jpnn.com, SURABAYA - Gara-gara tak betah dengan suara tangisan anak, Sobirin tega menampar WO, istrinya. Perempuan 29 tahun itu tidak terima dan melapor ke Polrestabes Surabaya.
Kasus tersebut kini ditangani Unit Perlindungan Perempuan dan Anak (PPA) Satreskrim Polrestabes Surabaya.
BACA JUGA: Sadis ! Suami Hajar Istri Hingga Babak Belur Karena Ditegur Sibuk Main HP
Kasus kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) tersebut berawal dari adu mulut biasa yang berujung pada kekerasan fisik.
BACA JUGA : Keluh Kesah Suami Punya Istri Sibuk Pamer Bodi Aduhai di Medsos
BACA JUGA: Istri Menolak Diajak Begituan, Suami Berubah jadi Kejam
Saat itu, Sobirin kesal lantaran mendengar anak kandungnya menangis tanpa henti.
"Sebetulnya wajar. Namanya anak kecil sakit ya pasti rewel," ujar Kepala Unit PPA AKP Ruth Yeni.
BACA JUGA: Suami Ngebet Begituan, Istri Beralasan Anak Belum Tidur, Mengerikan
WO berusaha menenangkan anak bungsunya yang masih berusia 1,5 tahun itu. Namun, tangis si buah hati tidak kunjung reda. Hingga akhirnya, Sobirin beranjak dari tidurnya.
Pria 33 tahun itu langsung mendatangi WO yang sedang menggendong anaknya di ruang tamu.
Dengan nada tinggi, Sobirin melontarkan sumpah serapah. Menurut Ruth, kata-kata kotor keluar dari mulut pria yang tinggal di kawasan Surabaya Selatan itu.
BACA JUGA : Sadis ! Suami Hajar Istri Hingga Babak Belur Karena Ditegur Sibuk Main HP
Karena merasa sama-sama capek, WO akhirnya membalas makian suaminya. Hal tersebut justru memperkeruh keadaan. Bukan malah berhenti, amarah Sobirin justru menjadi-jadi.
Sobirin memegang pipi istrinya dengan tangan kiri. Lalu, tangan kanannya melayang ke arah wajah WO.
WO tidak membalas. Baik dengan tamparan maupun makian. Dia hanya menangis dan berlari ke rumah orang tuanya yang berjarak sekitar 500 meter dari rumahnya.
"Bapaknya tidak terima, lalu ke sini (Unit PPA) Rabu kemarin (29/5)," kata Ruth.
Ruth menyebut kasus KDRT memang banyak menimpa istri. Dalam lima bulan terakhir, ada 35 laporan yang masuk. Sebanyak 20 orang melaporkan adanya kekerasan fisik.
Sisanya, 15 orang, melapor karena merasa mendapat kekerasan psikis. "Dari semua itu, ada enam yang dicabut karena berujung perdamaian," paparnya.
Mantan perwira Unit Reskrim Polsek Wonokromo itu menyatakan, penyidik tidak bisa melakukan intervensi secara berlebihan.
Namun, saran dan masukan tetap diberikan. Semua diarahkan agar berdamai. Sebab, kata Ruth, kasus KDRT selalu berujung perceraian.
Meski demikian, Ruth mengaku tidak semua pelapor maupun terlapor mau menerima saran dari penyidik. Karena itu, tidak ada alasan untuk menghentikan perkara. Yang tidak mau diajak damai diproses sampai tuntas.
"Dan mereka tidak hanya berakhir di pengadilan negeri. Hampir semuanya juga berakhir di pengadilan agama (cerai, Red)," jelasnya.
Menurut Ruth, hal tersebut sejatinya sangat disayangkan. Sebab, kasus yang ditangani rata-rata berawal dari hal sepele. Bukan karena masalah prinsip. Yang jadi korban bukan hanya pihak istri.
"Anak mereka juga jadi korban. Kalau istrinya tidak atau belum bekerja, bagaimana kelanjutan hidup mereka? Itu yang perlu dipikirkan lebih jauh," tuturnya.
Karena itu, Ruth meminta agar korban maupun pelapor berpikir jauh ke depan sebelum membawa perkara rumah tangga ke ranah hukum. Sebab, polisi tidak bisa serta-merta menghentikan proses penyidikan yang berjalan.
"Karena laporan yang masuk harus ditindaklanjuti sampai selesai. Kecuali, laporannya dicabut," ungkapnya. (adi/c6/eko/jpnn)
BACA ARTIKEL LAINNYA... Pengin Begituan Tetapi Ditolak Istri, Suami Pilih Main Tangan
Redaktur & Reporter : Natalia