jpnn.com - JAKARTA - Penangkapan sejumlah orang yang berencana melakukan tindak pidana terorisme pada Sabtu (10/12) kemarin di Bekasi, dinilai bentuk implementasi doktrin preventive justice yang efektif dalam penanganan terorisme.
Menurut Ketua Setara Institute Hendardi, Polri berhasil meyakinkan publik bahwa aparatnya mampu mencegah terjadinya tindakan teror dan menciptakan rasa aman warga, meski dengan landasan hukum yang sangat terbatas.
BACA JUGA: Bayi di Pengungsian Gempa Aceh Harus Tetap Dapat Asupan ASI
"Tindakan pencegahan ini adalah prestasi yang pantas diapresiasi dan sekaligus membuktikan ancaman radikalisme dan terorisme terus terjadi dengan eskalasi yang meningkat. Selain itu juga membuktikan Polri mampu mencegah terjadinya kekerasan yang lebih luas," ucap Hendardi, Minggu (11/12).
Hendardi lebih lanjut mengatakan, Konsep preventif justice memang rentan menimbulkan penanganan represif dan berpotensi menimbulkan unfair trial dalam proses peradilan pidana.
BACA JUGA: KAHMI Berduka untuk Marie Muhammad
Karena itu, sekalipun dalam revisi UU Antiterorisme konsep tersebut akan diadopsi, implementasinya penting dipastikan tetap dalam kerangka sistem peradilan pidana dengan rumusan batasan yang ketat, sebagai kompromi antara pengutamaan kebutuhan keamanan dan pengutamaan perlindungan HAM.
"Kompromi inilah yang dikenal sebagai margin of appreciation dalam mengatasi rights on dispute," tutur Hendardi.
BACA JUGA: Waspadai Aksi Balasan Jaringan Bom Bintara
Sementara itu untuk mengatasi meluasnya radikalisme, Polri menurut aktivis kemanusiaan ini, juga harus bekerja ekstra. Di antaranya menangani setiap aksi intoleransi. Karena terorisme adalah puncak dari intoleransi.
"Artinya, pencegahan dan penanganan terorisme yang genuine harus dimulai dengan tidak kompromi pada aksi-aksi intoleransi sebagai bibit dari terorisme," pungkas Hendardi.(gir/jpnn)
BACA ARTIKEL LAINNYA... Ingat, Deradikalisasi Jangan Hanya Represi
Redaktur : Tim Redaksi