Biasanya setiap tanggal 26 Januari menjadi hari yang sibuk bagi Rini Handayani, warga Indonesia di Geelong.
Di hari itu, ia bersama penari lainnya yang tergabung dalam Widya Luvtari Indonesian Dance Group biasanya mempersiapkan diri untuk tampil dalam pawai Australia Day di pusat kota Melbourne.
BACA JUGA: Tiga Perempuan Ini Punya Pekerjaan yang Masih Jarang Dilakukan Warga Indonesia di Australia
Tapi tahun ini mereka tidak akan tampil, karena pemerintah negara bagian Victoria, dengan ibu kota Melbourne, dilaporkan telah "diam-diam" meniadakan pawai Australia Day.
Rini mengaku menyayangkan hal ini.
BACA JUGA: Menggunakan Berbagai Bahasa di Rumah Akan Bermanfaat Bagi Anak-anak
Dalam pawai 'Australia Day' komunitas migran biasanya menampilkan tarian dan busana dari negara asal mereka, termasuk dari Indonesia.
"Australia Day parade itu sebenarnya untuk mempromosikan keberagaman budaya di Australia ya," ujar Rini.
BACA JUGA: Dunia Hari Ini: Jepang Mengalami Masalah dengan Jumlah Penduduknya
Rini mengatakan secara pribadi, sebagai seorang migran, ia tetap berharap ada satu hari di Australia yang bisa mengakui eksistensi dan budaya asalnya.
"Semua yang hidup di tanah Australia yang kita sayangi dan banggakan ini berasal dari berbagai negara dan budaya."
"Tapi untungnya masih ada Moomba parade di bulan Maret dan bisa menjadi ajang untuk memperkenalkan budaya Indonesia juga," ujar Rini.
Keputusan pemerintahan Victoria dengan meniadakan pawai disambut oleh First Peoples' Assembly of Victoria, sebuah lembaga untuk merepresentasikan warga Pribumi Australia, yang mengatakan acara tahunan tersebut seperti "tamparan di muka" mereka.
Australia Day menjadi sebuah kontroversial karena jatuh di tanggal 26, saat pertama kali bangsa Eropa datang ke benua Australia dan dianggap menandai dimulainya perampasan hak-hak hidup dan tanah warga Pribumi Aborigin.
Tak heran jika di tahun-tahun sebelumnya, ribuan warga juga melakukan aksi unjuk rasa ke pusat kota Melbourne untuk memperingati 'Invasion Day'.
Menurut catatan City of Melbourne, penonton pawai Australia Day menurun drastis dari 72 ribu orang di tahun 2018 menjadi 12 ribu orang di tahun 2019.
Sementara di tahun 2020, sebelum pandemi COVID-19, hanya dihadiri 2.000 orang.
Tahun ini, Melbourne tetap akan menggelar pengibaran bendera di Government House, diikuti dengan penembakan meriam di Shire of Remembrance, dan acara di Federation Square dengan tema refleksi, menghormati, dan perayaan.Ada yang tetap gelar pawai
Sementara di negara bagian Australia Selatan, pawai Australia Day masih tetap digelar.
Duapuluh empat warga Indonesia, termasuk para mahasiswa, dari beragam komunitas daerah turun ke jalanan pusat kota Adelaide.
Julia Wanane, Presiden Australia Indonesia Association (AIA) SA Inc. mengatakan mereka akan mengenakan pakaian daerah dengan beberapa membawa alat musik tradisional.
"Saya pikir Australia Day adalah momen yang baik untuk bersama merayakan keberagaman di Australia, meski pun mungkin bagi masyarakat Pribumi itu adalah hari di mana orang kulit putih datang dan mengambil tanah mereka," kata Julia.
Secara pribadi, Julia berpendapat Pemerintah Australia sudah berusaha untuk merangkul masyarakat Pribumi melalui kebijakan-kebijakan yang ada.
Dalam acara Australia Day tahun ini, ia mengatakan pihak penyelenggara meminta dua perwakilan dari setiap kelompok budaya untuk mengikuti upacara asap tradisional warga Pribumi, dikenal dengan sebutan 'Welcome to Country'.
"Di sana mereka akan diajarkan gerakan secara langsung oleh Indigenous elder [pemimpin penduduk Pribumi]," katanya.
"Jadi kita diajari untuk menunjukkan bahwa kita menghormati dan menghargai penduduk Pribumi, kebudayaan mereka dan mau belajar budaya mereka meski dari latar belakang kebudayaan berbeda."
Selain acara tradisional penduduk Pribumi, perayaan Australia Day yang bertema "Rekonsiliasi" di Adelaide juga akan diwarnai dengan pertunjukan kembang api dan musik, pengibaran bendera, hingga beragam makanan.
BACA ARTIKEL LAINNYA... Apakah Sekolah dan Universitas Harus Melarang dan Memblokir ChatGPT?