Khaira Zain, biasa dipanggil Khaira, dan beberapa temannya terkejut mendengar pengumuman aturan baru pembatasan barang bawaan dari luar negeri.
Pada pertengahan Maret lalu, Kementerian Perdagangan RI mengeluarkan aturan baru untuk mengendalikan jumlah barang bawaan dari luar negeri.
BACA JUGA: Dunia Hari Ini: TPN Prabowo-Gibran Yakin Gugatan Anies-Ganjar di MK Akan Kalah
Pembatasan tersebut berlaku bagi barang yang sering dibeli orang Indonesia saat berlibur, seperti makanan, alas kaki, produk tekstil, perangkat elektronik, dan sebagainya.
Khaira, warga Bali yang kembali dari Australia pada tanggal 19 Maret lalu sempat merasa khawatir saat mendarat di Indonesia.
BACA JUGA: Bea Cukai Lepas Ekspor Kabel Fiber Optik dari KEK Kendal
Ia mengatakan beberapa hari sebelum pulang, peraturan tersebut sudah dibahas di jejaring sosial, sehingga dirinya harus membatasi bawaan barang setelah tiga bulan tinggal di Australia.
Namun ternyata barang bawaannya tidak diperiksa oleh petugas imigrasi, karena ia memang hanya membawa sedikit oleh-oleh untuk keluarganya sendiri, bukan untuk dijual kembali.
BACA JUGA: Mantap, Pakaian Dalam Asal Bantul Siap Bersaing di 2 Pasar Internasional Ini
Khaira dan teman-temannya menganggap aturan bea cukai terbaru "sangat membingungkan" dan terkesan "dibuat dengan tergesa-gesa".
"Apalagi ini mau Hari Raya Idul Fitri," katanya kepada Raffa Athallah dari ABC Indonesia.
"Akhirnya kita harus mengorbankan apa yang seharusnya bisa membuat keluarga senang."
Khaira mengatakan saat itu belum ada situs resmi imigrasi yang bisa menjelaskan aturannya secara rinci.
"Sempat banyak desas-desus, 'Boleh enggak ya bawa ini? Boleh enggak ya bawa itu?'" kata Khaira.
Menurutnya aturan terbaru ini tidak dapat diterapkan ke semua pihak, termasuk dirinya yang selama liburan di Australia sempat mengalami dua musim yang berbeda.
"Saya tiga bulan di Australia dan ke empat negara bagian, ya pasti perlu lah lebih dari dua sepatu," jelasnya.
"Bagaimana dengan orang-orang yang misalnya berkebutuhan khusus yang harus berobat ke luar negeri? Mereka perlu kembali ke Indonesia membawa obat atau suplemen yang jika dibeli di dalam negeri, harganya luar biasa mahal."Bagaimana nasib layanan jastip?
Tak hanya bagi pelaku perjalanan, aturan baru ini juga mendapat perhatian juga dari para penyedia layanan jasa titip, yang lebih dikenal dengan sebutan jastip.
Sejumlah pelaku jastip yang diwawancara ABC Indonesia, meski tidak ingin dikutip langsung, mengaku bisnisnya terancam.
Tapi sejumlah pengusaha di dalam negeri menyambut diperketatnya aturan barang impor karena dianggap dapat mengurangi persaingan dengan pelaku jastip dan membantu UMKM.
Ketua Umum Himpunan Peritel dan Penyewa Pusat Perbelanjaan Indonesia mengatakan pengawasan perlu diperketat karena maraknya impor ilegal merugikan negara dengan selisih bea pajak bisa mencapai 40 sampai 50 persen.
"Menurut kami bea cukai harus melakukan standarisasi pemisahan antara oleh-oleh yang memang wisatawan dengan jastipers," ujar Budiharjo Iduansjah dalam sebuah acara di CNBC Indonesia.
"Paling pentingnya jastipers, ini bukan hanya melalui barang bawaan, tapi bisa juga melalui kargo udara maupun laut."
Chera, pedagang jastip yang meminta agar identitasnya disamarkan, mengatakan regulasi tersebut sebenarnya sudah berlaku sejak lama dan bukanlah hal baru.
"Kami juga bayar pajak asli, jadi enggak sembarangan enggak bayar," kata Chera yang menjalankan bisnisnya di Indonesia.
"Kami beli handphone juga kami bayar pajak, makanya tenang-tenang saja."
Produk-produk yang ditawarkannya berasal dari berbagai negara, termasuk Australia, Singapura dan Korea.
Chera mengatakan rata-rata pengusaha jastip selama ini telah membayar pajak.
Ia meminta masyarakat melihat lebih dari satu sudut pandang dan tidak serta-merta menyalahkan satu pihak, seperti pemerintah.
"Netizen Indonesia cenderung kalau ada sesuatu yang tidak berkenan pada mereka, mereka langsung mengeluh," katanya.
"Namun pada dasarnya, belum tentu yang diregulasikan pemerintah itu tidak baik bagi Indonesia.
"[Contohnya] beli obat dari luar negeri, kalau beli di Indonesia kan sudah di cek Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM)."
Saat ditanya apakah aturan baru ini nantinya bisa membantu UMKM, Chera berpendapat ada beberapa aspek yang perlu ditingkatkan oleh pemerintah untuk membantu penjualan produk-produk UMKM di Indonesia.
"Alasan kenapa orang beli tas di luar negeri karena harganya lebih murah," katanya.
"Kalau [pemerintah] ingin menjual tas lokal dengan harga yang bisa bersaing, mereka harus mengatur pajaknya."Aturan perlu diperjelas
Nadira Forizal, biasa dipanggil Dira, baru saja kembali ke Jakarta dua minggu yang lalu setelah menyelesaikan studinya di Melbourne, Australia selama empat tahun.
Dira mengatakan tidak terlalu terdampak karena lebih sering menggunakan produk lokal Indonesia daripada impor.
"Tapi saya enggak tahu apakah peraturan tersebut akan membuat pembelian barang lokal naik ya," kata Dira.
Ia hanya berharap aturannya akan lebih diperjelas.
"Mungkin bisa diperjelas dan lebih disebarkan [ke] orang-orang. Takutnya orang-orang enggak tahu dan pas balik ke Indonesia, mereka kaget soal aturan baru ini."
"Enggak semua orang tahu tentang ini," kata Dira.
"Rugi di kita kalau misalnya mau beli oleh-oleh malah kena pajak."
BACA ARTIKEL LAINNYA... Dunia Hari Ini: Jutaan Warga India Merayakan Festival Holi