BRG Perlu Peta Skala Besar untuk Acuan Restorasi Gambut

Selasa, 05 September 2017 – 21:47 WIB
Ilustrasi gambut. Foto: Riau Pos/JPNN

jpnn.com, JAKARTA - Pemetaan detail dan analisis terkait hidrotopografi serta tutupan lahan gambut yang akan jadi dasar pekerjaan fisik restorasi gambut sangat dibutuhkan.

Menurut Deputi Edukasi, Sosialisasi, Partisipasi dan Kemitraan, Badan Restorasi Gambut (BRG) Myrna Safitri, pemetaan itu penting dilakukan agar ada data akurat dalam membuat rencana restorasi gambut.

BACA JUGA: Gambut Berpeluang jadi Lokomotif Ekonomi Riau

“Supaya kami tahu lebih jelas. Jika ada di areal kubah berarti bentuk restorasinya seperti apa, kalau ada di areal yang bukan kubah itu seperti apa. Karena bentuk restorasi itu akan mengikuti pada ekosistem gambut itu,” ujarnya, Selasa (5/9)

Myrna mencontohkan, jika masuk kategori kubah gambut yang berarti masuk fungsi lindung, maka jika di situ ada kanal harus ditutup secara permanen.

BACA JUGA: Permen soal Land Swap Dinilai Tak Selesaikan Masalah

Namun, jika bukan kubah gambut dan masih masuk ke areal fungsi budi daya, maka masih diperbolehkan memakasi sistem buka tutup. 

“Nah untuk mengetahui ekosistem gambut di lapangan itu, hasil pemetaan itu akan sangat menentukan,” imbuh Myrna.

BACA JUGA: Soal Dampak Regulasi Gambut, FPESGR Ajukan Audiensi dengan Gubernur Riau

Belum lama ini, BRG telah menyerahkan peta Kesatuan Hidrologis Gambut (KHG) yang ada di empat kabupaten prioritas restorasi gambut.

Yakni, Ogan Komering Ilir, Musi Banyuasin, Kepulauan Meranti, dan Pulang Pisau, dengan bantuan Norwegia, dan satu KHG lagi di Pulau Padang, Kabupaten Kepulauan Meranti, yang dibuat dengan konsorium UGM-SixCAP sedang dalam penyelesaian.

 “Pada empat kabupaten itu ada banyak kesatuan hidrologis gambut dan memang belum semua dipetakan, baru empat KHG yang diserahkan,” imbuh Mryna.

Sebelumnya, BRG telah bekerja sama dengan beberapa universitas lokal dalam mengerjakan pemetaan skala 1:50.000.

Selanjutnya, peta tersebut dipertajam dengan teknologi light detection and ranging ( LiDAR).

Pemetaan ini mengintegrasikan sistem penentuan posisi Global Positioning  System/Inertia Navigation System (GPS/INS) dan pengukuran jarak dengan laser ke objek di permukaan bumi yang dilengkapi kamera digital.

Hasilnya, menunjukkan peta ketinggian permukaan bumi untuk mengidentifikasi kubah gambut, peta hidrotopografi (modeling arah aliran air di lahan gambut untuk membantu identifikasi lokasi sekat kanal) dan peta penutup lahan dari foto udara untuk melihat kondisi terkini gambut.

Hal itu bisa digunakan untuk panduan operasional dan implementasi fisik restorasi di lapangan.

Dengan peta skala besar 1:2.500, yang berarti tiap satu sentimeter sama dengan 25 meter di permukaan bumi, program restorasi bisa berjalan lebih efektif. 

Sebab, implementasi intervensi fisik, konstruksi pembangunan sekat kanal atau penimbunan kanal bisa dilakukan tanpa ragu-ragu.

Selama ini, dalam membuat peta kesatuan hidrologis gambut, sambung Myrna, BRG kesulitan pada penyediaan peta-peta awal yang harus dikumpulkan dan dikonsolidasikan. Selain itu, ada juga kesulitan dalam hal teknologi.

“Semakin akurat peta berarti membutuhkan teknologi yang semakin canggih dan itu membutuhkan biaya yang besar. Ada juga kendala teknis lain, seperti cuaca yang tidak bersahabat yang bisa mengurangi akurasi hasil,” ujarnya. (jos/jpnn)

BACA ARTIKEL LAINNYA... Land Swap Belum Jelas, Pengusaha Bersiap Impor


Redaktur & Reporter : Ragil

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler