Tahu Hantu Khas Daerah sampai Pocong Hantu Nasional

Jumat, 25 Juli 2014 – 10:56 WIB
PAKAR DEMIT: Misbahul Bachtiar menunjukkan dua komik dan salah satu pekerjaannya. Foto: Rista Rahayu/Jawa Pos

SEBAGAI komikus, Misbachul Bachtiar punya segudang mimpi. Selain ingin kembali menelurkan karya baru, dia ingin menularkan ilmunya membuat komik melalui sekolah terbuka seni.
--------------
Laporan Rista R. Cahayaningrum
--------------

OHANG pandak merupakan salah satu hantu asli Indonesia. Berbentuk menyerupai anak laki-laki bertubuh kecil. Warga Sumatera meyakini ia adalah hantu penghuni Gunung Kerinci.

BACA JUGA: Dulu Belajar Gitar sambil Nangis, Kini Jadi Kecanduan

Jawa Timur juga miliki hantu yang khas. Hantu itu berwujud perempuan. Yakni, matianak. Hantu asal Bawean tersebut memiliki ciri rambut panjang dengan wajah buruk rupa. Ia juga miliki suara khas menyeramkan. Hantu jenis itu dikenal lebih suka menggoda kaum lelaki. Ditengarai, matianak masih satu spesies dengan kuntilanak.

Ada lagi hantu paling fenomenal Indonesia. Hampir semua masyarakat mengenal hantu jenis itu. Ya, siapa lagi kalau bukan ’’hantu nasional’’, pocong. Hantu jenis itu identik dengan balutan kain kafan dan bergerak dengan melompat.

BACA JUGA: Sujiatmi Menangis Jadi Saksi Sejarah Anak Sendiri

Itu hanya sebagian kecil contoh hantu yang dimiliki Indonesia. Broky, sapaan Misbachul Bachtiar, sempat melakukan sensus. Tentu dia tidak berdialog langsung dengan para demit dari seluruh penjuru negeri. Yang dilakukannya adalah menanyai beberapa orang seputar cerita-cerita hantu. Tim itu juga datang ke berbagai tempat untuk menggali informasi sebanyak-banyaknya soal makhluk halus.

Hasilnya, ada 101 hantu mulai dari Sabang sampai Merauke. Dia bersama kedua rekannya, Wiryadi Dharmawan dan Yudis, lantas membukukannya dalam sebuah komik berjudul 101 Hantu Nusantara.

BACA JUGA: Terus Berlatih agar Tidak Grogi di Depan Ilmuwan Dunia

Komik itu, jelas Broky, bergenre humor. Sebab, aspek yang ditonjolkan bukan kesan hantu yang menyeramkan. Melainkan, nama hantu di setiap wilayah, bentuk, dan penyebutannya. "Bentuk hantu itu ternyata lahir dari kebudayaan,” ujar Broky.

Sebab, menurut dia, hampir setiap warga di suatu wilayah mengaku pernah melihat hantu yang menjadi mitos di daerahnya. ”Tidak mungkin orang Jogja lihat ohang pandak (hantu asal Sumatera, Red). Mereka pasti mengaku melihat genderuwo,” ucapnya, lantas tertawa.

Broky menjelaskan, hantu tersebut berangkat dari budaya takut di setiap daerah. Misal saja, kuntilanak. Itu hanya cermin rasa takut masyarakat terhadap sosok perempuan berambut panjang dan berbaju putih.

Berhasil menyensus hantu Nusantara, Broky bersama kedua temannya kembali melakukan sensus hantu. Selang 10 bulan dari 101 Hantu Nusantara, mereka mengadakan sensus untuk hantu dunia. Mereka juga menghimpun 101 hantu. Lagi-lagi mereka mengemasnya ke dalam sebuah komik bergenre humor. Yakni, 101 Hantu Dunia.

”Karena kedua komik itu, saya jadi seperti sekarang,” kata Broky dengan senyum mengembang. Baginya, menjadi komikus tidak hanya menimbulkan kesenangan sendiri, melainkan dapat menciptakan media untuk berbagi kesenangan. ”Kalau komik humor, sekali baca kan langsung ketawa. Ibadah juga,” imbuhnya.

Komik Broky bersama kedua temannya terbilang berhasil. Bagaimana tidak, komik itu laris di pasaran. Sekarang tidak dapat ditemukan lagi cetakan pertamanya. Melainkan, sudah cetakan ke-5. Dia juga mengaku, sebagian penghasilannya diperoleh dari komik-komik karyanya.

Bukan hanya 101 Hantu Nusantara dan 101 Hantu Dunia komik karya Broky. Sebelumnya, dia membuat dua komik lain. Yakni, Cintaku Tertambat di Facebook dan Gilanya Bola.

Keberhasilannya dalam membuat komik, ternyata, membuat hatinya terketuk. Tidak ingin keberhasilan hanya dirasakan olehnya, pria kelahiran 18 Juni 1984 itu berkeinginan keras mengajak orang lain untuk turut terjun di dunianya.

Alhasil, pada Juni 2013, dia resmi membuat sekolah terbuka seni. Salah satu kesenian yang diajarkan adalah seni membuat komik.

”Untuk saat ini baru ada seni musik dan seni rupa,’’ sebutnya. Di sekolah seni terbuka itu bukan hanya Broky yang berkecimpung. Ada dua temannya lagi yang turut membantu. Yakni, Danang D.K. dan Endy Lukito. ”Dulu kami teman kuliah,” imbuhnya.

Broky mengingat, awal mula Kiani berdiri berdasar gagasan meja makan. Saat itu Kiani lahir dari celetukan salah seorang kawan. Ternyata, Kiani berarti kerajaan.

Siang itu (23/7) Broky berada di kafe kecil miliknya. Tidak terlalu luas. Sekitar 3x10 meter. Namun, suasananya cukup nyaman. Bukan hanya kursi yang didesain apik, di sana juga terdapat perpustakaan mini. ”Siapa saja boleh pinjam dan baca di sini,” ujarnya.

Kala itu Broky memang tidak memiliki jadwal mengajar. Sekolah seninya tidak setiap hari diadakan. Hanya satu kali dalam sebulan. ”Akhir pekan di minggu keempat,” sebut Broky.

Sekolah terbukanya bisa dilakukan di mana saja. Bahkan, dia mengaku tidak jarang kafe itu dipakai untuk lokasi sekolah.

Dia beranjak menuju tempat duduk yang lebih luas. Yakni, di pojok paling depan dekat dengan perpustakaan. ’’Anak-anak biasanya di sini. Kursinya lebih banyak,” ujarnya.

Sekolah terbuka milik Broky didesain hanya untuk anak-anak di bawah sembilan tahun. Dia memang lebih memprioritaskan anak yang masih menginjak usia TK. Selain karena suka dengan anak-anak, Broky merasa bahwa anak kecil lebih mudah dipahamkan mengenai seni.

Baginya, seni tidak hanya bicara hasil. Melainkan juga olah rasa. ”Jiwa seni itu harus ditanamkan. Dengan begitu, rasa percaya diri mereka terbangun. Paling efektif ya anak-anak tadi,” jelasnya.

Jumlah siswa untuk sekolahnya tidak tentu. Bahkan, saat hanya ada seorang yang ingin belajar seni, dia tetap sigap. Hanya, aktivitas sekolah seninya paling sering berlangsung di Joglo Andanawarih Pangestu Paguyuban Ngesti Tunggal (Pangestu) di Banyu Urip, Surabaya.

Broky memang tidak pernah membatasi. Siapa saja boleh gabung dengan sekolah terbuka itu.

”Kami biasanya jemput bola. Kami cari dulu siswa yang mau, lalu belajar bersama tentang seni,” papar Broky. Cara lain juga tidak jarang mereka lakukan. Misalnya, mendatangi salah satu TK untuk mengajarkan seni.

Bagaimanapun prosesnya, Broky tidak mempermasalahkan. Tujuannya hanya satu, mengajarkan kesenian kepada anak-anak di Surabaya-Sidoarjo secara gratis.

”Tidak ada biayanya. Ilmu kami bagikan secara cuma-cuma,” tutur alumnus Fakultas Bahasa dan Seni Universitas Negeri Surabaya itu.

Sebab, bagi Broky, ilmu seni bukan sesuatu yang mahal harganya. Asalkan ada kemauan, semua orang dapat menghasilkan karya seni. Bukan hanya rupa dan musik. Melainkan juga seni membuat komik.

Menjadi komikus pernah menjadi harapan Broky dulu. Kini itu sudah berhasil dia wujudkan. Namun, masih ada satu harapannya yang belum sempurna terwujud.

Yakni, membuat Kiani kian hidup. Sebab, semakin banyak anak yang bergabung di Kiani membuktikan semakin banyak anak-anak yang belajar seni. Saat itulah harapan Broky kembali terwujud. (*/c6/dos)

 

BACA ARTIKEL LAINNYA... Mengenal Musa, Hafiz Cilik yang Hafal 30 Juz Alquran


Redaktur : Tim Redaksi

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler