Tak Diawasi, Malah jadi Alat Intimidasi Petugas

Rabu, 11 November 2009 – 04:05 WIB
AHLI - Reza Indragiri Amriel MCrim (Forpsych), Ketua Jurusan Psikologi Universitas Bina Nusantara dan pengajar PTIK yang menekuni ilmu psikologi forensik termasuk pemeriksa kebohongan. Foto: Ridlwan/Jawa Pos.
Lie detector (alat pendeteksi kebohongan) sempat disinggung Kapolri Jenderal Pol Bambang Hendarso Danuri di depan Komisi III DPR ketika menjelaskan dugaan kasus suap ke pimpinan KPKBenarkah alat tersebut tak sepenuhnya akurat? Simak penjelasan Reza Indragiri, dosen yang belajar khusus alat itu hingga ke Australia.

Laporan RIDLWAN HABIB, Jakarta

SEORANG
pria berkacamata berjalan santai di ruang admisi Universitas Bina Nusantara (Binus), Jakarta

BACA JUGA: Pagi Buyung Yoga, Anis Sempatkan Bertemu Anak

Dia disambut dua gadis belia berambut panjang
"Halo, Mas," sapa dua gadis itu dengan akrab

BACA JUGA: Dokter Jangan Hanya Menunggu Orang Sakit di Poliklinik

Yang disapa membalas dengan senyum ramah.

Pria ramah yang disapa itu adalah Reza Indragiri Amriel MCrim (Forpsych), dosen di kampus itu sekaligus Ketua Jurusan Psikologi Universitas Binus
Dua gadis yang menyapa tersebut adalah mahasiswinya.

"Saya memang kurang suka dipanggil Pak

BACA JUGA: Dibalik Najwa Shihab Taklukkan Ary Muladi

Di PTIK (Perguruan Tinggi Ilmu Kepolisian), mahasiswa saya juga panggil saya Mas," kata Reza kepada media grup JPNN, yang menunggu di deretan sofa kantor sejuk itu.

Selain di Kampus Binus, Reza juga mengajar di PTIK"Saya diminta membantu di PTIK sejak Pak Farouk Muhammad (mantan Gubernur PTIK)," jelasnya.

Reza adalah Master Psikologi Forensik pertama dan satu-satunya di IndonesiaGelar MCrim (Forpsych) di belakang nama pria kelahiran Desember 1974 tersebut diperoleh dari University of Melbourne, Australia"Untuk spesialisasi ini, setahu saya di Indonesia memang belum ada temannyaSaya sedang berencana ambil doktor di bidang yang sama," ujarnya.

Psikologi forensik merupakan cabang ilmu psikologi yang membicarakan tentang korban dan aktor kejahatan untuk kepentingan criminal justice system (penegakan hukum)Salah satu keahliannya adalah mendeteksi sifat, perilaku, serta kepribadian penjahat"Termasuk, belajar seluk-beluk lie detector (alat pendeteksi kebohongan)Saya belajar itu sejak 2002 di Australia," ungkapnya.

Menurut Reza, perangkat lie detector disebut polygraph dan bekerja seperti mesin pencatat data"Di negara-negara maju, mesin dan ilmu itu sudah dibisniskan, terutama di perusahaan-perusahaan besar," katanya.

Namun, alat tersebut tidak berarti bisa mendeteksi sepenuhnya seseorang apakah dia menipu atau berkata jujur"Orang sering salah tafsirSebenarnya, yang dideteksi itu adalah perubahan fisiologis tubuh yang dalam derajat tertentu diartikan sebagai indikasi kebohongan," jelasnya.

Alumnus Psikologi UGM itu menjelaskan, sebelum dites kebohongan, seseorang akan menjalani pengecekan detak jantung, tekanan darah, laju pernapasan dan aktivitas elektro-dermal dalam tingkat normalSetidaknya, ada tiga sensor yang akan dipasang pada seseorang yang diperiksaPertama berupa sensor respiratory rate atau pneumographs"Seperti tabung karet yang berisi udara dipasang di area perut dan dada kiri tempat jantung," jelasnya.

Ketika dada atau otot-otot perut mengembang, udara di dalam tabung dipindahkan dalam bentuk grafik pada layarTanda itu akan bergulir jika subjek mengambil napasLalu, sensor tekanan darah yang dipasang di sekitar nadi lengan, fungsinya untuk mengukur tekanan darah.

Alat lain disebut galvanic skin resistance (GSR)Alat itu juga disebut pencatat aktivitas elektro-dermal yang mengukur dari keringat di ujung jariDipasang di ujung jari karena merupakan daerah yang paling berpori pada tubuh"Ada juga alat yang mengukur suhu tubuh," ujarnya.

Berdasar informasi yang dimiliki Reza, Mabes Polri menggunakan alat buatan Amerika Serikat"Untuk teknik pemeriksaannya, mereka mengambil dari Australia," ucap mantan diplomat Deplu yang memilih resign (mundur) untuk menekuni ilmu psikologi forensik itu.

Dia pun menjelaskan, di awal pemeriksaan, petugas akan memberi pertanyaan-pertanyaan mudah, sederhana dan jawabannya pasti"Itu disebut control questionMisalnya, namanya siapa, ini warna apa, atau ini handphone atau bukan," jelasnya sambil mengambil ponsel pewawancara.

Pertanyaan itu diberikan agar petugas mendapat data awal sebagai pembandingSaat menjawab, alat-alat yang dipasang di seluruh tubuh akan merekam dalam bentuk grafik di komputer.

Setelah data-data itu dianggap cukup, baru masuk ke substansi pemeriksaan"Dalam kasus Ary Muladi, misalnya, ditanya apa benar menyuap, bertemu di mana, dan seterusnya," ungkap Reza mencontohkan.

Nah, hasil keduanya dibandingkan"Kalau petugas menemukan perbedaan, seolah-olah disimpulkan bahwa subjek berbohong," kata ayah dari Menza Fadiyan Amriel (6) dan Devinza Amriely (5) tersebut.

Bagaimana jika hasilnya sama? Menurut Reza, petugas lantas bisa masuk ke fase ketiga"Ini disebut post testSayangnya, karena tidak ada pengawasan, tes ini bisa dijadikan ajang intimidasi petugas kepada subjek," tegasnya.

Dia mencontohkan, petugas bisa saja menyodorkan data palsu agar subjek gugup"Misalnya bilang ke subjek, lihat suhumu naik, tekanan darah meninggi, kamu berkeringatJadi, kamu bohong ya? Karena tekanan itu, subjek menjadi cemas, tegang, bingungUjung-ujungnya, data berubah," ujarnya.

Karena itu, di negara-negara maju, sebagian aktivis psikologi forensik justru mendirikan komunitas anti-polygraph"Di Amerika misalnya, mereka mengkritik soal interogasi terhadap tersangka terorisme yang dipaksakan tanpa pengawasan," ungkapnya.

Penggunaan polygraph juga sangat bergantung pada subjektivitas pemeriksa"Apalagi jika subjek yang diperiksa berada dalam ancamanMisalnya, ruangan yang tidak nyaman atau pemeriksaan malam hingga dini hariAkibatnya, tubuh lelah, otomatis data fisiologis juga berubahMau jujur pun, kondisi tubuhnya berubah," tuturnya.

Tingkat kesalahan mesin itu, kata Reza, dibagi dua jenisYang pertama adalah false negatifYakni, orang yang tidak bersalah diperiksa polygraph, dia gagal atau divonis bohongKedua, false positifYakni, orang yang bersalah diperiksa polygraph, dia berhasil mengelabui atau divonis jujur.

"Tingkat false negatif 40-50 persen, sedangkan false positif 10-20 persenItu berarti lebih banyak orang jujur yang divonis bohong oleh mesin itu," tegasnya.

Apakah tes tersebut bisa dikelabui? Menurut Reza, kemungkinannya sangat besar"Pada 1970-an, CIA pernah dilanda skandal agen gandaBertahun-tahun diperiksa dengan lie detector, lolos terusBaru pada awal 1980 tertangkap tangan bahwa Amesh, agen itu, adalah double agent Soviet," jelasnya.

Orang yang cerdas dengan emosi stabil juga mudah lolos lie detectorDemikian pula orang dengan kondisi anhedonia"Orang anhedonia adalah kondisi perasaan yang tumpul atau tidak bisa merasakan perubahan emosiKalau tipe itu diperiksa dengan lie detector, pasti lolos," katanya.

Sebaliknya, orang yang impulsif juga bisa mengelabui hasil"Tipe impulsif sangat reaksionalPerubahan emosinya tinggiJadi, ditanya sesuatu yang ringan saja, emosi mudah munculAkibatnya, grafik pencatat naik turun dengan ekstrem," ucapnya.

Orang yang sering diperiksa dan berkali-kali dicek dengan lie detector juga akan mengalami desensitisasi"Tidak lagi responsif pada alatHasilnya datar," tuturnya.

Teroris juga disebutnya ahli mengelabui lie detector"Mereka dilatih untuk ituMisalnya, sengaja memunculkan rasa sakit dengan menggigit lidahAkibatnya, ada perubahan grafik yang tercatat, pemeriksa akan terkecoh," katanya.

Reza menambahkan, tidak ada seorang pun yang bisa 100 persen memastikan kejujuran maupun kebohongan orang lainBerdasar referensi ahli psikologi forensik Aamodt dan Mitchell (2004), katanya pula, sesama penjahat memiliki akurasi paling tinggi (65,40 persen), disusul agen rahasia (64,12 persen), psikolog (61,56 persen), lalu hakim (59,01 persen) dan polisi (55,06 persen).

"Karena itu, misalnya dalam interogasi kasus terorisme, polisi terkesan lebih hebat karena punya Nasir Abbas yang mantan teroris dan bekerja untuk Densus," ungkapnya.

Sebenarnya, ada cara lebih sederhana tapi jitu mendeteksi kebohongan"Yakni, dengan memandang pupil mata orang yang sedang diperiksa," tegasnya.

Pupil mata yang membesar diyakini sebagai pertanda adanya proses kerja kognitif yang lebih keras di otak"Jika pupilnya membesar, berarti ada proses berpikir pada otak yang akan disampaikan oleh lisan," jelasnyaIstilahnya, membangun skema kognitif merekayasa di otak"Pupil mata susah berdusta," tegasnya.

Reza menolak mengomentari saat wartawan bercerita soal pupil mata Komjen Susno Duadji yang terlihat membesar saat membaca sumpahnya di depan Komisi III DPR"Begitu ya? Wah, saya malah tidak lihat close-up-nyaYang jelas, ini ilmiah," katanya.

Orang yang menutupi sesuatu, kata Reza, juga akan membangun "tembok" di wajahnya saat bicara"Misalnya, mengusap hidung, menggosok-gosok dahi, mengelus-elus dagu," ucapnya.

Jadi, siapa yang paling bisa mendeteksi kebohongan? Dengan tegas Reza menyebut: ibu! "Siapa yang berani bohong pada ibu sendiri? Bahkan, pembunuh sekaliber Syam Ahmad Sanusi (desertir marinir pembunuh bos PT Asaba yang ditembak Pomal pada Agustus 2007, Red) sebelum mati dalam pengepungan masih meminta maaf kepada ibunya," ungkapnya(*)

BACA ARTIKEL LAINNYA... Desersi karena Tentara Sekutu Besar dan Sangar


Redaktur : Tim Redaksi

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler