Ini kisah tentang sebuah keluarga pencari suaka yang nasibnya terkatung-katung di Australia.

Baca laporan interaktifnya di sini

BACA JUGA: Petinju Manny Pacquiao akan Mencalonkan Diri sebagai Presiden Filipina 2022

 

Priya Nadaraja sibuk memasak sejak beberapa hari menjelang ulang tahun ke-8 pernikahannya.

BACA JUGA: Dua Anggota Mujahidin Indonesia Timur Tewas Ditembak Pasukan Gabungan TNI-Polri

Hari ini dia menggoreng telur sembari menunggu kari yang mendidih. Aroma bumbu jinten, ketumbar dan cabe merebak di udara.

 

BACA JUGA: Demi Melawan China, Australia Tega Khianati Sekutunya

 

Putri bungsunya Tharnicaa berlarian di unit kecil di pinggiran Kota Perth, tempat tinggal mereka sekarang saat menjalani tahanan rumah.

Anak berusia empat tahun ini tampak kurus dan kecil. 

Setelah terjangkit penyakit pneumonia dan sepsis di tahanan imigrasi Christmas Island Detention Centre, Tharnicaa berada dalam perawatan dokter.

 

 

Menteri Imigrasi Alex Hawke memberikan visa sementara bagi orang tua dan kakaknya Kopika yang berusia enam tahun agar mereka bisa menemani Tharnicaa hingga sembuh. Visa sementara itu akan berakhir pada hari Rabu (22/9/2021).

Namun pekan lalu, Menteri Alex Hawke mengindikasikan untuk memperpanjangnya selama tiga bulan lagi, sehingga keluarga ini dapat menjalani episode terakhir dalam upaya hukum mereka untuk bisa tinggal di Australia.

Saat ini, Tharnicaa tampak sedang bersemangat. Saatnya bermain-main di rumah tanpa penjaga. Ini yang pertama bagi anak yang telah menghabiskan setiap ulang tahunnya dalam tahanan.

Saat makan malam, Priya mencoba terlihat ceria di depan kedua putrinya.

Dia dan suaminya Nadesalingam (Nades) Murugappen datang ke Australia dengan perahu masing-masing delapan dan sembilan tahun lalu. Keduanya melarikan diri pasca perang di Sri Lanka.

Mereka sadar bahwa mereka menjalani hidup berkejaran dengan waktu yang sementara. Dan Priya selalu didera kekhawatiran.

Mereka kini berada di kota besar yang tak mereka kenal. Kecuali terjadi perubahan segera, keluarga ini bisa dideportasi sebelum Natal.

Setelah itu, semuanya tinggal mimpi buruk.

"Pihak berwenang [Sri Lanka] sudah memiliki catatan tentang siapa saya," ujr Nades. "Tidak jelas apakah saya akan hidup, Priya akan hidup, dan anak-anak akan hidup."

Bagi Priya hanya ada satu solusi: "Kami harus pulang ke Biloela."

 

Keluarga ini sedikit merasakan kehidupan normal meski tak sepenuhnya merasa bebas.

Australian Story: Robert Koenig-Luck

 

Media setempat sering menyebut keluarga ini sebagai Murugappan, tapi lebih tepat menggunakan nama depan Nadesalingam sesuai dengan kebiasaan di Sri Lanka.

Sorotan media terhadap penderitaan keluarga Nadesalingam sangat intensif sejak Pasukan Perbatasan Australia (ABF) mendatangi rumah mereka di Biloela saat fajar tiga setengah tahun lalu.

Keluarga itu masih berada di tempat tidur. Tharnicaa baru berusia delapan bulan.

Priya sangat ketakutan.

“Tidak dibolehkan menggendong bayiku,” katanya kepada program Australian Story dari ABC. "Polisi dimana-mana, tapi saya tidak tahu mengapa mereka datang."

Pada saat warga di kota pedalaman Queensland itu bangun, keluarga yang sangat mereka cintai ini telah menghilang dari sana.

Sekelompok warga Biloela mulai menggalang duikungan, dan nasib keluarga Nadesalingam pun telah menjadi wajah publik dari sikap keras Australia terhadap manusia perahu.

"Semua orang yang saya ajak bicara, bahkan jika mereka belum pernah mendengar nama Priya dan Nades, umumnya tahu tentang keluarga Tamil dari Biloela,” kata ketua Dewan Pengungsi Tamil, Aran Mylvaganam.

"Mereka adalah keluarga pengungsi paling populer di Australia."

Selama bertahun-tahun, politisi — termasuk dari partai konservatif seperti Julie Bishop, Michael McCormack, Tony Abbott dan Barnaby Joyce — mendesak Menteri Imigrasi untuk menggunakan kewenangan menteri untuk mengembalikan keluarga ini ke Biloela, meskipun klaim suami istri ini untuk status pengungsi telah ditolak.

 

 

 

Menjelang Pemilu Federal tahun 2019, sejumlah surat elektronik berseliweran di lingkungan Departemen Dalam Negeri tentang berapa lama kedua anak itu telah dikurung dalam tahanan.

Sekjen Depdagri Mike Pezzullo menggambarkan kasus mereka sebagai kasus "terkemuka" dan "sangat bermasalah".

Kementerian Dalam Negeri akhirnya merekomendasikan Menteri Imigrasi saat itu, David Coleman, untuk menggunakan wewenangnya dan memberikan visa substantif kepada keluarga tersebut.

Tapi Menteri David tidak melakukannya.

Mantan Wakil Sekjen Departemen Imigrasi Abul Rizvi mengatakan kelambanan tindakan pemerintah sejak saat itu sungguh mencengangkan.

"Kasus ini benar-benar terbuka dan tertutup. Bearnya dukungan parlemen dan masyarakat untuk keluarga ini jauh melampaui kasus apa pun yang pernah saya lihat selama 30 tahun bekerja di Imigrasi,” ujarnya.

“Yang tidak lazim yaitu betapa dalamnya pemerintah berusaha mencari setiap celah kelemahan dari klaim keluarga ini," katanya.

Mantan Menteri Imigrasi Amanda Vanstone mengerti alasannya.

"Seorang Menteri harus melihat prinsip-prinsip secara menyeluruh,” katanya.

"Bagaimana kasus ini bila dibandingkan dengan kasus lain? Jika saya (Menteri) meloloskan keluarga ini, mengapa keluarga yang itu tidak, dan yang ini atau yang lainnya," kata Amanda.

 

Di Perth, Priya tahu betul begitu banyak hal yang patut disyukuri. Dia memilki seorang suami yang mencintainya. Terlepas dari segala tantangan, ikatan pernikahan mereka justru semakin kuat.

Meski sudah terbilang agak lambat baginya. 

Begitu masing-masing tiba di pantai Christmas Island pada tahun berbeda, Priya dan Nades sebenarnya sudah tak punya rencana mencari pasangan, apalagi membina rumah tangga.

Sebagai perempuan berusia 37, Priya sudah tergolong tua untuk ukuran Sri Lanka.  

Tapi mereka dijodohkan oleh warga komunitas Sri Lanka di Australia.

 

Saat Nades melihat foto Priya untuk pertama kalinya dan setelah ngobrol sebentar dengannya melalui telepon, dia pun mengisyaratkan ketertarikannya.  

“Saya berpikir inilah jodohku," ujar Nades.

Mereka bertemu di suatu pesta pernikahan di Sydney. Mereka langsung jatuh cinta satu sama lain.    

 

 

Namun tantangan demi tantangan mulai mendera pasangan ini.

Priya dan Nades sama-sama lahir dan besar di wilayah perang di Sri Lanka dan melarikan diri ke Australia dengan perahu.

Mereka tiba di sini di saat kedua pemerintah dan oposisi ingin memberantas penyelundupan manusia.

Tak lama setelah pernikahan mereka, Pemerintahan PM Tony Abbott memberlakukan UU yang melarang setiap orang yang masuk ke Australia dengan perahu untuk mendapatkan status penduduk tetap.

Sejak awal Priya sudah merasakan kekhawatiran suatu saat Nades akan dipulangkan paksa ke Sri Lanka. 

 

 

Sejak merdeka, Sri Lanka telah diperintah oleh suku Sinhala. Selama bertahun-tahun minoritas Tamil merasa diperlakukan sebagai warga negara kelas dua.

Perang saudara pecah pada tahun 1983 ketika kelompok militan yang dikenal sebagai Macan Tamil berusaha mendirikan negara terpisah di bagian utara dan timur Sri Lanka.

Perang berlangsung selama 26 tahun.

Nades dibesarkan di bagian pulau yang didominasi oleh kelompok Macan Tamil.

Saat usianya 16 tahun dan merayakan acara keagamaan di sebuah kuil, gerilyawan menculik dan mengancam akan membunuhnya jika dia tidak bergabung.

Nades mengaku tugasnya di kelompok Macam Tamil adalah membantu keluarga gerilyawan yang sudah menikah dan mengatur persediaan makanan untuk para pejuang. Itu merukan posisi kepemimpinan dalam tentara Macan Tamil.

Pada tahun 2004 gerakan itu terbelah menjadi dua faksi.

“Saat mereka saling membunuh, saya memutuskan pergi karena sudah tak aman lagi di Sri Lanka,” ujarnya.

 

Akhirnya dia melarikan diri ke Qatar dan bekerja di showroom mobil.

Nades menceritakan saat dia kembali untuk menikah, polisi dan tentara Sri Lanka mengejarnya, sehingga orang tua tunangannya langsung membatalkan pernikahan dengan alasan dia adalah orang buruan.

Nades pun meninggalkan negara itu sekali lagi. Ketika mencoba pulang, dia diancam oleh polisi.

Pada tahun 2011 perang secara resmi berakhir. Sekali lagi, Nades kembali.

"Sri Lanka tampak aman di permukaan," katanya. “Tapi saya diambil dan disiksa.”

Kali ini pihak berwenang memotret dan mengambil sidik jarinya dan mencangam jika dia mencoba pergi lagi, mereka akan menangkapnya di bandara.

Dia menyebut perhatian dinas rahasia Sri Lanka padanya meningkat ketika pihak berwenang khawatir Macan Tamil akan bersatu kembali.

Nades melarikan diri dengan perahu bersama dengan 99 orang lainnya.

Dia tiba di Pulau Christmas pada April 2012 dan mencari suaka.

Tapi masalahnya masih jauh dari selesai.

Sekarang, Macan Tamil dianggap secara internasional sebagai organisasi teroris.

Mencari suaka jadi lebih sulit bagi mantan anggota kelompok ini.

"Ketika Nades mengajukan klaimnya, dia tidak mengungkapkan seluruh ceritanya karena takut pada pihak berwenang, namun hal itu kemudian dijadikan alasan yang memberatkannya,” kata advokat pengungsi Tamil, Aran Mylvaganam.

Dalam menilai apakah klaim suaka valid, Departemen Dalam Negeri mempertimbangkan penilaian Departemen Luar Negeri (DFAT) tentang negara asal penggugat.

Saat ini DFAT mengatakan hanya orang Tamil yang memiliki peran penting dalam konflik di sana yang berisiko mengalami penganiayaan.

Sebuah putusan pengadilan Inggris awal tahun ini menemukan bahwa Pemerintah Sri Lanka adalah rezim otoriter yang tidak membedakan antara advokasi non-kekerasan Tamil dan tindakan kekerasan. Orang Tamil yang dikembalikan ke Sri Lanka dapat disiksa.

Hal ini sudah terlambat bagi Nades.

Lima bulan setelah dia tiba, aplikasi suaka yang diajukan oleh pria berusia 35 tahun itu ditolak.

 

Saat itu Nades sudah tinggal di Biloela di mana masyarakat sangat membutuhkan pekerja migran dan pengungsi.

“Nades melakukan pekerjaan yang jarang ada orang lain mau melakukannya, yaitu mengeluarkan karton dari lemari es,” kata Duncan Downie, mantan manajer Teys Meatworks tempat kerja Nades saat itu.

“Dia mungkin melakukannya lebih baik daripada orang lain sebelumnya atau setidaknya dia sangat baik dalam pekerjaan itu," jelasnya.

“Sikapnya selalu gembira, melakukan pekerjaannya, dan benar-benar tipe karyawan yang Anda ingin cari dan temukan.”

 

 

 

Simone Cameron mengajar bahasa Inggris di pabrik daging itu, tapi Nades kesulitan menemukan waktu untuk ikut kelas karena dia harus bekerja malam di supermarket lokal. Namun Simone terkesan dengan Nades.

"Dia orang yang sangat mudah tersenyum dengan pandangan mata yang lembut," katanya.

Ketika Priya tiba di Kepulauan Cocos dengan perahu pada April 2013, Nades telah ditolak permohonan suakanya.

Satu-satunya kesempatan baginya adalah berargumen bahwa prosedur peradilan tidak berlangsung adil. Selama keberatannya itu diproses di pengadilan, dia diizinkan tinggal untuk sementara.

 

Life was safe and simple in Biloela for Nades and Priya.

Australian Story: Marc Smith

 

Pengalaman Nades di Sri Lanka bukan hal mengejutkan bagi Priya yang juga dibesarkan dalam perang.

Dia mengatakan aparat pemerintah Sri Lanka telah membom rumahnya dan mencederai keluarganya. Setelah itu kakaknya terpaksa bergabung dengan Macan Tamil.

Pada tahun 2000, tentara Sri Lanka menangkap lima warga desanya termasuk tunangannya. Dia mengaku dipaksa untuk menonton saat mereka dibakar hidup-hidup.

“Sekarang bahkan jika saya berbicara tentang situasi itu, saya merasa kesal,” kata Priya. “Kami takut.”

Keluarganya melarikan diri ke India pada tahun 2001 dan tinggal di sebuah kamp pengungsi. Dia merasa tidak aman di sana dan takut dipulangkan ke Sri Lanka.

Pada tahun 2013 dia melarikan diri dengan perahu ke Australia dan setelah 10 bulan ditahan di Pulau Christmas, dia diizinkan tinggal di daratan sementara dia menunggu untuk mengajukan suaka.

Setelah menikah dengan Nades, Priya pindah ke Biloela dan bekerja sebagai voluntir.

Masyarakat setempat mendukungnya.

“Orang-orang di sini baik, mereka mau berbagi,” kata Priya. “Setiap kali saya keluar jalan-jalan, semua orang menyapa, apa kabar,” ujarnya.

Kemudian mimpinya menjadi kenyataan. Pada tahun 2015 anak pertamanya Kopika lahir.

Pasangan itu sangat bahagia. "Ini anugerah dari Tuhan," ucapnya.

 

 

Kecemasan Priya tentang apa yang akan terjadi pada mereka semakin meningkat. Dia masih belum diberi izin untuk mengajukan suaka.

Nades mendekati akhir masa bandingnya di pengadilan.

Setelah menyaksikan apa yang terjadi pada tunangannya sebelumnya, Priya sangat takut kehilangan suaminya. “Pasti jika dia dipulangkan ke Sri Lanka, Nades akan ditangkap, disiksa dan dibunuh,” katanya.

Pada akhir tahun 2016 Priya dapat mengajukan permohonan visa jenis Safe Haven Enterprise dan Kopika masuk dalam permohonan ini.

Pekerja sposial dari gereja Anglicare, Margot Plant, mencoba membantunya dalam urusan dokumen. “Sama seperti orang buta membantu orang buta,” katanya.

 

 

Tidak lama setelah itu, Departemen Imigrasi meminta bantuan Margot untuk menyampaikan kabar buruk kepada Nades bahwa waktunya telah habis.

"Wanita itu membacakan surat penolakan ini dan kita bisa melihat tubuhnya gemetaran," katanya.

“Pemerintah mengatakan bahwa Nades mungkin akan ditangkap sekembalinya ke Sri Lanka, namun hanya untuk waktu yang singkat," katanya.

Margot berusaha menenangkan Nades yang hanya bisa menangis.

“Bagaimana Priya bisa pergi dan tinggal di sana,” kata Nades. “Pada saat tiba saya akan ditangkap. Saya tidak tahu harus berbuat apa.”

Keluarga itu menerima pukulan lainya lagi. Permohonan Priya dan Kopika pun ditolak.

Satu bulan kemudian putri mereka Tharnicaa lahir.

 

 

Dari beberapa surat elektronik di Departemen Imigrasi diketahui bahwa sejak Oktober 2017 rencana rahasia sedang disusun untuk mendeportasi keluarga tersebut. Bridging visa Priya dan Kopika masih berlakunya lima bulan lagi.

"Keluarga ini Akhirnya Diputuskan dan kami sedang merencanakan pemulangan mereka dari Australia ke Sri Lanka," tulis seorang pejabat.

"Cukup baik bila bisa dipastiakn jangan ada yang diberikan kepada klien atau perwakilan mereka untuk sementara ini," tulis yang lain.

Tharnicaa baru berusia empat bulan dan belum bisa mengajukan suaka.

“Sangat tidak lazim jika bridging visa seseorang tiba masa kadaluwarsanya lantas pada hari berikutnya Anda langsung ditahan,” kata pengacara keluarga Carina Ford.

"Tapi hal itu terjadi dalam kasus ini," tambahnya.

 

 

Pada Maret 2018, pasukan ABF tiba di kediaman keluarga ini di Biloela.

Pasangan suami istri itu diberikan tempo 15 menit untuk mempersiapkan diri. Mereka tak dibolehkan mengganti baju. Juga tak boleh menggunakan toilet tanpa pengawasan petugas.

“Kami tak pernah menyangka," ujar Nades. "Kami tak melakukan kesalahan apa-apa."

Seorang tetangganya masih ingat mendengar teriakan dari Priya.

Namun kebanyakan penduduk Biloela masih tidur saat mereka dibawa ke Gladstone Airport. Dan selanjutnya diterbangkan ke tahanan imigrasi di Melbourne.

“Kami bukan penjahat," kata Nades lagi. "Tapi mereka selalu datang tiap setengah jam, bahkan saat kami tidur."

 

 

Saat kabar deportasi mereka menyebar, warga Biloela nyaris tak percaya.

"Saya sulit percaya hal ini dilakukan di Australia," ujar Bronwyn Dendle. "Semua orang yang tahu keluarga ini juga merasakan hal yang sama."

"Kami sadar harus berbuat untuk mengembalikan keluarga ini ke sini," kata Simone Cameron.

Dan mereka melakukan penggalangan dukungan.

Walikota setempat pun ikut ambil bagian. Sekelompok perempuan melancarkan petisi bernama #HomeToBilo, mendesak Menteri Imigrasi saat itu, Peter Dutton, untuk menggunakan kewenangannya memberikan visa ke keluarga ini.

"Kami mengajukan tuntutan itu berdasarkan pertimbangan sosial dan ekonomi, sebagai kota pedalaman yang membutuhkan pekerja, dan Nedas yang sudah bekerja di pabrik daging sangat dibutuhkan," ujar Angela Fredericks, seorang pekerja sosial.

“Pertimbangan-pertimbangan ini masih tetap berlaku sekarang, tiga tahun setelah mereka dijemput," jelasnya.

 

 

Anak-anak mereka kekurangan makanan segar dan sinar matahari, sehingga gigi Tharnicaa mulai rusak.

Priya mengatakan Kopika mencabuti rambutnya sendiri.

Sejumlah pejabat pemerintah menyurat ke Menteri Imigrasi untuk campur tangan. Bahkan Departemen Imigrasi telah merekomendasikan sang menteri agar menerbitkan visa.

Tapi Menteri ini tetap bergeming.

Setelah mengurung mereka selama satu setengah tahun, pihak ABF mendatangu keluarga itu sekali lagi.

“Mereka mendorong saya ke dalam kendaraan, membanting pintu, melukai kaki saya,” kata Priya.

 

Itu terjadi pada suatu sore di bulan Agustus 2019. Kali ini mereka dibawa ke Bandara Melbourne.

Priya mengirimkan video dari HP-nya langsung ke Simone Cameron saat petugas memaksanya naik ke pesawat, sampai lengannya lecet.

Kopika dan Tharnicaa tampak histeris.

“Saya hanya bisa memikirkan kehidupan anak-anak saya saat itu,” kata Nades. “Hidup kami sudah berakhir. Tapi siapa yang akan menjadi wali mereka? Bagaimana mereka akan dibesarkan?"

 

 

Saat itu sekelompok pendukung telah berkumpul di bandara.

“Kami mendengar bahwa penerbangan charter akan langsung menuju Sri Lanka,” kata Aran. “Jalan hukum menjadi satu-satunya harapan kami.”

Pengacara keluarga Carina Ford ada di rumahnya ketika menerima telepon permintaan bantuan malam itu. Dia langsung menelepon seorang pengacara.

“Menjadi jelas bagi kami bahwa anak bungsu tak pernah diperiksa klaimnya,” katanya.

“Butuh waktu sekitar tiga jam. Pada saat mereka tiba di Bandara Darwin, kami berhasil mendapatkan perintah pengadilan agar keluarga ini diturunkan dari pesawat.”

Pagi-pagi keesokan harinya keluarga itu diterbangkan ke Pulau Christmas. Mereka adalah satu-satunya keluarga yang tinggal sejak detensi imigrasi di sana ditutup.

 

 

Nades mencoba meyakinkan anak-anaknya bahwa semua ini akan berakhir.

“Mereka selalu bertanya-tanya, ayah, mengapa kita seperti ini, mengapa kita datang ke sini?" ujarnya.

“Saya jawab ini hanya sementara, nanti kita pulang ke Biloela. Saya akan membuat impian kalian jadi kenyataan," tambahnya.

Tapi mimpi itu tetap sulit diwujudkan.

Setelah ditahan 18 bulan, Tharnicaa mulai demam pada bulan Mei tahun ini. Menurut Priya bahkan untuk mendapatkan Panadol saja sangat susah di Christmas Island.

“Suhu tubuhnya tinggi selama tujuh hari. Dia muntah-muntah, sakit seluruh badan, sakit perut, lantas muntah-muntah,” kata Priya.

Pada hari ke-14 suhu Tharnicaa sudah mencapai 39,6. Dan terus meningkat.

“Ketika dia jatuh, saya sangat terpukul,” kata Nades. "Saya tidak tahu apa yang harus kulakukan. Priya bertanya, apakah kalian akan melakukan ini pada seorang anak Australia? Apakah kalian punya hati nurani?"

Hari berikutnya Tharnicaa dan ibunya diterbangkan ke Perth.

Untuk saat itu mereka aman dari deportasi.

 

Awal tahun ini Komisaris Tinggi PBB untuk Hak Asasi Manusia mengeluarkan laporan tentang kondisi yang memburuk bagi orang Tamil di Sri Lanka.

Pengacara HAM terkemuka Sri Lanka KS Ratnavel menangangi kasus orang Tamil yang pulang, seorang dari Australia.

Dia mengecam sikap Australia menerima jaminan Sri Lanka bahwa warga Tamil yang pulang akan aman-aman saja.

“Sri Lanka saat ini berada di bawah hukum darurat yang memberikan kewenangan lebih kepada aparat keamanan dan polisi. Itu meningkatkan risiko bagi orang Tamil yang mencari suaka di luar negeri,” jelasnya.

Pakar politik internasional Profesor Damien Kingsbury mengatakan pemulangan keluarga Nadesalingam ke Sri Lanka adalah tindakan yang tidak masuk akal.

“Mereka akan ditangkap ketika tiba  di sana dan hampir pasti akan dimasukkan ke kamp pendidikan ulang selama dua tahun,” katanya.

"Anak-anak mereka akan dimasukkan ke panti asuhan karena mereka tak bisa masuk ke kamp pendidikan. Pada dasarnya akan menghilang ke dalam sistem," jelasnya.

“Paling buruk yang mungkin kita lihat adalah kedua orang tua ini bukan hanya akan ditangkap, tapi juga akan hilang," kata Prof. Damien.

“Kasus mereka ini sangat terkenal, akan dianggap sangat buruk oleh pihak berwenang Sri Lanka. Jadi kita akan kehilangan orang tua dan anak-anaknya. Anak-anak yang lahir di Australia," katanya.

 

Masalahnya sekarang berada di tangan Menteri Imigrasi Alex Hawke, yang tak bersedia diwawancarai ABC dengan alasan proses hukum yang sedang berlangsung.

"Sudah jadi catatan publik bahwa banyak klaim visa perlindungan dari keluarga ini yang ditolak oleh Departemen Dalam Negeri, Pengadilan Banding Administratif, Pengadilan Sirkuit Federal, Pengadilan Federal, Pengadilan Federal Penuh dan Mahkamah Agung," katanya dalam sebuah pernyataan tertulis.

Pengacara keluarga mengatakan hal itu menyesatkan.

“Keliru untuk mengatakan bahwa pengadilan memeriksa klaim visa perlindungan. Toh tidak semua diperiksa,” kata Carina Ford.

“Tiga dari semua permohonan keluarga ini ditolak beberapa waktu lalu. Anak bungsu [Tharnicaa] tidak pernah ditolak permohonan visanya karena Menteri Imigrasi belum mengizinkan untuk mengajukannya," katanya.

 

 

Priya dan Nades memanfaatkan setiap kesempatan yang ada untuk membuka kembali album foto pernikahan mereka.

Namun perayaan kecil-kecilan ulangtahun pernikahan ini telah usai, kedua anak mereka pun sudah tidur.

Priya mengingat kembali banyaknya dukungan yang diterima keluarganya dari warga Australia yang mendoakan mereka agar bisa pulang ke rumahnya di pedalaman Queensland.  

“Mereka telah menerima saya dan anak-anak saya di hati mereka. Saya berterima kasih untuk itu selama hidup saya," ujarnya.

"Saya berharap mereka akan terus mendukung dan memulangkan kami ke Biloela," kata Priya lagi.

 

Saksikan tayangan program No Place Like Home pada jam 8:00pm AEST, di TV ABC, iview dan Youtube. Kredit

Reporter: ,  

Produksi Digital/Video:

Kamera: Marc Smith, Simon Winter

Fotografi: Australian Story: Robert Koenig-Luck, Marc Smith, Simon Winter, AFP,  Reuters, supplied: Nadesalingam family, supplied: Angela Fredericks

Penerjemah:

 

BACA ARTIKEL LAINNYA... Heboh Kapal Selam Nuklir Australia, Reaksi Prancis Lebih Keras dari Indonesia

Berita Terkait