Tanggapi Putusan MK soal UU Ciptaker, Chandra: Seharusnya Dinyatakan Tidak Berlaku

Jumat, 26 November 2021 – 17:27 WIB
Mahkamah Konstitusi membacakan putusan mengenai judicial review UU Ciptaker. Ilustrasi Foto: Aristo Setiawan/dok.JPNN

jpnn.com, JAKARTA - Ketua LBH Pelita Umat Chandra Purna Irawan menilai putusan Mahkamah Konstitusi (MK) terhadap uji materi Undang-undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja (Ciptaker) sebagai jalan kompromi.

Pasalnya, putusan MK menyatakan UU Ciptaker inkonstitusional bersyarat. Dalam putusannya, MK juga memerintahkan pemerintah dan DPR memperbaiki UU itu maksimal dalam waktu dua tahun ke depan.

BACA JUGA: UU Ciptaker Inkonstitusional Bersyarat, Kasbi: Kenaikan Upah Berdasarkan PP 36/2021 Batal

Chandra menyebut putusan MK itu menunjukkan secara vulgar bahwa lembaga negara tersebut tidak berani mengambil jalan tegas dan terkesan mengambil jalan tengah.

"Jalan tengah tersebut bisa saja dimaknai 'takut terhadap kekuasaan' atau 'mungkin ada intervensi kekuasaan' atau justru memperkuat UU Ciptakerja," kata Chandra dalam pendapat hukumnya yang diterima JPNN.com, Jumat (26/11).

BACA JUGA: AKBP Darmawan Dikeroyok Anggota Pemuda Pancasila, Reza Indragiri Punya Analisis Begini

Menurut dia, MK menyatakan Pembentukan UU No. 11 Tahun 2020 tentang Ciptaker bertentangan dengan UUD 1945, tetapi kenapa pembuat UU diberikan kesempatan untuk melakukan perbaikan?

"Semestinya, MK membuat putusan dengan menyatakan 'batal' atau 'dicabut dan dinyatakan tidak berlaku'," ujar Chandra yang juga ketua eksekutif BPH KSHUMI itu.

BACA JUGA: Kombes Hengki Geram, Sambodo Menunjuk Mobil Komando Pemuda Pancasila

Dia juga menyoroti putusan MK yang memberikan kesempatan kepada Pemerintah dan DPR melakukan perbaikan terhadap UU Ciptaker.

Chandra berpendapat, putusan terkait 'perbaikan' wajib dimaknai oleh pemerintah dan DPR melalui program legislasi nasional (Prolegnas).

Prosedurnya diawali pemerintah menyiapkan draf revisi atau perubahan RUU Ciptaker, lalu diusulkan ke DPR untuk masuk Prolegnas.

"Jika ngotot tetap diproses di luar prolegnas, ada syarat yang harus dipenuhi oleh presiden dan DPR sesuai Pasal 23 UU Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan," pungkas Chandra Purna Irawan. (fat/jpnn)

Simak! Video Pilihan Redaksi:


Redaktur & Reporter : M. Fathra Nazrul Islam

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler