasi Australia Alan Tudge menyatakan perubahan syarat visa pasangan dimaksudkan untuk mendukung pasangan dalam mendapatkan pekerjaan dan mendukung perempuan dari risiko KDRT. (AAP: Julian Smith)
Namun menurut Komisioner Chin Tan untuk mendapatkan kemampuan berbahasa Inggris hingga ke tingkat fungsional bukanlah proses yang mudah.
Dia khawatir bila pemohon dengan latar belakang non Bahasa Inggris diharuskan mengikuti tes bahasa untuk mendapatan status PR, meskipun sudah berhak tinggal di Australia secara temporer.
"Sangat penting bagi Australia untuk mendukung seluruh warga negara dan penduduk tetapnya dalam mendapatkan pelayanan terlepas dari kemampuan bahasa mereka," katanya.
Menurut catatan Imigrasi, jumlah visa pasangan yang disediakan untuk tahun anggaran 2020/21 akan meningkat menjadi 72.300 visa. Tahun lalu jumlahnya tak mencapai 47.000 visa.
Diproduksi oleh Farid M. Ibrahim. Simak artikel menarik lainnya di ABC Indonesia.
BACA ARTIKEL LAINNYA... Sahkan UU Cipta Kerja, DPR Dinilai Lakukan Kejahatan Legislasi