Warga Myanmar di Australia mendesak pemerintah di sini untuk memperpanjang visa mereka akibat adanya kekacauan pasca kudeta di Myanmar. (Kiriman: Julian Meehan)
Mahasiswi asal Myanmar ini selalu gemetar saat berbicara tentang apa yang terjadi di tanah airnya. Ia mengaku akan ditangkap bila harus kembali ke sana.
Para aktivis memperkirakan lebih dari 700 orang termasuk anak berusia lima tahun telah tewas sejak militer merebut kekuasaan dalam kudeta 1 Februari, menggulingkan Aung San Suu Kyi.
BACA JUGA: LaNyalla Berharap Pertemuan Pemimpin ASEAN Selesaikan Krisis di Myanmar
"Kadang-kadang mereka (aparat militer) membunuh di malam hari. Tidak pandang umur," ujar Naw Naw, bukan nama sebenarnya, kepada ABC.
Untuk saat ini, Naw Naw hidup aman di Melbourne. Ia sedang menjalani kuliah bidang pendidikan bagi anak usia dini.
BACA JUGA: 32 WNA India Akhirnya Dipulangkan, Begini Alasannya
Namun masa studinya di Australia akan segera habis. Visa pelajar yang dia miliki habis masa berlakunya bulan depan.
Sebagai warga etnis Kachin yang blak-blakan menentang kekejaman yang terjadi, dia mengaku takut jika dipaksa kembali ke Myanmar.
BACA JUGA: 32 WN India Dipulangkan ke Negaranya
"Saya juga akan ditangkap jika saya harus pulang sekarang," katanya kepada ABC.
Menurut Naw Naw, bila ditahan, kemungkinan besar dia tidak akan keluar hidup-hidup.
"Semua orang di sini takut untuk pulang saat ini. Saya sangat mengkhawatirkan para mahasiswa," ujarnya.
Mary Aung, juga seorang mahasiswa internasional, menyuarakan ketakutan mereka dalam pertemuan publik untuk mendengarkan situasi di Myanmar. Pertemuan ini diadakan oleh komite Urusan Luar Negeri, Pertahanan dan Perdagangan pada hari Selasa (13/04).
"Bahayanya sangat besar jika saya kembali ke Myanmar. Saya bisa ditangkap begitu tiba di sana," katanya.
Lebih dari 3.500 warga Myanmar merupakan pemegang visa sementara di Australia, setengahnya adalah mahasiswa.
Bulan lalu, media The Australian melaporkan bahwa pemerintah akan memperpanjang visa mereka atas pertimbangan kemanusiaan.
Menurut laporan itu, Departemen Dalam Negeri dan Departemen Luar Negeri (DFAT) sedang menyusun kebijakan yang akan diumumkan "Dalam beberapa hari ke depan" - namun hingga saat ini belum dilakukan.
Data pemerintah menunjukkan bahwa pada bulan Maret, 45 warga Myanmar telah mengajukan permohonan visa perlindungan kepada pemerintah Australia. Ada 13 permohonan serupa pada bulan Februari.
Sejumlah warga Myanmar meminta pemerintah Australia untuk mengikuti langkah Bob Hawke, yang menawarkan suaka kepada mahasiswa Tiongkok di Australia setelah pembantaian Lapangan Tiananmen pada tahun 1989.
Langkah seperti itu yang ingin dilihat Naw Naw.
"Saya sangat berharap agar pemerintah Australia mengambil tindakan tegas dan cepat," katanya. Lamban dan tak efektif
Sejumlah warga Myanmar mengkritik sikap Australia yang "lamban dan tidak efektif" terhadap kudeta tersebut.
Anggota DPR dari Partai Buruh Julian Hill mengatakan mereka seharusnya mendapatkan perhatian yang lebih baik.
"Kita sekarang berada di pertengahan April, dan hal terbaik yang kita dapatkan (dari pemerintah), hanyalah bahwa sesuatu mungkin terjadi dan itu bukan urusan saya," katanya.
"Kedengarannya agak rumit. Jadi saya berharap segera diambil beberapa tindakan sehingga tidak ada halangan lagi," katanya.
Ridwaan Jadwat dari DFAT tidak setuju dengan penilaian Julian.
"Pemerintah akan memperhatikan masalah ini dengan sungguh-sungguh dan akan membuat keputusan yang masuk akal," katanya.
Ridwaan menyebut perpanjangan visa warga Myanmar sedang dipertimbangkan, sementara soal sanksi terhadap Myanmar, "tidak ada kemungkinan yang dikesampingkan," katanya.
Hugh Jeffrey dari Departemen Pertahanan memperingatkan pemberian sanksi kepada militer Myanmar (Tatmadaw) bukanlah obat mujarab.
"Tatmadaw adalah lembaga yang sangat tahan terhadap tekanan internasional," jelasnya.
"Kita juga perlu memberikan opsi yang mendorong kembalinya pemerintahan demokrasi liberal," tambahnya.
Salah satu contoh kerumitan sikap Australia atas isu Myanmar terlihat dalam penahanan Profesor Sean Turnell, seorang pembantu dekat Aung San Suu Kyi.
Pejabat Dephan menyatakan mereka mengupayakan pembebasan warga Australia itu melalui pembicaraan telepon antara Wakil Kepala Angkatan Bersenjata David Johnston dan perwira senior Myanmar Jenderal Soe Win.
Pembicaraan telepon ini telah dijadikan bahan propaganda oleh pihak Tatmadaw.
Menurut Ridwaan Jadwat dari DFAT, pemerintah Australia tidak mengakui rezim militer sebagai pemerintah resmi Myanmar, tetapi jalur komunikasi perlu tetap terbuka. Oposisi dukung perpanjangan visa warga Myanmar
Partai Buruh yang beroposisi mendesak pemerintah untuk memberikan perpanjangan visa kepada ribuan warga Myanmar di Australia.
Desakan ini disampaikan setelah 82 orang tewas dibantai pada Jumat pekan lalu di Bago, dekat Yangon.
Menlu Bayangan Senator Penny Wong dan Mendagri Kristina Keneally menyurati pemerintah, mendesak mereka untuk "menunjukkan sikap Australia yang menentang serangan itu".
"Peristiwa ini menyebabkan tekanan yang luar biasa bagi warga diaspora Myanmar di Australia," tulis mereka.
"Karena itu kami mendesak pemerintah untuk mengizinkan warga negara Myanmar dengan visa sementara di Australia untuk memperpanjang masa tinggal mereka," tambahnya.
"Tidak boleh ada seorang pun yang dideportasi ke Myanmar jika mereka tidak ingin kembali," katanya.
Sebagai perbandingan, Amerika Serikat mengumumkan akan memberikan perlindungan sementara bagi warga Myanmar di negara tersebut.
Naw Naw menyebut bagaimana Australia telah menawarkan visa kepada para pemegang paspor Hong Kong, setelah aksi demo yang meluas di sana.
Dia menambahkan kekerasan dari militer Myanmar, Tatmadaw, berada pada level yang berbeda dengan penumpasan yang dilakukan aparat di Hong Kong.
"Mereka tidak melakukan hal yang mengerikan seperti di Myanmar," kata Naw Naw.
"Setiap hari kami kehilangan orang yang tidak bersalah," tambahnya.
Diproduksi oleh Farid M. Ibrahim dari
BACA ARTIKEL LAINNYA... Respons Christina Aryani Terhadap 5 Kesepakatan Pemimpin ASEAN, Pakai Frasa âHarapan Baru Bagi Myanmar