Tambah Utang Rp 400 triliun Bukanlah Sikap Santun

Baik Hati Belum Tentu Bukan Neo-lib

Kamis, 11 Juni 2009 – 19:07 WIB

JAKARTA – Para pemilih di Pilpres mendatang diharapkan tetap mewaspadai isu neo-liberalismeSebab, kebijakan yang nyata-nyata dinilai telah menyengsarakan rakyat itu bisa saja tetap langgeng di Indonesia jika masyarakat sampai salah pilih pasangan capres.

Peringatan itu disampaikan pengamat ekonomi dari ECONIT, Hendri Saparini dalam diskusi di Mega-Prabowo Media Center, Kamis (11/6)

BACA JUGA: Menguat, Desakan Revisi Aturan Pilkada

Menurutnya, selama ini isu neo-liberalisme di Indonesia justru sengaja dipinggirkan
Tujuannya, demi melanggengkan kebijakan neo-liberal yang selama ini dipraktikkan pemerintah

BACA JUGA: Fadli Zon : Lembaga Survei Mirip Baliho



“Kalau kebijakan ekonomi tak dirubah, maka kita tak akan pernah sampai kepada kebangkitan yang kita cita-citakan
Isu neo liberal selama ini malah jadi isu pinggiran, padahal itu sudah digugat di banyak negara terutama di Latin Amerika,” ulasnya.

Menurut perempuan berjilbab ini, negara yang menganut kebijakan ekonomi neo-liberal  selalu mengalami krisis kambuhan

BACA JUGA: Sudah 40 Kada-Wakada Ajukan Cuti Kampanye

“Ini sudah diterapkan di Latin Amerika dan mereka jadi negara kambuhan krisisKalau ada sosok Evo Morales atau Hugo Chavez di Amerika Latin, itu karena mereka tidak mau krisis lagi,” ujarnya.

Sayangnya, kata Saparini, orang Indonesia cenderung mudah terkejut dan gampang terpesona dengan penampilan“Orang Indonesia melihat kalau santun itu bukan neolibKalau baik hati bukan neolibItu belum tentuKalau selama empat tahun utang nambah sampai Rp 400 triliun, apakah itu santun bagi masyarakat?” tudingnya.

Karenanya Saparini merasa pesimis jika kelak pasangan SBY-Boediono terpilih lagi maka ekonomi Indonesia akan membaikSebab, liberalisasi ekonomi selama empat tahun terakhir semakin meluas di berbagai sektor“Pak Boediono tidak akan menghentikan itu, karena dia berpendapat Indonesia adalah bagian ekonomi glonal yang harus berperan di perekonomian global,’ ucapnya.
Selain itu, sambung Saparini, solusi yang ditawarkan Boediono dalam berbagai krisis ekonomi cenderung difokuskan pada kebijakan moneter saja“Kalau segala sesuatu diselesaikan dengan kebijakan moneter, ini tidak memecahkan masalah,” ucapnya seraya menambahkan, Indonesia tidak bisa lagi melanjutkan kebijakan liberalisasi seperti yang dianut pemerintahan sekarang ini
“Ini kebijakan yang mesti kita rombak, yang sekarang sudah tidak bisa dilanjutkan lagi,” tandasnya.
Sementara Hendrawan Supratikno dari Megawati Institute membandingkan kinerja ekonomi pemerintahan SBY dengan dengan pemeritahan MegawatiHendrawan menilai pemerintahan Megawati yang berjalan sekitar kurang lebih tiga tahun justru memiliki perfoma yang lebih baik.

Hal itu bisa dilihat dari angka pertumbuhan ekonomi, rata-rata tingkat inflasi, kurs Rupiah terhadap dollar, serta pertumbuhan industri pengelolaan.

“Jaman SBY justru terjadi gejala deindustrialisasi, penggerogotan daya beli, semakin melambungnya harga sembako dan ketergantungan terhadap utang dan modal asing semakin besar,” tudingnya.

Karenanya dengan penuh percaya diri Hendrawan mengajak berdebat soal ekonomi dengan kubu SBY-Boediono“Kami yakin disbanding kebijakan yang neo-liberal, rapor Mega masih lebih baik,” tandasnya.(ara/jpnn)

BACA ARTIKEL LAINNYA... Survei LSI: Pilpres Satu Putaran


Redaktur : Tim Redaksi

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler