jpnn.com - JAKARTA - Bursa calon pendamping Joko Widodo alias Jokowi untuk RI-2 makin menarik diperdebatkan. Berbagai tokoh nasional mulai mengemuka, baik dari kalangan sipil maupun milter. Salah satunya Jenderal TNI (Purn) Ryamizard Ryacudu.
Menurut peneliti senior Indonesian Public Institute (IPC) Karyono Wibowo, munculnya sosok militer untuk mendampingi Jokowi bisa dimungkinkan sebagai pelengkap, terutama untuk menghadapi pasangan capres lainnya yang juga berlatarbelakang militer.
BACA JUGA: Massa Golkar Paling Banyak Langgar Lalu Lintas
"Soal isu sipil-militer atau Jawa-luar Jawa dalam formasi pasangan capres itu adalah paradigma lama yang kerap muncul setiap menjelang pilpres. Dan itu sah-sah saja terutama guna mendapat dukungan yang lebih kuat," kata Karyono, kepada Indopos di Jakarta, Jumat (21/3).
Namun, keberhasilan formasi itu mulai terbantahkan pada saat Pemilu 2009 dimana pasangan SBY-Boediono yang sama-sama berasal dari Jawa memenangkan pilpres. Atas dasar itu, ucap Karyono, formasi pasangan capres-cawapres bukan satu-satunya faktor kemenangan.
BACA JUGA: Kedepankan Kampanye Cerdas, PDIP Target 6 Kursi DPR di Bali
“Artinya, saya ingin mengatakan formasi sipil militer atau Jawa luar Jawa tidak selalu linier dengan kemenangan pasangan capres. Sehingga bisa berpotensi menang tapi bisa berpotensi kalah, tergantung variabel yang lain yang mempengaruhi kemenangan," terangnya.
Begitupula dengan munculnya nama mantan wakil presiden Jusuf Kalla, yang tak lain adalah non Jawa, Karyono menegaskan hal itu juga sulit bisa dikatakan sebagai formasi yang dipastikan akan terbentuk di Pilpres 2014.
BACA JUGA: Demokrat: Rakyat Butuh Pembangunan Nyata, Bukan Wacana
“Soal Ryamizard, atau semua nama-nama yang muncul menjadi nominasi cawapresnya Jokowi, menurut saya, semuanya masih spekulatif,” tuturnya.
Hal itu, lanjut Karyono, keputusan pasangan Jokowi diyakini tetap berada di tangan Ketua Umum PDIP Megawati. Terlebih lagi, pasca keputusan Mahkamah Konstitusi yang menolak pengajuan gugatan syarat ambang batas calon presiden atau presidential threshold (preshold), PDIP dinilai harus memperhatikan koalisi.
"Hasil suara pileg akan menjadi pertimbangan untuk menentukan cawapres. Apakah PDIP akan memperoleh suara melebihi ambang batas preshold kurang dari 25 persen suara nasional atau 20 persen kursi di DPR. Hal itu akan menentukan formasi pasangannya Jokowi," tandasnya.
Sebelumnya, pengamat komunikasi politik Universitas Tarumanegara Eko Hary Susanto menerangkan, Jokowi tetap harus memilih calon pendampingnya yang kredibel, meski Gubernur DKI Jakarta itu diyakini akan mulus menggantikan SBY untuk periode berikutnya.
"Pendamping Jokowi tetap harus memiliki keteladanan dan integritas. Dan bukan orang sembarangan," ucapnya. (dil)
BACA ARTIKEL LAINNYA... Dukung Pencalonan Abraham Samad di Pilpres
Redaktur : Tim Redaksi