jpnn.com - JAKARTA - Bank Indonesia (BI) membatasi kegemaran perusahaan swasta untuk mencari utang dari luar negeri. Dalam aturan baru yang bakal diterbitkan semester kedua tahun ini, otoritas moneter tersebut akan memperketat pinjaman valuta asing (valas) terhadap rasio aset valas yang dimiliki korporasi.
"Jangan sampai (utang luar negeri/ULN) tidak di-hedging (lindung nilai). Atau, jangan sampai kewajiban valas jauh lebih besar daripada aset valas," ungkap Deputi Gubernur Senior (DGS) BI Mirza Adityaswara di gedung BI kemarin (5/9).
BACA JUGA: Kinerja Indosat Tertolong Laba Kurs
Menurut Mirza, jika peminjam ULN adalah eksporter, berarti mereka memiliki aset valas. Dengan begitu, perusahaan tersebut bisa melakukan natural hedging. Namun, jika pengutang tidak memiliki basis bisnis ekspor, kewajiban valasnya bakal lebih besar dibandingkan aset valas.
"Kami akan atur berapa rasio aset valas terhadap liability valas. Gapnya harus ditutup bagaimana, misalnya hedging. Jangan sampai nanti menyesal kalau ada gejolak," paparnya.
BACA JUGA: Cadangan Devisa RI Naik Pesat
Beleid yang rencananya dirilis dengan bentuk peraturan BI (PBI) tersebut untuk ULN swasta yang mencakup proyek BUMN dan non-BUMN.
Untuk proyek non-BUMN atau murni swasta, Mirza mengakui belum pernah mengatur ULN-nya. Perusahaan-perusahaan tersebut hanya dimintai laporan jumlah ULN secara rutin. Sebaliknya, untuk swasta yang menggarap proyek pemerintah atau BUMN melalui skema public-private partnership (PPP), ULN-nya diperketat melalui peraturan pinjaman komersial luar negeri (PKLN). Misalnya, dalam waktu dekat dua perusahaan swasta yang mengajukan PKLN, antara lain, PT Sepreme Energy Rantau Dedap dan PT Bimasena Power Indonesia.
BACA JUGA: Pekerjakan Warga Sorong di Pabrik Sagu Terbesar Dunia
"Yang jelas, aturannya nanti lebih pada kehati-hatian. Kita memang perlu aliran modal dari luar negeri untuk biayai surat utang pemerintah, APBN, proyek BUMN, maupun swasta. Tapi, kita perlu hati-hati manage risiko makronya," ujarnya.
Sementara itu, untuk meningkatkan efektivitas peraturan, pihaknya akan mempelajari beberapa acuan kebijakan di luar negeri seperti yang diterapkan di Korea Selatan.
"Ada beberapa cara memonitor ULN. Korea melakukan, kami pelajari aturannya. Selain itu, kami bicarakan dengan Kementerian Keuangan, OJK (Otoritas Jasa Keuangan), FKSSK (Forum Koordinasi Stabilitas Sistem Keuangan), dan Kementerian Bidang Perekonomian. Karena ini terkait aliran dana," terangnya. (gal/c17/oki)
BACA ARTIKEL LAINNYA... Harga Semen di Pegunungan Papua Capai Rp 1 Juta Per Sak
Redaktur : Tim Redaksi