Derita Pengungsi Syria

Tak Ada Lagi Tempat Aman, Semua Mengarah ke Kematian

Senin, 22 Januari 2018 – 08:46 WIB
Pengungsi Syria. Foto: AFP

jpnn.com - Bagi pengungsi Syria, tidak ada lagi tempat aman, apalagi nyaman, di kolong langit ini. Semua pilihan yang masih tersisa sampai sekarang hanya mengarah pada kematian. Entah itu di tanah kelahiran atau di negeri orang.

Usianya sudah hampir satu abad. Bersama putrinya yang berusia 63 tahun, Raya –demikian nenek 97 tahun itu menyebut namanya– meminta-minta.

BACA JUGA: Saudi Janjikan Bantuan Rp 26 T untuk Yaman

Ibu dan anak yang meninggalkan Syria sekitar lima tahun lalu itu tidak punya pilihan lain, kecuali mengemis. Lima tahun menjadi pengungsi di Lembah Bekaa, kawasan timur Lebanon, tidak membuat kehidupan Raya dan anaknya, Khaldia, membaik.

”Belakangan ini kami sudah jarang makan,” kata Khaldia kepada The Times pekan lalu. Lembah Bekaa yang diklaim sebagai tempat paling subur di Lebanon berubah menjadi dataran beku pada musim dingin kali ini.

BACA JUGA: Ayatollah: Saudi Mengkhianati Umat Islam

Praktis, tidak ada hasil tanah yang bisa dimakan. Karena itu, Raya yang sakit-sakitan dan Khaldia yang fisiknya kian lemah pun terpaksa mengemis demi menyambung hidup.

jpnn.com - Bagi pengungsi Syria, tidak ada lagi tempat aman, apalagi nyaman, di kolong langit ini. Semua pilihan yang masih tersisa sampai sekarang hanya mengarah pada kematian. Entah itu di tanah kelahiran atau di negeri orang.

BACA JUGA: Perang Amerika Serikat Vs Turki di Depan Mata

Sebenarnya PBB memberikan bantuan belanja bulanan sebesar 20 pound sterling atau setara Rp 369 ribu kepada tiap keluarga pengungsi.

Tapi, entah apa penyebabnya, Raya dan Khaldia yang dihitung satu keluarga tidak lagi menerima bantuan itu sejak Oktober lalu.

”Ini tiga bulan terburuk. Tak ada bantuan. Kami jadi punya banyak utang. Membayar sewa tenda yang kami tempati ini pun kami tak mampu,” ungkap Khaldia.

Tenda yang Khaldia maksud adalah bentangan terpal yang disangga dengan tiang kayu. ”Tenda ini bocor. Padahal, sekarang musim badai salju,” katanya.

Kondisi itu juga dialami para pengungsi Syria lain yang tinggal di Lembah Bekaa. Tak bisa makan dan punya banyak utang membuat para pengungsi frustrasi.

Karena itu, sebagian dari mereka pun berniat meninggalkan Lebanon dan mengadu nasib di negara lain.

”Saat ini ada sekitar 60 persen keluarga pengungsi Syria di tempat ini yang hidup dalam kemiskinan. Juga, 87 persen pengungsi terbelit utang yang tidak sedikit,” ungkap Jubir UNHCR Scott Craig.

Menurut dia, 2017 adalah tahun yang sangat sulit. Sebab, selain bantuan finansial hanya masuk separo, bantuan kemanusiaan tidak lagi mengalir ke Lembah Bekaa.

Para pengungsi itu menyusuri jalanan yang beku dan bukit-bukit bersalju untuk mencapai tempat tinggal baru. Tapi, mereka justru mati kaku.

Kemarin pemerintah Lebanon mengumumkan penemuan 15 mayat pengungsi yang membeku di perbatasannya dengan Syria.

”Pasukan Lebanon mengamankan enam pengungsi Syria. Tapi, salah satu di antaranya kemudian meninggal dunia di rumah sakit karena frostbite (radang dingin, Red),” kata seorang pejabat pemerintah Lebanon sebagaimana dilansir Associated Press.

Dia tidak bisa menjelaskan apakah para pengungsi itu hendak kembali ke Syria atau hanya melintasi perbatasan untuk menuju tempat lain.

Menurut CNN, 15 mayat itu ditemukan di kawasan Masnaa. Kota yang berjarak sekitar 60 kilometer dari Lembah Bekaa tersebut merupakan area perbatasan terluas antara Lebanon dan Syria. (hep/c11/dos)

BACA ARTIKEL LAINNYA... Keluarga Emir Qatar Mengaku Disekap Uni Emirat Arab


Redaktur & Reporter : Adil

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler