jpnn.com, JAKARTA - Mengakhiri tahun kedua upaya restorasi gambut di tujuh provinsi di Sumatera, Kalimantan, dan Papua, Badan Restorasi Gambut (BRG) mencatat beberapa capaian signifikan di bidang yang menjadi fokus kerjanya.
Di antaranya luas lahan terbasahi, jumlah desa yang diinisiasi, serta kelompok masyarakat (Pokmas) yang terlibat dalam revitalisasi mata pencaharian.
BACA JUGA: Lahan Gambut Harusnya Bermanfaat untuk Warga
Nazir Foead, Kepala Badan Restorasi Gambut (BRG) mengatakan pihaknya menginisiasi 75 desa di enam provinsi sepanjang 2017, dengan total luas lahan desa-desa itu mencapai 1.180.446 hektar.
BRG menyebut desa-desa itu sebagai desa peduli gambut, dengan ribuan penghuninya sebagai garda dapan pemeliharaan ekosistem gambut.
BACA JUGA: Kerja Nyata Lindungi Gambut Untuk Cegah Karhutla
Desa-desa itu tersebar di tujuh provinsi; Riau (11 desa), Jambi (10), Sumatera Selatan (15), Kalbar (16), Kalteng(10), Kalimantan Selatan (10), Papua (3).
“Restorasi tidak sekadar membasahi lahan gambut dan menanam kembali untuk memperbaiki ekosistem yang rusak, tapi juga memberdayakan masyarakat yang hidup di lahan gambut,” kata Nazir.
BACA JUGA: BRG Perlu Peta Skala Besar untuk Acuan Restorasi Gambut
“Dalam Rencana Strategis BRG 2016-2020 disebutkan perlindungan dan pengelolaan ekosistem gabut berkaitan erat dengan pencapaian manfaat ekonomi, sosial, dan – yang paling utama – ekologi," imbuhnya.
Dia melanjutkan BRG juga merevitalisasi mata pencaharian 101 kelompok masyarakat (Pokmas).
Caranya, membina masyarakat untuk membuka lahan tanpa bakar, mengembangkan komoditi lokal, memberikan pelatihan budi daya ikan air tawar, beternak dan budidaya lebah madu.
Tidak sulit mengidentifikasi restorasi dengan mengedukasi masyarakat.
Sampai saat ini, setelah dua tahun BRG, jumlah warga yang mengolah lahan gambut menggunakan api relatif kecil.
Lewat revitalisasi mata pencaharian, telah tumbuh kesadaran masyarakat akan pentingnya menjaga ekosistem lahan gambut untuk masa depan anak cucu.
Khusus lahan terbasahi, sepanjang 2017 BRG membangun infrastruktur pembasahan; sumur bor, sekat kanal, dan penimbunan kanal, di enam provinsi; Jambi, Riau, Sumatera Selatan, Kalbar, Kalteng, dan Kalsel, dengan luas pembasahan terdampak mencapai 103.476 hektar.
Dari luas itu, lebih 60 persen – sekitar 62.126 hektar – berada di Kalimantan Tengah.
Jadi, sampai pertengahan Desember 2017, luas lahan yang direstorasi BRG mencapai 1,2 juta hektar.
Jumlah ini belum termasuk 93 ribu hektar lahan gambut yang direstorasi mitra BRG, dan tersebar di enam provinsi.
Capaian lainnya adalah penyusunan Rencana Restorasi Ekosistem Gambut (RREG) Nasional dan Provinsi dan Inventarisasi Pemetaan Ekosistem Gambut.
Sasaran RREG, seperti tertuang dalam Rencana Strategis BRG 2016-2020, adalah kawasan ekosistem gambut terdegradasi akibat kebakaran hutan dan lahan seluas dua juta hektar, dengan obyek yang menjadi fokus adalah kawasan hidrologis gambut (KHG).
Fokus lain BRG adalah Inventarisasi Pemetaan Ekosistem Gambut di delapan Kawasan Hidrologis Gambut (KHG); Sungai Lalan-Sungai Merang, Sungai Sugihan-Sungai Lumpur (keduanya di Provinsi Sumatera Selatan), Sungai Tapung Kiri-Sungai Kiyap (Provinsi Riau), Sungai Ambawang-Sungai Kubu (Kalimantan Barat), Sungai Utar-Sungai Serapat (Kalimantan Tengah/Kalimantan Barat), Sungai Barito-Sungai Alalak dan Sungai Maluka-Sungai Martapura (Kalimantan Selatan).
Sebelumnya, BRG memetakan ekosistem gambut di KHG Sungai Saleh-Sungai Sugihan, KHG Sungai Cawang-Sungai Air Lalang (Sumatera Selatan), dan KHG Sungai Kahayan-Sungai Sebangau (Kalimantan Tengah).
Data ekosistem gambut sangat penting bagi BRG dan pihak-pihak terkait, karena bisa digunakan untuk mengidentifikasi dan intervensi restorasi yang diperlukan berdasarkan penyebab degradasi.
Menggunakan teknologi Light Detection and Ranging (LiDAR), data ekosistem sangat rinci, termasuk data topografi, tutupan lahan, kondisi hidrologis, dan estimasi kandungan karbon.
Sampai November 2017, BRG membuat titik pengamatan tinggi muka air lahan gambut.
Data tinggi muka air bisa diakses secara real time. Sukses ini membuat BRG menambah lagi 20 titik pengamatan sepanjang Desember 2017.
Titik pengamatan terbanyak terdapat di Sumatera Selatan, yaitu delapan.
Riau dan Jambi masing-masing tujuh. Hanya ada satu titik pengamatan tinggi muka air lahan gambut di Kalbar, tujuh lainnya di Kalteng.
Pemantauan tinggi muka air lahan gambut menjadi penting untuk mengidentifikasi potensi kebakaran lahan dan hutan.
Pengeringan lahan gambut, atau lahan gambut yang kering, menjadi pemicu kebakaran hutan yang relatif telah menjadi penyakit berkelanjutan bagi Indonesia.
Terakhir, pada 2015, kebakaran lahan gambut menyesakan jutaan penduduk, menimbulkan kerugian triliunan rupiah, dan menciptakan bencana asap regional.
Langkah restorasi yang dilakukan BRG relatif komprehensif. Tidak sekadar membasahi, berupaya mengembalikan ekosistem gambut, menjadikan masyarakat sebagai garda depan pengelolaan lahan gambut berkelanjutan, tapi juga pencegahan dini bencana kebakaran. (flo/jpnn)
BACA ARTIKEL LAINNYA... Jokowi Ingatkan BRG Penuhi Target Restorasi Gambut
Redaktur & Reporter : Natalia