jpnn.com - Tahun 2022 adalah momentum kick off Kebangkitan Alam agar sehat-lestari ekosistem Negara Kesatuan RI berdasarkan Pancasila dan UUD 1945 serta merajut kelahiran tata-dunia baru yang sehat-lestari, damai dan adil.
Tata-dunia baru sejak awal abad 21 mesti mulai dibangun dari sehat-lestari ekosistem—biosfer, atmosfer, lithosfer, dan hidrosfer.
BACA JUGA: Menparekraf Sebut UMKM Tonggak Kebangkitan Ekonomi Kreatif di Indonesia
Prof. Soepomo, Ketua Tim Kecil perumus Undang-Undang Dasar (UUD) Indonesia merdeka, menitip pesan: “Setiap upaya membangun suatu Negara ialah berkenaan dengan sesuatu yang bernyawa, memiliki jiwa, dan raga!” (Risalah Sidang BPUPKI, Setneg RI, 1992).
Unsur inti tiap negara ialah Rakyat dan Bumi (tanah-air) di bawah kakinya. Sebagai Bangsa merdeka, yang memiliki hak merdeka dan berdaulat, Rakyat membentuk suatu Pemerintahan dan hukum. Maka Ir. Soekarno dalam Rapat BPUPKI 1 Juni 1945 di Jakarta, menegaskan bahwa “Jangan pernah pisahkan Rakyat dengan Bumi di bawah kakinya!” Itulah roh Negara-Bangsa Indonesia merdeka. (Risalah Sidang BPUPKI, Setneg, 1992).
BACA JUGA: BNPB Rilis Data Bencana Alam, Terbanyak Karena Hidrometeorologi
Filosofi dasar (geistlichen hintergrund) melihat dan mengakui nyawa, jiwa, dan raga Negara-Bangsa tersebut di atas, tentu saja layak, valid, tepat-waktu, dan akurat untuk membaca tanda-tanda alam, peristiwa, dan tragedi Covid-19 tahun 2021 atau tahun-tahun silam guna melihat dan berjuang tahun 2022 dan masa depan kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara NKRI berdasarkan Pancasila serta kelahiran tata-dunia baru yang damai, adil, dan sehat-lestari atau layak-huni.
Mengapa Tahun 2022?
BACA JUGA: Eks Gubernur NTT Frans Lebu Raya Meninggal Dunia, Bung Komar: Selamat Jalan Sahabatku
Tahun 2022 akan menjadi suatu ‘moment of truth’ atau momen kebenaran dengan kelahiran Kebangkitan Alam pada tingkat negara dan tata-dunia. Kita baca beberapa tanda-nya hingga tahun 2021.
Pertama, sejak 1979 atau selama 40 tahun, lonjakan kehilangan massa es Antartika, meningkat luar biasa. Es kutub cair-raib itu memicu kenaikan level permukaan laut di seluruh dunia sekitar lebih dari setengah inci per tahun selama kurun waktu 1979-2017. Tahun 1979-1990, Antartika kehilangan 40 gigaton (40 miliar ton) massa es per tahun. Tahun 2009-2017, Antartika kehilangan 252 gigaton massa es per tahun.
Begitu hasil penelitian dan kajian Eric Rignot, Ph.D (peneliti NASA), Jérémie Mouginot (peneliti sains Bumi pada University of California-Irvine/UCI), Bernd Scheuchl (ilmuwan proyek sains sistem bumi pada UCI), Associate Professor Michiel van den Broeke (UCI), Melchior J. van Wessem dan Mathieu Morlighem (Utrecht University).
Riset para ahli itu dibiayai oleh badan antariksa Amerika Serikat (AS) NASA (National Aeronautics and Space Administration), Netherlands Organization for Scientific Research dan Netherlands Earth System Science Centre dan dirilis oleh jurnal ilmiah Proceedings of the National Academy of Sciences edisi Januari 2019 (Eric Rignot et al, 2019).
Kajian para ahli itu akhirnya mempengaruhi laporan jaringan intelijen AS tahun 2021. Untuk pertama kalinya, dalam sejarah 234 tahun Amerika Serikat, sejak tahun 1787, Kamis, 21 Oktober 2021, dari Gedung Putih (White House), Washington, D.C., Amerika Serikat (AS), Pemerintah AS merilis suatu laporan intelijen AS tentang ancaman perubahan iklim terhadap keamanan dan stabilitas sejumlah kawasan dunia hingga tahun 2040.
The Office of The Director of National Intelligence (ODNI) melibatkan 18 unsur komunitas intelijen AS dalam menyusun laporan intelijen (National Intelligence Estimate/NIE) itu (ODNI, 2021; AFP, 22/10/2021) Secara khusus, NIE menyebut ketegangan lonjakan kawasan dan risiko-risiko fisik akibat perubahan iklim di kutub (Antartika) dan Asia-Afrika. (Gordon Corera, 2021).
Sebanyak 234 ahli perubahan iklim pada Intergovernmental Panel on Climate Change (IPCC), badan Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) khusus perubahan iklim merilis hasil riset dan kajian. Dari Geneva, Swiss, Senin 9 Agustus 2021, IPCC merilis laporan ilmiah 3.000 halaman tentang risiko perubahan iklim pra dan pasca tahun 2030-an. (AP, 9/9/2021).
Bunyi laporan IPCC tahun 2021 antara lain, saat ini suhu global naik 1,1 derajat Celsius sejak abad 19 M, atau level tertinggi selama 100 tahun terakhir. Manusia adalah penyebab utama lonjakan pemanasan planet Bumi sejak era pra-industri.
Kegiatan manusia memicu pelepasan gas-gas yang ‘menangkap’ panas, khususnya karbon dioksida (CO2) dan methane. Kegiatan manusia membakar bahan bakar fosil – batu-bara, minyak, kayu, dan gas alam. (IPCC, 2021). IPCC menandai tahun 2021 : ‘code re for humanity’ atau kode merah kehidupan manusia dan peradabannya di Bumi.
Masih tahun 2021, hari Senin, 1 November di kota Glasgow, Scotlandia, Inggris, delegasi sekitar 200 anggota Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) mengadakan COP26 (Climate Change Conference of the Parties). Maka sejak tahun 2022 adalah tahap krusial bagi berbagai negara melakukan program nyata, radikal bahkan revolusioner guna menjaga level pemanasan planet Bumi pada kenaikan 1,5 derajat C sejak abad 19.
Perkiraan kini ialah kenaikan level panas Bumi sekitar 2,7 derajat C; risikonya ialah bencana iklim atau ‘climate catastrophe’. Risiko ini lapat-lapat terbaca, sebab Tiongkok –pelepas 227 juta ton karbon (CO2) per tahun, tidak hadir pada COP26. Tiongkok juga sulit kendali emisi karbon hingga net-zero emisi karbon sesuai target COP26 tahun 2030. Begitu pula dua negara pelepas karbon terbesar dunia lainnya per tahun yakni AS dan India.
Kedua, strategi, program, dan kebijakan nyata atau konkret net-zero emisi karbon bakal mengubah peta ekonomi-politik dunia. Sebab transisi dari sistem energi berbasis fosil akan mengubah peta-ekonomi politik tiap negara dan dunia. Ini bakal terjadi sejak 2022 usai COP26 di Glasgow, Inggris. Kita lihat, sejak abad 18 M, sistem ekonomi-politik di Eropa dan AS telah terjalin-erat dengan sistem energi fosil (minyak, batu-bara, dan gas).
Revolusi industri abad 18 M di Eropa Barat dan kapitalisme fosil lahir dari eksploitasi bahan bakar fosil nyaris tanpa henti di seluruh dunia. Bahkan mata-rantai kolonialisme-imperialisme lahir dari kapitalisme fosil; Sebab, penumpukan modal mensyaratkan pasokan energi fosil dan akses tanpa-jedah ke sumber energi fosil. (Altvater & Mahnkopft, 1997)
Hingga awal abad 21, ekonomi-politik dunia dikendalikan oleh elit-elit kapitalisme fosil. (Macpherson, 2006; Therborn,1997; Dahl,1998) Kapitalisme fosil memacu Produk Dunia Bruto (PDB) dunia selama 100 tahun terakhir. Konsumsi energi naik dari 22 EJ (exajoule= 1018 joule) ke level 355 EJ. Tahun 1890-1990, total PDB dunia naik dari 2 triliun dollar AS ke 32 triliun dollar AS (Smil, 2004).
Tahun 1890-1990, PDB dunia naik kira-kira 14 kali dan konsumsi energi 16 kali—dominan bahan bakar fosil. (Speth, 2008) Tata-masyarakat, ekonomi, dan politik global terpateri-erat dalam kendali mata-rantai produksi, distribusi, dan konsumsi bahan bakar fosil.
Hingga awal abad 21, nilai aset infrastruktur minyak dan gas mencapai 5 triliun dollar AS. Industri minyak global mengendalikan tata-kelola 30 miliar barel minyak per tahun pada lebih dari 100 negara. minyak didistribusi melalui lebih dari 3.000 tanker dan 300.000 mil jaringan pipa. (Smil, 2008)
Contoh lain, hingga tahun 2019, 80% konsumsi energi di seluruh dunia, dipasok oleh minyak, gas, dan batu-bara (fosil). Sedangkan tenaga angin hanya mengisi lebih dari 2 (dua) persen dan tenaga surya sekitar 1 (satu) persen. Maka ada kenaikan kebutuhan hingga 2.500% produksi energi dari tenaga surya dan angin guna menggantikan bahan bakar fosil. Meski ini sulit terjadi dalam kurun waktu singkat. Namun, momentumnya ialah tahun 2022.
Begitu pula, Jurnal Environmental Research Letters (2019) merilis hasil penelitian bahwa di seluruh dunia terdapat lebih dari 29.000 pembangkit listrik yang menggunakan bakar fosil. Sebanyak 5% atau 1.400 pembangkit listrik itu memproduksi 73% emisi CO2 global.
Namun, belum ada upaya menggantikan bahan bakar fosil ke energi ramah-lingkungan pada 1.400 pembangkit listrik itu. Tiba saatnya, tahun 2022 adalah kick-off transisi ke sistem energi baru terbarukan (EBT), sehingga alam bumi kembali pulih, sehat dan lestari serta layak-huni oleh manusia dan ciptaan Tuhan Yang Maha Esa (YME).
Kita juga baca tanda-tanda dari hasil penelitian International Energy Agency (2020) bahwa teknologi mampu mencegah kebocoran lebih dari 70% methane dari produksi gas dan minyak. Teknologi bateri menyimpan energi.
Tentu ini peluang memperkuat sistem energi EBT mengatasi daya angin dan sumber air yang lazim terputus-putus. Misalnya, teknologi bateri dipasang pada jaringan guna menjaga pasokan listrik stabil dari tenaga surya saat matahari terbenam. Maka sejak tahun 2022 adalah momentum berbagai negara memiliki dan menguasai teknologi bateri.
Tahun 2021, pekan ke-3 Oktober, pimpinan Uni Eropa (UE) mendesak 27 negara anggota UE mempercepat transisi dari energi fosil ke energi bersih-ramah lingkungan. Maka di kota Brussel (Belgia), 20 Oktober 2021, Presiden Komisi Eropa, Ursula von der Leyen, mendorong anggota Uni Eropa mempercepat transisi ke sumber tenaga surya dan angin. Karena ketergantungan 27 negara UE pada 90% pasokan gas alam impor membuat UE sangat rentan terhadap pasokan gas alam asal Gazprom, Rusia. (Raf Casert, 2021).
Semua tren adalah peluang bagi Negara RI yang memiliki kekayaan sumber tenaga surya, angin, dan tidal-power (gelombang laut). Maka tahun 2022 adalah tahun momentum Kebangkitan Alam merajut sistem energi yang berada dan berasal di permukaan bumi, bukan menggali dari dalam perut bumi. Sebab zat-zat yang sudah ditaruh di dalam perut Bumi oleh Tuhan YME, jangan dipaksa-ambil dari perut Bumi, tanpa sebab-sebab alamiah.
Ketiga, Rabu pagi (15/12/2021) di Jakarta, Presiden RI Joko Widodo menutup tahun 2021 dan membuka lembaran baru tahun 2022 dengan meresmikan Gerakan Akselerasi Generasi Digital. Presiden RI Joko Widodo didampingi oleh Mensesneg Pratikno, Menteri BUMN Erick Thohir, Mendikbudristek Nadiem Makarim, Menkominfo Johnny G. Plate, dan Pendiri Narasi Najwa Shihab. (Humas Setkab RI, 2021).
Presiden Joko Widodo menyebut 2.319 start-up, satu decacorn, dan 7 unicorn di Indonesia hingga akhir tahun 2021. Presiden Joko Widodo merilis narasi jumpa dan bermain pingpong dengan Mark Zuckerberg, pendiri Facebook, di Amerika Serikat tahun 2016 dan Indonesia harus siap menghadapi kemajuan digital dunia. Industri-industri raksasa teknologi dunia, seperti Facebook, Epic Game, Roblox, dan Microsoft, membangun industri digital-virtual Metaverse. (Humas Setkab RI, 15/12/2021).
Presiden RI Joko Widodo menyebut skala waktu 2 (dua) tahun menyiapkan strategi Metaverse. Ini juga dapat menjadi momentum sejak tahun 2022. Pada level operasional, Kementerian dan BUMN diharapkan membangun mindset digital, skill digital, kultur digital, infrastruktur digital, dan digital-governance dalam suatu ekosistem digital.
Namun, bagaimana membangun ekosistem digital versi Metaverse tanpa risiko-risiko dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara? Inheren dalam teknologi sos-med akhir-akhir ini ialah sulit filter penularan sifat patologis manusia, misalnya berbohong, hoaks, disinformasi, dan sejenisnya melalui sosmed.
Selain itu, jenis-jenis teknologi semacam ini, memiliki gen-inheren lain yakni ‘monopoli’ dan ‘otoriter’; sebab berada di bawah kendali filosofi dan ideologi segelintir elit-industri teknologinya. (Zuo/Xinhua, 2021)
Data lain, kinerja ekonomi Facebook misalnya melorot pada masa pandemic Covid-19. Maka Facebook melalui Metaverse berupaya melahirkan generasi baru Internet menjadi ekosistem 3D. Ini alasan bisnis. Simon Torkington (2021) mencatat bahwa Metaverse menjadi populer usai Mark Zuckerberg ubah branding dan sektor usaha Facebook dari social-media ke jasa teknologi virtual reality (VR) dan Augmented Reality (AR) sehingga pengguna dapat berinteraksi-penuh di ruang-siber (cyber-space). (Joori Roh dkk, 2021).
Fantasi dan istilah Metaverse lahir dari fiksi sains, khususnya novel fiksi sains Snow Crash karya Neal Stephenson (1992). Namun, tata-dunia saat ini, menurut Zoe Wienberg (2021) dalam The New York Times (2/12/2021), belum siap untuk era fantasi Metaverse dengan karakter-karakter berbasis digital avater mirip video game.
Metaverse melahirkan ilusi bahwa pengalaman di alam-digital seakan-akan nyata, aktif, dan ‘hidup’. Jadi, di satu sisi, ekosistem ala Metaverse bisa saja melahirkan revolusi cara-kerja dan industri hiburan, namun masih sangat berisiko bagi kehidupan berbangsa dan bernegara.
Alasannya, antara lain, lingkungan virtual sulit menyaring disinformasi, spionase, dan surveilens. Kendali infrastuktur fisik Metaverse mungkin melahirkan konflik lintas batas-negara.
Batas-batas riil tiap negara-bangsa menjadi kurang relevan. Sebab Metaverse adalah supranasional. Ini tentu mengubah pola pikir dan pola hubungan antar negara-bangsa. Risiko ini harus diantisipasi pada level global dan negara-bangsa; khususnya, jika ekosistem virtual-digital akhirnya mengendalikan cara-kerja, pola-pikir, dan gaya-hidup warga-negara.
Kini ilusi, imajinasi, dan kreasi Metaverse hadir di mana-mana. Ada pesona konser virtual menarik-minat audiens. Desainer papan atas dunia menjual feisyen virtual; gaming seolah-olah menjadi suatu ‘kehidupan ke-2’ (second-life) bagi banyak orang di berbagai negara.
Lagi pula, perusahan Fortnite, Minecraft, dan Roblox memudahkan pengguna bersosialisasi, berbelanja, dan mengikuti lingkungan-virtual-digital (Zoe Wienberg, 2021).
Dalam Metaverse, seorang dapat diwakili oleh avatar pseudonim. Ini melahirkan era spenionase baru. Akhir-akhir ini, spenionase digital digunakan oleh banyak negara guna mengakses properti intelektual komersil, teknologi militer, hingga informasi keuangan, dan pribadi warga-negara.
Risiko ini sangat serius, khususnya Metaverse yang nyaris berisi seluruh aspek kehidupan warga negara, yakni kerja, hubungan bermasyarakat, berbangsa, bernegara, aset, dan identitas! Apalagi, banyak negara memakai teknologi pengenal-wajah (FRT/facial-recognition technology) guna memantau perilaku tiap orang.
Di sisi lain, Tiongkok memegang kendali tulang-punggung Metaverse pada hampir 50 negara melalui prakarsa Digital Silk Road yang mendanai sistem telekomunikasi negara-negara itu. Awal November 2021, Wu Zhongze, mantan wamen IPTEK Tiongkok, rilis grup industri metaverse perdana Tiongkok: Metaverse Industry Committee yang berada di bawah pengawasan BUMN China Mobile Communications Association (CMCA). (Mary Hui, 17/11/2021).
Fokus Tiongkok ialah ekonomi-digital global. Tren ekonomi-digital berbasis metaverse, menurut Yu Jianing, direktur eksekutif Metaverse Industry Committee asal Tiongkok: sektor riil ekonomi terintegrasi dengan sektor digital-virtual dan globalisasi keuangan digital-desentral (DeFi).
Maka data akan dihargai sebagai ‘faktor produksi’ dan melahirkan kebutuhkan infrastruktur hukum baru guna mengatur dan mengontrol data perusahan teknologi IT. Presiden Xi Jinping dari Tiongkok melihat pula nilai penting ‘ekonomi-digital-virtual’; namun dasar-basik ekonomi tetaplah sektor riil sosial-ekonomi. Maka penghasilan atau pendapatan melalui Metaverse sangat ditentukan oleh ‘the real world’ atau sektor riil ekonomi.
Jesse Lin, ahli digital ekonomi dan spesialis proyek pada World Economic Forum LLC (2021) menyimpulkan bahwa meskipun ada revolusi teknologi, misalnya Internet of Things, Artificial Intelligence, dan lain-lain, namun pola-hubungan pembeli dan penjual masih didominasi oleh komunikasi berbasis dokumen-kertas di seluruh dunia. (Jesse Lin & Christian Lanng, 2021) Revolusi IT tidak menggusur peran maritim global hingga hari ini dan ke depan.
Tahun 2022 adalah momentum memperkuat jaringan sosial-ekonomi-lingkungan negara-bangsa NKRI dengan membangun suatu Metaverse (ekosistem virtual-digital) yang mewujudkan nilai-nilai universal Pancasila.
Sebab IPTEK harus mewujudkan Pancasila. Maka jika Metaverse bertentangan dengan nilai kemanusiaan, persatuan, keadilan, musyawarah, mufakat, hikmat-bijaksana, keadilan sosial, maka Metaverse mesti ditolak dan dikontrol ketat oleh Negara.
Pilihan modelnya, antara lain, model ‘5.0 Society Japan’ (Sin-nosuke Susuki dkk, 2021). Yakni ekosistem Metaverse dirajut dari aplikasi-aplikasi proyek-proyek kolaboratif berbasis nilai-nilai sosial, ekonomi, lingkungan, lingkungan sosial, lingkungan ekonomi, dan sosial-ekonomi dari Negara. Model seperti ini memudahkan kontrol, tata-kelola terukur, terarah, dan tidak bias dalam sistem negara-bangsa berdaulat.
Sehingga perlu dicegah agar tata-masyarakat tidak terbelah oleh dampak negatif dari Metaverse dan sejenisnya yakni manusia yang berilusi dan berimajinasi dalam lingkungan virtual-digital dengan manusia yang merasakan dan mengalami hidup sesungguhnya ialah kehidupan yang berinteraksi dengan unsur-unsur biosfer, atmosfer, hidrosfer, dan lithosfer sebagai ‘kehidupan sungguh nyata’ (real-life) ciptaan Tuhan YME di planet Bumi.
Strategi Kebangkitan Alam
Dari mana dan ke mana arah merajut Kebangkitan Alam suatu negara seperti Negara RI atau tata-dunia? Kita baca dari dokumen tanggal 23 November tahun 1954, Keputusan Presiden RI Soekarno No. 230 Tahun 1954. Isinya ialah pembentukan Panitia Negara khusus bidang tenaga atom dalam strategi pembangunan Negara. Panitia ini harus menyelidiki akibat-akibat penggunaan tenaga atom dalam waktu damai dan dalam waktu perang.
Pada 5 Desember 1958 atau 4 tahun kemudian di Jakarta, Presiden RI Soekarno menetapkan Peraturan Pemerintah (PP) RI No. 65/1958 tentang Dewan Tenaga Atom dan Lembaga Tenaga Atom dan mencabut Kepres No. 230/1954. Saat itu, Perdana Menteri ialah Djuanda.
Tanggal 16 Desember 1958, PP No. 65/1958 diundangkan oleh Menteri Kehakiman G.A. Maengkom ke dalam Lembaran Negara Tahun 1958 Nomo 151.
Pasal 1 ayat (2) PP No. 65/1958 menetapkan tugas Lembaga Tenaga Atom untuk “...melaksanakan, mengatur dan mengawasi penyelidikan dan penggunaan tenaga atom di Indonesia demi keselamatan dan kepentingan umum.” Ini adalah jejak awal dari visi strategi Negara-bangsa RI di bidang atom untuk perdamaian, kesejahteraan, dan kepentingan umum (atom for peace).
Pada pidato Pembukaan Konferensi Asia-Afrika tanggal 18 April tahun 1955 di Bandung, Jawa Barat, Presiden RI Soekarno merilis peta-dinamika abad 20: ‘This twentieth century has been a period of terrific dynamism. Perhaps the last fifty years have seen more developments and more material progress than the previous five hundred years... He has learned to project his voice and his picture across oceans and continents. He has probed deep into the secrets of nature and learned how to make the desert bloom and the plants of the earth increase their bounty. He has learned how to release the immense forces locked in the smallest particles of matter.” (Soekarno, 1955:3).
Isi pidato Presiden Soekarno itu antara lain telah melihat tanda-tanda revolusi IT—proyeksi suara dan gambar lintas lautan dan benua serta revolusi pemacahan zat terkecil. Namun, Presiden Soekarno (1955:3) menekankan bahwa keahlian IPTEK (ilmiah-teknis) tidak seiring-sejalan dengan keahlian level negarawan guna menyusun komando-kontrol arah perubahan negara.
Keahlian negarawan dalam sejarah, menurut Presiden RI Soekarno (1955:4) : “...in the history of the world, society, government and statesmanship need to be based upon the highest code of morality and ethics.” Sejarah dunia, tata-masyarakat, pemerintahan, dan negarawan harus berdasarkan etika dan moral tertinggi; maka IPTEK ciptaan manusia juga harus mengabdi kepada etika dan moral tertinggi. Bagi negara-bangsa NKRI ialah Pancasila.
Oleh karena itu, kini dan ke depan, keberlangsungan kehidupan (sehat-lestari) Negara-Bangsa adalah paling penting, paling berharga dan bernilai. Pada pidato To Build The World A New (1960) di depan Sidang Umum PBB, New York, AS, 30 September 1960, Presiden RI Soekarno sekali lagi mempertegas nilai negara-bangsa bagi tata-dunia yang adil, damai, dan merdeka : “...Kita harus melihat dunia sekarang ini... terdiri dari Negara-Negara Bangsa, masing-masing sama berdaulat dan masing-masing berketetapan hati menjaga kedaulatan itu, dan masing-masing berhak untuk menjaga kedaulatan itu.”
Berikutnya, Presiden RI Soekarno (1960) menambahkan: “Kenyataan ini jauh lebih penting daripada adanya senjata-senjata nuklir, lebih eksplosif daripada bom-bom hidrogin, dan mempunyai harga potensiil yang lebih besar untuk dunia daripada pemecahan atom...Nasib umat manusia tidak dapat lagi ditentukan oleh beberapa bangsa besar dan kuat... Tugas kita ...membangun dunia kembali!” Dinamika global dewasa ini juga ditandai oleh perlombaan sistem senjata penghancur peradaban dan kehidupan. Pemimpin sejumlah negara berlomba membangun sistem senjata nuklir, hipersonik, dan laser.
Soekarno (1945, 1955, 1960) sangat menekankan nilai dan strategi negara-bangsa (Nationale Staat) untuk kemanusiaan dan peradaban. Sebab di situlah terletak nilai dan hak kemerdekaan sebagai cita-cita utama manusia.
Presiden RI Soekarno (1955), misalnya, merilis pidato pada Konferensi Asia-Afrika di Bandung-Jawa Barat : “Let us remember that the stature of all mankind is diminished so long as nations or parts of nations are still unfree. Let us remember that the highest purpose of man is the liberation of man from his bonds of fear, his bonds of human degradation, his bonds of poverty – the liberation of man from the physical, spiritual and intellectual bonds.”
Cita-cita utama manusia bernegara-berbangsa ialah bebas dari ketakutan melalui kemerdekaan fisik, spritual, dan intelektual.
Mengapa merajut dan membangun Kembangkitan Alam berbasis negara-bangsa? Selama ini, kita tinggal di rumah kita yang sama, "planet bumi". Kini dua tanda ancaman serius bagi keberlanjutan hidup kita: air yang sehat semakin langka di bumi dan lapisan ozon semakin terkoyak di langit.
Sejak era SM, kita membaca pesan zaman: filsuf Heraclitus (535 – 475 SM) dari Yunani menyebut panta rhei (π?ντα ?ε?), segala sesuatu senantiasa mengalir-berubah (Berris et al, 2014); bagi negara-bangsa, perubahan harus memiliki dasar kuat, terarah, terukur, dan tidak bias agar stabil, sehat, dan berkelanjutan. Negara-bangsa Indonesia memiliki dasar kuat atau patokan arah perubahan yakni staat fundamental norm, alinea ke-4 Pembukaan UUD 1945.
Filsuf Lao Tzu asal Tiongkok abad 4 SM melihat alam semesta kekal atau tidak mati, karena selalu memberi, tidak hidup untuk dirinya (McKenna, 2016); begitulah sifat kebaikan alam ciptaan Tuhan YME. Maka manusia harus merawat kebaikan alam (the good of nature). Nabi Muhammad abad 6-7 M (lahir di Mekkah) mengajarkan tentang menanam pohon dan merawat pohon. (Dehlvi, 2018; Nazir, 2014) Abad ke-21, Dr. Mangawari Waathai, pahlawan bumi (the hero of Earth) asal Kenya merawat hidup dengan menanam pohon; Mei 2015, Negara Vatikan merilis Laudato Si tentang merawat bumi, rumah kita.
Negara adalah sesuatu yang bernyawa, Rakyat dan Bumi (tanah-air) di bawah kakinya. Maka Kebangkitan Alam lazim dimulai dari proses pendidikan yang berkaitan dengan sesuatu yang bernyawa, nilai kehidupan di bumi. Filosofi Jepang menyebutnya Tsugiki untuk meraih hasil kualitas terbaik melalui pendidikan.
Bangsa Indonesia, sejak ratusan atau bahkan ribuan tahun, memiliki filosofi, kearifan, dan nilai-nilai dasar kehidupan di bumi: Pancasila. Pada 30 September 1960 di depan Sidang Majelis Umum PBB di sini, kota New York, Amerika Serikat, Presiden RI Soekarno merilis pidato tentang Pancasila, yang ia gali dari bumi negara-bangsa Indonesia. Cuplikan Pidato Presiden RI Soekarno pada Peringatan Lahir Pantjasila, Dasar Negara RI, Selasa 1 Juni 1964 di Jogjakarta: “Aku tidak mendapat wahju; Aku bukan Nabi. Aku sekedar menggali Pantja Sila di Bumi Indonesia sendiri!” (Kedaulatan Rakjat, 1964).
Wujud nilai-nilai Pancasila dari Bumi Indonesia antara lain melahirkan budaya dan kearifan merawat alam pada 1,331 suku, lebih dari 1.100 bahasa daerah, 270 juta penduduk dan lingkungannya di 17.499 pulau Negara-Bangsa RI. Selama bertahun-tahun, anak-anak bangsa Indonesia mengalami pendidikan lingkungan sejak usia dini melalui peribahasa, ajaran, permainan, lomba, dan lebih dari 1.500 olahraga budaya bhinneka tunggal ika.
Budaya dan kearifan Bhinneka Tunggal Ika Bangsa Indonesia telah menjabarkan prinsip-prinsip 'telur-keberlanjutan' (egg of sustainability) guna merawat lingkungan, pembentukan karakter, pendidikan musyawarah-mufakat dan hikmat -bijaksana. Tiap suku Bangsa Indonesia memiliki permainan dan olahraga berbahan tanah, air, biji, bambu, kayu, dan buah-buahan dari alam.
Maka tiba saatnya kini, Negara-Bangsa RI memfilter dan mengendalikan ilmu pengetahuan dan teknologi melalui filosofi Pancasila. Revolusi IPTEK atau revolusi atom harus mampu mewujudkan nilai-nilai Pancasila dari Bumi Negara-Bangsa RI, misalnya iman kepada Tuhan YME, kemanusiaan, keadilan, perdamaian, kesejahteraan Rakyat, keadialan sosial, persatuan, peradaban, dan sehat-lestari kehidupan ekosistem.
Kini dan ke depan, Kebangkitan Alam untuk lahirnya tata-dunia baru yang sehat-lestari, adil, dan damai, harus dimulai dari negara-bangsa, khususnya negara-bangsa NKRI berdasarkan Pancasila. Sebab zona ini adalah simpul-perekat 4 lempengan raksasa di planet Bumi yakni Benua Eurasi, Australia, Lautan Pasifik, dan Lautan India. Maka fauna dan flora bersifat Asia dan Australia, hidup sehat-lestari di Bumi NKRI. Ini pula letak patokan dan barometer kestabilan ekosistem global. Hutan hujan (rain-forest) dengan pohon daun lebar di NKRI adalah paru-paru ke-2 terbesar dunia, menyerap sangat banyak CO2 di planet Bumi.
Program Kebangkitan Alam antara lain dapat dimulai dari pendidikan sains dan teknologi tanah, air, pohon atau hutan dan gas secara simultan dan berkelanjutan serta kendali pertumbuhan penduduk guna memulihkan dan melestarikan biosfer, atmosfer, dan hidrosfer planet bumi.
Tanah adalah pusat vegetasi; air adalah satu-satunya zat yang dapat masuk ke seluruh unsur zat alam dan menghidupkan; sedangkan pohon-hutan adalah isoliasi gelombang paling sempurna di alam. Hutan dapat mencegah erosi, sumber energi, sumber pangan, dan bio-security. Sedangkan gas adalah zat pemulih lahan-tanah dari kontaminasi racun.
Oleh karena itu, tahun 2022 adalah momen kebenaran untuk kick off Kebangkitan Alam guna memulihkan alam yang berisi kebaikan dan kehidupan dari ciptaan Tuhan YME.***
Penulis, Kamarudin Watubun, SH, MH adalah anggota DPR RI dari Fraksi PDI Perjuangan Periode 2019-2024
Jangan Lewatkan Video Terbaru:
Redaktur & Reporter : Friederich