Syarat Genting Jadi Persoalan Baru

Rabu, 01 Oktober 2014 – 07:11 WIB

jpnn.com - JAKARTA -  Direktur Monitoring, Advokasi, dan Jaringan Pusat Studi Hukum dan Kebijakan Ronald Rofiandri menilai rencana untuk mengeluarkan perppu tersebut tidak tepat.

Sebab, syarat situasi "kegentingan yang memaksa" sebagaimana pasal 22 ayat 1 UUD 1945 tidak terpenuhi.
 
Dia juga menilai bahwa Presiden SBY tidak wajar menyatakan telah terjadi kegentingan yang memaksa bagi kondisi yang diusulkan dan disetujui presiden sendiri.

BACA JUGA: Komputer Terbatas, Pelaksanaan CAT di BKN Antri

"Upaya-upaya oleh Presiden SBY terkait dengan UU Pilkada hanyalah usaha untuk menyelamatkan citranya pada akhir masa jabatan. Karena itu, harus ditolak," ujar Ronald, kemarin.
 
Dia juga mengkritik keras langkah konsultasi antara presiden dan MK. Sebab, hal tersebut memiliki potensi konflik kepentingan mengingat presiden bisa menjadi pihak dalam perkara sengketa kewenangan lembaga negara dan pemakzulan di MK.

"Dalam struktur ketatanegaraan, MK juga tidak memiliki peran sebagai penasihat presiden untuk masalah apa pun," katanya.
 
Ronald menjelaskan, untuk kebutuhan pertimbangan atas suatu permasalahan dalam bidang hukum, presiden memiliki ruang untuk meminta pertimbangan Mahkamah Agung (MA) sebagaimana diatur dalam pasal 37 UU No 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung.

BACA JUGA: Ribetnya SBY Pulihkan Kepercayaan Rakyat

Selain itu, presiden dimungkinkan berkonsultasi masalah hukum dengan jajaran di bawahnya, yakni Dewan Pertimbangan Presiden atau menteri hukum dan hak asasi manusia. "Jadi, tidak tepat presiden melakukan konsultasi dengan MK," tandasnya. (ken/bay/c5/kim)

 

BACA JUGA: Hasrat Saudi Tingkatkan Kualitas Layanan Jamaah Rendah

BACA ARTIKEL LAINNYA... Ibas Disarankan Mundur dari Sekjen PD


Redaktur : Tim Redaksi

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler