jpnn.com - JAKARTA - Terdakwa perkara korupsi proyek pengadaan dan pemasangan Pembangkit Listrik Tenaga Surya (PLTS) di Kemenakertrans tahun 2008, Neneng Sri Wahyuni mengajukan kasasi ke Mahkamah Agung. Ini menyusul putusan vonis tambahan dari Pengadilan Tinggi DKI Jakarta yang mewajibkan Neneng membayar uang pengganti dari Rp800 juta menjadi Rp2,6 miliar.
Menurut kuasa hukum Neneng, Elza Syarief vonis PN dan PT, tidak adil dan tidak manusiawi. Ia menegaskan bahwa putusan banding tersebut bertolak belakang dengan proses pembuktian yang telah bergulir dalam persidangan. Dalam pembuktian, kata Elza, sama sekali tidak ada bukti uang yang masuk ke dalam rekening Neneng Sri Wahyuni. Begitu juga penyerahan dana dari panitia proyek.
BACA JUGA: Besok, BK Periksa Priyo Budi Santoso
"Neneng dalam persidangan satu sen pun tidak bisa dibuktikan. Kemudian, semua saksi-saksi dan calo-calo tidak ada yang kenal Neneng, begitu juga sebaliknya. Itu suatu kezoliman dan kita nyatakan kasasi," ujar Elza saat dihubungi wartawan, Selasa, (17/9).
Elza juga membandingkan vonis kasus Neneng dengan vonis yang diterima terpidana korupsi Kemendiknas Angelina Sondakh. Kasus Angelina yang merugikan negara Rp 35 miliar
hanya divonis empat setengah tahun, lebih rendah dari tuntutan Jaksa KPK sebesar 12 tahun penjara.
BACA JUGA: Rapimnas Golkar Tidak akan Evaluasi Pencapresan Ical
"Ini benar-benar putusan tidak adil. Neneng kerugian negara kan cuma kalau enggak salah 2,8 miliar ya dan engga ada uang masuk ke Neneng. Kok bisa dihukum begitu berat. Jadi benar-benar tidak adil-lah," tegas Elza.
Sementara itu, saat dihubungi terpisah, Juru bicara KPK, Johan Budi mengaku belum tahu isi putusan PT DKI terkait vonis tambahan untuk Neneng tersebut. Ia menyatakan bahwa langkah pertama yang akan dilakukan pihaknya yakni mempelajari terlebih dahulu isi putusan banding tersebut.
BACA JUGA: Pengadilan Tinggi DKI Perberat Hukuman Istri Nazaruddin
"Kita punya waktu 7 hari untuk menentukan sikap," tutur Johan.(flo/jpnn)
BACA ARTIKEL LAINNYA... Revisi UU LPSK Harus di Komisi Hukum
Redaktur : Tim Redaksi