jpnn.com, SEMARANG - Nuzmatun Malinah, ibunda mendiang Aulia Risma Lestari mengungkap pedihnya perjuangan putrinya menempuh Program Pendidikan Dokter Spesialis (PPDS) Anestesia Fakultas Kedokteran Universitas Diponegoro (FK Undip) Semarang, Jawa Tengah (Jateng).
Tak sanggup menahan air mata, Nuzmatun bercerita putrinya masuk PPDS Anestesia FK Undip Semarang pada 2022.
BACA JUGA: Peserta PPDS Undip Dipanggil Polisi soal Perundungan Dokter Aulia
Selama dua tahun terakhir, almarhumah dr Aulia Risma mengalami perundungan atau bullying hingga pemerasan oleh para seniornya.
"Saya sebenarnya mau menceritakan, tetapi saya tidak sanggup. Almarhumah bercerita tentang keluhan, pertama tentang jam belajar, itu dari awal 2022, belajar itu jam 3 dini hari harus sudah ada di ruangan, peralatan yang sudah siap. Rutinitas seperti itu," ujarnya dalam keterangan pers di Semarang, Rabu (18/9).
BACA JUGA: Dipolisikan soal Perundungan PPDS Undip, Ini Reaksi Menkes Budi
Berangkat ke Rumah Sakit Umum Pusat (RSUP) Dr Kariadi pukul 03.00 WIB lalu pulang pukul 01.30 WIB. Akibat jam belajar praktik yang hampir 24 jam ditambah perlakuan seniornya yang selalu merundung dan memeras, membuat tenaga hingga mental dr Aulia Risma terkuras.
"Sampai akhirnya pada 25 Agustus 2022 dia pulang dari RS jatuh karena saking ngantuknya dia nyetir sepeda motor jatuh ke selokan, sampai dia sadar sendiri. Malam-malam dini hari," ujarnya, berlinang air mata.
BACA JUGA: Polda Jateng Periksa 17 Saksi di Kasus Kematian dr Aulia Risma PPDS Undip
Setelah kecelakaan itu, dr Aulia Risma mulai mulai merasakan kakinya sakit yang kemudian menjalar ke punggungnya. Setelah periksa, dr Aulia Risma divonis terkena saraf kejepit.
Mengetahui kondisi sang anak yang mengalami kesakitan, Nuzmatun mendatangi Kepala Program Studi (Kaprodi) PPDS Anestesiologi dan Terapi Intensif FK Undip untuk meminta keringanan.
Namun, harapan Nuzmatun tak sesuai yang diinginkan. Dia justru menerima tanggapan yang kurang mengenakan dengan dalih perlakuan yang diberikan selama ini untuk melatih mental seorang calon dokter.
"Kemudian saya menghadap, untuk minta perlakuan tidak seperti itu sama kaprodi, dijawabnya bahwa itu untuk melatih mental dalam menghadapi berbagai pasien. Saya sampaikan, apakah tidak ada cara lain?" katanya.
Nuzmatun berulang kali menghadap. Namun, lagi-lagi tanggapannya tak sesuai ekspektasi. Putrinya yang menderita sakit saraf kejepit itu terus mendapat perlakuan yang kurang mengenakan dengan perundungan.
"Termasuk bentakan, sementara saya mendidik anak saya dengan cara halus, lemah lembut, begitu masuk PPDS dididik dengan kata-kata yang kasar, suara yang menggelegar, anak saya ketakutan karena dia sangat takut dengan bentakan-bentakan," katanya.
Akhirnya, Nuzmatun hanya bisa pasrah melihat penderitaan yang dialami putrinya. Dengan kondisi sakit, putrinya dipaksa membawa makanan dan minuman untuk para seniornya dari lantai satu ke lantai dua.
"Anak saya sudah operasi dua kali. Kejam sekali, sampai kakinya pincang-pincang dan diseret-seret. Pernah telat mengantar makanan ke seniornya, dihukum berdiri satu jam. Saya bilang ke kaprodi, dijawab 'saya dulu lima jam'. Anak saya kakinya bengkak, ya Allah," ujar Nuzmatun, tak kuasa menahan tangis.
Kini, dirinya telah menyerahkan proses hukum di Kepolisian Daerah atau Polda Jateng. Harapan akan keadilan atas kematian sang putri menjadi kian terbuka setelah Undip dan RSUP Dr Kariadi mengakui adanya budaya perundungan.
"Saya tidak hanya memohon, tetapi bantulah saya. Anak saya sudah tidak ada, anak saya harusnya sekolah cari ilmu, tetapi apa yang didapat. Jadi tolong bantu saya mencari keadilan, tidak hanya satu nyawa, tetapi suami saya yang seharusnya mendampingi saya, tetapi sekarang apa tolong bantu saya untuk mencari keadilan, Allah, Ya Allah," kata Nuzmatun, tangis pecah.(mcr5/jpnn)
Redaktur : Budianto Hutahaean
Reporter : Wisnu Indra Kusuma