jpnn.com, KABUL - Afghanistan menggelar pemilihan presiden dalam bayang-bayang ancaman teror Taliban, Sabtu (28/9). Akibatnya, tingkat partisipasi pemilih jadi sangat rendah.
Lebih dari sembilan juta warga Afghanistan terdaftar sebagai pemilih. Namun partisipasi pemilih kurang dari setengahnya.
BACA JUGA: Dibantu Amerika, Tentara Afghanistan Bantai Dua Gubernur Taliban
Banyak warga yang khawatir akan serangan Taliban jika mereka datang ke tempat pemungutan suara. Bukan hanya itu, banyak juga warga yang melihat bahwa tidak melihat gunanya mengambil bagian dalam pemilu, mengingat tidak adanya perubahan berarti yang berhasil dilakukan pemerintah lima tahun terakhir.
Sebelum hari pemilihan, Taliban mengecam pemilu tersebut dan menilainya sebagai proses yang tidak sah. Kelompok tersebut bahkan memperingatkan warga sipil bahwa tempat pemungutan suara akan menjadi sasaran penyerangan.
BACA JUGA: Biadab, Bom Truk Taliban Meledak di Depan Pintu Rumah Sakit
Menanggapi hal tersebut, otoritas Afghanistan mengerahkan lebih dari 70 ribu polisi, pasukan dan pejabat intelijen untuk mengamankan tempat pemungutan suara dan mengunci kota-kota besar. Namun, semua upaya itu tidak membuahkan hasil.
Pemilu kali ini menampilkan Ghani yang kembali bersaing dengan penantang utamanya, Abdullah Abdullah. Ini adalah kali kedua mereka bersaing memperebutkan kursi nomor satu Afghanistan.
Namun, ekonomi yang hancur, korupsi yang merajalela dan keamanan yang memburuk di Afghanistan membuat sebagian warga tidak memberikan dukungan pada dua kandidat tersebut.
"Saya memilih terakhir kali (2014), tetapi hasilnya hanya membuat negara ini lebih buruk," kata seorang tukang listrik berusia 36 tahun, Farhad Azimi, seperti dimuat The Guardian.
"Itulah sebabnya saya memutuskan untuk tidak memilih tahun ini. Saya memperkirakan lebih banyak masalah setelah pemilihan, mungkin akan ada pertempuran, hal buruk apa pun mungkin terjadi," sambungnya. (rmol/jpnn)
Redaktur & Reporter : Adil