Tanah

Oleh: Dhimam Abror Djuraid

Rabu, 15 September 2021 – 10:13 WIB
Ilustrasi. Foto: dok/JPNN.com

jpnn.com - Sak dumuk bathuk sak nyari bumi ditohpati. Urusan tanah bukan sekadar urusan kepemilikan properti, tetapi menyangkut kehormatan dan harga diri. Ungkapan Jawa itu secara harfiah berarti ‘’selebar jidat, selebar jari, tanah akan dibela sampai mati’’.

Bagi orang Jawa, tanah tidak sekadar punya nilai ekonomi, tetapi juga nilai kultural. Tanah dipahami sebagai sebuah pusaka peninggalan leluhur yang harus dijaga dan dipertahankan.

BACA JUGA: Rocky Gerung vs Sentul City, Kang Ubed Curiga Ada Motif Politik

Tanah menjadi simbol kehormatan dan martabat keluarga yang harus dijaga, bila perlu dengan pengorbanan nyawa.

Meskipun tanah hanya sejengkal, selebar jari, tetapi tanah tidak sekadar kekayaan, karena sudah menyangkut bathuk. Bagi orang Jawa, bathuk atau jidat, sebagai bagian dari kepala, adalah bagian yang sakral dan terhormat. Orang lain bahkan tidak boleh memegang kepala, saking sakralnya.

BACA JUGA: Tak Semua Sengketa Pertanahan Libatkan Mafia Tanah

Kepala adalah bagian tubuh yang keluar terlebih dahulu ketika bayi dilahirkan. Itulah alasan bagi orang Jawa mengapa kepala begitu sakral tak tersentuh.

Orang Barat boleh saja menganggap kepala sebagai bagian yang sama saja dengan bagian tubuh lainnya, sehingga bisa dipegang setiap saat.

BACA JUGA: Ditjen Pengadaan Tanah Lahirkan Terobosan Baru Pengelolaan Tata Ruang

Namun, orang Jawa tidak demikian. Kepala ada di struktur paling atas dalam anatomi tubuh manusia, karena itu kepala juga punya kedudukan dan kehormatan paling tinggi.

Orang asing ada yang berseloroh, kepala orang Jawa tidak boleh dipegang sembarangan karena takut otaknya akan lepas. Tentu ini hanya sekadar seloroh untuk bahan ledekan.

Namun, kalau harus dianggap serius, seloroh itu menunjukkan keangkuhan peradaban Barat yang selalu merasa superior dibanding peradaban Timur.

Sejak ratusan tahun silam, di masa-masa feodal maupun di masa kolonial, masalah tanah menjadi persoalan sensitif yang sering memicu konflik personal dan komunal. Pemberontakan terhadap raja maupun penguasa kolonial banyak muncul karena dipicu oleh konflik tanah.

Prof Sartono Kartodirdjo mendokumentasikan pemberontakan besar yang dilakukan petani Banten terhadap kekuasaan kolonial Belanda pada 1888. Perlawanan itu dianggap sebagai awal dari gerakan sosial yang kemudian meluas di Hindia Belanda.

Dalam buku ‘’Pemberontakan Petani Banten’’ (1984) Sartono mengungkapkan bahwa pemberontakan yang dipimpin oleh para ulama lokal itu muncul akibat kesewenang-wenangan Belanda dalam kebijakan mengenai tanah.

Perampasan tanah secara semena-mena, dan penerapan pajak yang mencekik, menjadikan petani yang sudah miskin menjadi makin menderita.

Bencana alam yang terjadi akibat letusan dahsyat Gunung Krakatau pada 1883 menghancurkan kesuburan tanah karena perubahan iklim yang ekstrem.

Kondisi ini makin memperparah penderitaan para petani, sampai akhirnya tidak tertahankan lagi dan pecah menjadi pemberontakan besar.

Pada era kolonial, wilayah Banten dan sekitarnya menjadi salah satu daerah yang paling melarat dan menderita. Tanam paksa dan pajak yang mencekik diterapkan dengan sangat keras.

Bukan hanya tanah yang dirampas, tetapi hewan ternak seperti sapi dan kerbau, yang menjadi aset utama petani, juga dirampas paksa oleh Belanda. Petani yang menolak dan melawan akan dibunuh atau dikerangkeng di penjara karena dianggap sebagai ekstremis.

Dua puluh tahun sebelum pemberontakan besar petani Banten, kisah kemiskinan yang mencekam itu sudah didokumentasikan oleh Multatuli dalam novelnya yang brilian ‘’Max Havelaar’’ (1860).

Novel itu berkisah mengenai Havelaar yang ditugasi sebagai bupati di Lebak, Banten, dan melihat terjadinya ketidakadilan terhadap para petani yang sudah sangat miskin.

Novel itu diwarnai dengan satu episode roman antara Saijah dan Adinda, yang menggambarkan kisah cinta dua anak petani miskin di satu desa. Saijah merantau ke kota, tetapi ketika pulang ia mendapatkan rumah Adinda sudah rata dengan tanah akibat dibakar Belanda.

Saijah meninggal dibunuh Belanda ketika ingin menyelamatkan Adinda.

Kisah yang ditulis Multatuli dan historiografi yang ditulis Prof. Sartono menunjukkan bahwa Jawa Barat secara tradisional dan turun temurun telah menjadi kantong kemiskinan yang mengenaskan. Sampai sekarang, sisa-sisa kemiskinan itu masih terlihat di wilayah-wilayah itu.

Persoalan kepemilikan tanah dan kemiskinan struktural masih menjadi persoalan serius.

Di masa pemerintahan Orde Baru, berbagai kasus agraria dalam bentuk perampasan tanah rakyat terjadi di banyak daerah. Akibat perampasan itu muncul perlawanan rakyat yang sering berakhir dengan pemenjaraan dan pertumpahan darah.

Kasus tanah petani di Jenggawah, Jember, menjadi salah satu konflik agraria paling fenomenal dalam sejarah Indonesia. Pada 1970-an petani-petani di Jenggawah, Jember memprotes pengambilan paksa tanah garapan mereka oleh pemerintah.

Para petani itu sudah berpuluh-puluh tahun menggarap tanah hasil pembukaan hutan pada masa Belanda.

Para petani menolak perampasan paksa, dan terjadi perlawanan keras. Banyak terjadi penyiksaan dan penyekapan oleh aparat.

Banyak petani yang ditangkap dan dipenjara. Namun, kekerasan dan intimidasi tidak menyurutkan perlawanan para petani.

Kasus yang sama terjadi di Nipah, Sampang, Madura pada 1993. Ratusan petani dari delapan desa menolak pembangunan waduk yang dilakukan pemerintah dengan mengambil tanah-tanah pertanian.

Bagi warga Madura, tanah mempunyai nilai budaya yang tinggi sebagai pusaka warisan leluhur. Tanah warisan tidak boleh dijual begitu saja karena ada nilai penghormatan kepada orang tua yang telah mewariskan tanah itu. Perampasan tanah adalah penghinaan terhadap martabat keluarga.

Atembang poteh mata ango’an poteh tolang, daripada putih mata lebih baik putih tulang. Begitu pepatah orang Madura yang memilih mati daripada dipermalukan.

Namun, pemerintah Orde Baru melihat tanah itu sebagai aset ekonomi yang menganggur dan telantar. Tanah itu akan lebih produktif jika dimanfaatkan untuk pembangunan waduk, yang bisa menyediakan irigasi untuk mengairi sawah-sawah yang selama ini hanya mengandalkan tadah hujan.

Pendekatan pembangunanisme pragmatis, yang mengabaikan faktor budaya lokal, menghadapi resistensi tinggi dari masyarakat. Terjadi konfrontasi langsung antara petani dengan aparat bersenjata di lapangan. Beberapa petani mati akibat tembakan aparat.

Di Jawa Tengah, pembangunan waduk Kedung Ombo pada 1985 juga menghadapi resistensi warga yang menolak digusur paksa. Berbagai intimidasi dan kekerasan dilakukan aparat terhadap warga yang tetap bergeming.

Beda dengan warga Nipah yang konfrontatif, warga Kedung Ombo lebih banyak melakukan perlawanan pasif. Rezim Orde Baru ketika itu mendiskreditkan gerakan rakyat ini sebagai gerakan PKI.

Kasus perlawanan para petani di Talangsari, Lampung pada 1989, melahirkan tragedi nasional yang menjadi lembaran hitam sampai sekarang. Kasus ini tidak beruhubungan langsung dengan konflik tanah, tetapi lebih terjadi karena cara pendekatan kekerasan yang diterapkan rezim Orde Baru terhadap rakyat secara semena-mena.

Para petani di Talangsari itu membentuk kelompok pengajian yang dipimpin oleh Warsidi. Kelompok petani ini menjalankan hidup secara independen dan menerapkan ekonomi subsisten yang bisa memenuhi kehidupan mereka sendiri.

Penguasa Orde Baru menganggap aliran Warsidi sesat. Terjadi konflik yang berujung pada penyerbuan tentara yang menewaskan ratusan petani. Sampai sekarang jumlah korban masih misterius.

Pendekatan kekerasan bisa terjadi dalam bentuk penahanan dan intimidasi oleh aparat, seperti di Jenggawah dan Kedung Ombo. Pendekatan kekerasan bersenjata terhadap resistensi rakyat diperlihatkan dalam kasus Nipah dan Talangsari.

Pendekatan kekerasan melalui kekuasan simbolik masih banyak terjadi di berbagai tempat di Indonesia.

Para petani dan pemilik tanah miskin selalu rentan terhadap pengambilalihan paksa oleh penguasa. Dalam banyak kasus, muncul mafia-mafia tanah dari kalangan swasta, yang bersekongkol dengan kekuasaan untuk membentuk oligarki yang mengintimidasi rakyat.

Kasus perebutan tanah di Bojong Koneng, Bogor, yang sekarang menjadi sorotan masyarakat, adalah reminisensi kasus-kasus perampasan tanah di masa lalu, sejak zaman kolonial sampai Orde Baru.

Kali ini, perampasan tanah rakyat muncul dengan dimensi baru. Penguasa dan pengusaha bersekongkol membentuk oligarki baru, yang mengintimidasi rakyat dan berusaha menyerobot tanah mereka. Resistensi rakyat, mungkin, akan muncul dalam bentuk baru juga. (*)

 


Redaktur : Adek
Reporter : Tim Redaksi

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler