jpnn.com - JAKARTA -- Karyawan PT Freeport Indonesia yang tergabung dalam Papua Brotherhood, menolak pemberlakuan Undang-undang Nomor 4 tahun 2009 yang terkait larangan ekspor mineral mentah dan kewajiban perusahaan tambang membangun smelter pada Januari 2014 mendatang.
Papua Brotherhood sudah menyampaikan aspirasinya kepada pemerintah daerah, DPR hingga Kementerian ESDM agar pemberlakuan UU itu dibatalkan. Namun, belum menunjukkan hasil.
BACA JUGA: Sering Ditagih, Utang Pemprov Riau Belum Juga Dibayar
Hal ini memicu keresahan pekerja dan masyarakat. Sebab, puluhan ribu pekerja PT Freeport yang notabene masyarakat Papua terancam dipecat.
Wakil Ketua Papua Brotherhood Simon Morin menjelaskan akibat larangan ekspor mineral mentah itu PT Freeport harus menurunkan produksi 65 persen.
BACA JUGA: Perlindungan TKI Belum Diprioritaskan
"Dampaknya perusahaan mau tidak mau akan melakukan PHK. Kalau kebijakan diterapkan karena aturan membatasi, maka produksi akan turun. Akibatnya 50 persen atau 50 ribu karyawan akan diberhentikan," kata Simon dalam konfrensi pers di Jakarta, Jumat (20/12).
Dia berharap pemerintah dan DPR tidak membiarkan WNI yang bekerja di Freeport kehilangan pekerjaan akibat kebijakan itu. "Kami berharap kalau sudah banyak WNI di luar negeri di-PHK, jangan sampai lagi ada WNI di Papua yang di-PHK," imbuhnya.
BACA JUGA: Merasa Dikerjai, Akan Laporkan Ketua PTUN Bandung ke MA
Dia meminta pemerintah dengan hati nurani mempertimbangkan lagi kebijakan tersebut. "Kami bukan Amerika Serikat. Kami ini WNI. Kami yakin pemerintah akan punya hati untuk mempertimbangkan hal ini," kata dia.
Ia mengaku sangat menghargai kebijakan pemerintah yang bertujuan memperkuat industri dalam negeri. Tapi, Simon berharap kebijakan itu tidak membuat masyarakat kehilangan pekerjaan dan menjadi miskin.
"Kami tidak membela perusahaan. Kami membawa misi kami. Kami akan kembali miskin kalau kebijakan itu diterapkan," ujarnya.
Sekretaris Papua Brotherhood Elimus Ubruangge mengatakan karyawan sebagai WNI mendukung setiap UU yang dibuat. Namun, ia prihatin jika UU Minerba itu diberlakukan. Sebab, akan berdampak luas bagi karyawan, kontraktor, masyarakat lokal, pemda maupun pemerintah Indonesia.
"Jika benar-benar 12 Januari 2014 diberlakukan, itu akan merugikan kami semua. Bukan saja karyawan tapi anak, istri, keluarga hidup bergantung dari pekerjaan ini," ujarnya di kesempatan sama.
Ia mengatakan, jika pemerintah punya hati, mohon pikirkan dan pertimbangkan agar diberi waktu ke depan supaya perusahaan dan pemerintah sepakat membangun smelter di Papua.
"Kami mengetuk hati pemerintah mohon dipetimbangkan. Masyarakat akan miskin karena ketergantungan di perusahaan. Kemiskinan di sana akan luar biasa. Jadi, efek ini mohon dipikirkan sebelum diberlakukan (UU Minerba)," ujarnya.
Ketua Papua Brotherhood Silas Naikime meminta Presiden SBY, menteri kabinet, supaya mendengar dan menerima permohonan karyawan. Sebab, kebijakan itu memberikan dampak bagi seluruh orang Papua khususnya dan juga Indonesia umumnya.
"Saya sebagai tokoh Papua, jika UU diterapkan atau mau dijalankan secara umum kami nyatakan menolak. Kami minta perusahaan tetap jalan dan ekspor impor tetap jalan tanpa ada halangan. Atas nama rakyat kami sampaikan sikap kami hari ini," ujarnya.
Dia pun berharap Papua Brotherhood bisa bertemu Presiden SBY, Menteri Kabinet, untuk berdialog mencari solusi atas permasalahan ini. "Pada 5 Januari 2013, kami akan kembali lagi supaya bisa bertemu agar pada tanggal 12 Januari 2014 ekspor impor tetap berjalan," katanya. (boy/jpnn)
BACA ARTIKEL LAINNYA... Freeport Didesak Bangun Smelter di Papua
Redaktur : Tim Redaksi