Tak Berwenang Usung Presiden, Mengapa Pemerintah Ngotot Pertahankan PT?

Selasa, 11 Juli 2017 – 19:49 WIB
Ahmad Riza Patria. Foto: dok/JPNN.com

jpnn.com, JAKARTA - Lima isu krusial di Rancangan Undang-Undang Pemilihan Umum (RUU Pemilu) masih belum tuntas dibahas. Dari lima itu, isu presidential threshold (PT) yang paling alot. Pemerintah ngotot bertahan di angka 20-25 persen. Sedangkan ada fraksi di DPR yang ingin nol persen, dan jalan tengah 10-15 persen. Beberapa kali rapat Panitia Khusus (Pansus) RUU Pemilu dan pemerintah gagal mencapai kata sepakat.

Wakil Ketua Pansus RUU Pemilu Ahmad Riza Patria justru heran, kenapa pemerintah yang ngotot mempertahankan angka PT 20 persen. Padahal di konstitusi sudah diatur jelas siapa yang punya kewenangan mengajukan calon presiden dan wakil presiden.

BACA JUGA: Polemik Presidential Threshold, Tjahjo: Ini bukan Soal Diskon

“Yang punya kewenangan mengusung pasangan calon presiden dan wakil presiden adalah partai politik atau gabungan partai politik, bukan pemerintah. Sebagai eksekutif, pemerintah tidak punya hak dan kewenangan,” kata Riza dalam diskusi “Ending RUU Pemilu” di gedung DPR, Senayan, Jakarta, Selasa (11/7).

Dia mengatakan, pemerintah memang sebagai pembuat UU bersama dengan DPR. Sejak awal, Riza sudah mengapresiasi sikap pemerintah yang menyebut bahwa UU Pemilu ini domainnya DPR dan partai politik. Sehingga kewenangan ada di DPR untuk mengelola dan mengurusnya.

BACA JUGA: Duh, Penetapan UU Pemilu Tersandera Satu Isu Krusial

“Kami apresiasi betul itu, berilah keleluasaan kepada DPR dan partai politik. Pemerintah baiknya Tut Wuri Handayani,” kata anak buah Prabowo Subianto di Partai Gerindra itu.

Namun, Wakil Ketua Komisi II DPR ini menyesalkan karena dalam perjalanannya ternyata ada satu pasal yang stagnan. Pemerintah tidak mau menurunkan angka PT.

“Ini menjadi pertanyaan, kenapa tidak mau turun? Saya sudah sampaikan di awal, tidak ada kewenangan pemerintah mengusung pasangan calon. Yang berhak mengusung adalah partai politik,” katanya.

Terlebih lagi, sejumlah pakar, ahli hukum, termasuk tiga mantan hakim di Mahkamah Konstitusi menyatakan jika masih ada PT itu inkonstitusional.

BACA JUGA: CATAT! Mendagri Tak Akan Mengubah Sikap Tentang Presidential Threshold

“Masa pemilu 2019 menggunakan pemilu 2014 yang sudah terpakai untuk kepentingan 2019 dan parlemen yang duduk di 2019,” jelasnya.

“Bisa jadi ada partai baru, ada partai yang sekarang ini tidak duduk di parlemen berikutnya. Ini kan suatu kesalahan. Jadi ke depan ke belakang salah kalau menggunakan presidential threshold,” bebernya.

Dia yakin, ketika RUU ini nanti memutuskan masih menggunakan PT maka akan banyak yang siap melakukan uji materi di MK. Tinggal nanti dilihat di mana posisi MK.

“Kalau MK tidak mengabulkan gugatan, ini menjadi pertanyaan besar. MK ini milik siapa, jangan sampai kita lembaga-lembaga tinggi ini tidak independen lagi tidak netral lagi,” ujarnya.

Pengamat dari Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) Siti Zuhro mengatakan sebelum pemilu serentak 2019 akan dimulai, sudah mengingatkan bahwa penggunaan PT sudah tidak relevan lagi. “Karena apa, siapa yang tahu PT-nya,” kata dia di kesempatan itu.

Dia mengatakan, sebaiknya mulai mengunakan nalar-nalar sehat untuk berdemokrasi. Tentunya dengan nalar-nalar yang sehat itu diharapkan calon-calon yang muncul juga orang-orang pilihan.

“Bukan lagi memaksakan kehendak,” katanya.

Dia berharap tidak terjadi deadlock pembahasan RUU Pemilu antara pemerintah dan DPR.(boy/jpnn)

BACA ARTIKEL LAINNYA... GMNI: Negara Dalam Krisis Representasi


Redaktur & Reporter : Boy

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler