Tanpa Nyekar dan Silaturahmi, Baju Baru Tak Mampu Ubah Wajah Lesu

Minggu, 11 Agustus 2013 – 08:49 WIB
Penganut Syiah di Flat Puspa Agro, Taman, Sidoarjo, Sabtu pagi (10/8). Foto: Jawa Pos/JPNN

jpnn.com - LEBARAN adalah momentum sanak saudara bisa berkumpul dan bercengkerama di kampung halaman. Tapi, itu semua tak lagi bisa dirasakan warga Sampang, Madura, penganut aliran Syiah yang harus tinggal di pengungsian.

MIFTAKHUL F S, Sidoarjo

BACA JUGA: Pendiri Tinggal Dua, Promosi Album Ke-34 lewat Facebook

Suasana Lebaran tak begitu terlihat di Flat Puspa Agro, Taman, Sidoarjo, Sabtu pagi (10/8). Di kawasan pasar induk yang menjadi tempat penampungan sementara 53 KK atau 151 warga Sampang sejak 20 Juni lalu itu hanya terlihat beberapa orang duduk-duduk. Yang lain memilih menghabiskan waktu di dalam kamar flat.

Kondisi itu sangat kontras dengan suasana di sekitarnya. Jalan Raya Jemundo yang hanya selempar batu dari flat tersebut sesak oleh lalu lalang kendaraan. Mayoritas kendaraan kaum muslim yang hendak bersilaturahmi dengan sanak saudara.

BACA JUGA: Ada Bonus Kunjungan, Auditorium seperti Tempat Piknik

Mereka berdandan rapi dan tidak sedikit yang mengenakan pakaian baru. Seperti halnya di jalan, kemeriahan juga terlihat di rumah-rumah penduduk sekitar flat. Pintu rumah mereka terbuka lebar untuk para tamu yang berkunjung.     
    
Di Flat Puspa Agro memang banyak anak kecil. Tapi, wajah-wajah mereka lesu. ”Ini memang berat buat kami. Lebih-lebih bagi anak-anak. Momentum Lebaran kali ini tak ubahnya hari biasanya,” ujar Iklil Almilal. Iklil adalah satu di antara ratusan penganut Syiah Sampang yang ”terusir” dari kampung halamannya. Dia sekaligus orang yang dituakan.

Sebelum tinggal di Puspa Agro, warga Sampang penganut aliran Syiah tinggal setahun di Gedung Olahraga (GOR) Wijaya Kusuma, Sampang. Mereka merupakan korban tragedi kemanusiaan yang terjadi pada Agustus 2012.

BACA JUGA: Larasati Suliantoro Sulaiman; Abdikan Hidup untuk Batik

Saat itu perkampungan pengikut aliran Syiah di Desa Karang Gayam, Kecamatan Omben, dan Desa Blu’uran, Kecamatan Karangpenang, diserang kelompok bersenjata. Akibatnya, satu orang tewas serta enam orang lain terluka. Sebanyak 47 unit rumah dibakar, termasuk madrasah dan musala penganut Islam Syiah.

Penyerangan pada Agustus 2012 itu merupakan yang kedua. Sebelumnya, pada Desember 2011, pengikut Tajul Muluk tersebut juga diserang dan sekitar 300 kepala keluarga terpaksa mengungsi.

Bagi Iklil dan saudara-saudaranya, Lebaran bukan sekadar waktu untuk merayakan kemenangan setelah sebulan penuh menjalankan ibadah puasa Ramadan. Pada masa Lebaran itulah sanak saudara yang terpisah karena berbagai urusan bisa berkumpul dan bercengkerama tanpa sekat di kampung halaman.

Bukan hanya momen bersilaturahmi dengan yang masih hidup, Lebaran juga menjadi saat untuk menyambung rasa dengan leluhur yang sudah meninggal. Tentu melalui media nyekar ke makam leluhur.

Bagi anak-anak, Lebaran adalah keceriaan. Waktu Lebaran mereka bisa menyantap aneka hidangan yang bisa jadi tidak dapat dinikmati pada hari-hari biasanya. Saat Lebaran mereka juga bisa mengenakan baju baru. ”Tapi, itu semua tidak bisa kami lakukan saat ini,” kata Iklil dengan sedih.

Kakak kandung Tajul Muluk, pemimpin Syiah Madura, tersebut mengisahkan, setiap Lebaran, masyarakat di kampung halamannya juga melakukan kebiasaan umum saat Idul Fitri. Antara lain, nyekar makam leluhur dan bersilaturahmi. ”Nyekar dilakukan setelah salat Id. Setelah itu, dilanjutkan silaturahmi ke saudara dan tetangga hingga malam. Kami belum pulang kalau silaturahminya belum tuntas satu kampung,” paparnya.

Namun, pada Lebaran kali ini kebiasaan itu tak lagi bisa dilakukan. Bahkan, untuk pergi ke masjid buat menunaikan salat Id saja, mereka harus dikawal petugas. Kamis, 8 Agustus lalu, mereka melaksanakan salat Id di masjid yang terdapat di Kletek, Taman. Untuk menuju masjid itu, mereka diangkut dengan kendaraan terbuka dan dikawal.

Selepas salat, mereka kembali ke flat. ”Memang ada silaturahmi dan makan bersama di antara kami, namun rasanya begitu sunyi. Kami rindu suasana di kampung. Sebab, di sini kami terkurung,” akunya. Betapa tidak rindu, setelah silaturahmi dan makan bersama, mereka kembali hanya bisa duduk-duduk di lingkungan flat atau malah rebahan di dalam kamar. Tidak ada acara kunjungan ke kerabat. Tidak ada pula kunjungan dari kerabat.

Kondisi anak-anak mereka pun tak jauh berbeda. Sebanyak 25 di antara 151 penganut Syiah yang dipaksa mengungsi ke Flat Puspa Agro adalah anak-anak. Iklil menyebut, memang ada yang bisa mengenakan pakaian baru. ”Hanya, rasanya tetap berbeda. Sebab, mereka tidak bebas bermain,” ucapnya.

Kesunyian dan kekosongan hati mereka sedikit terobati kemarin siang. Hal itu seiring dengan kunjungan kerabat mereka dari Pasuruan, Bandung, dan Pamekasan. Salah satu yang berkunjung adalah Romli. Kedatangan pria dari Pasuruan tersebut disambut langsung Iklil. ”Saya datang bukan sekadar bersilaturahmi, tapi juga ingin menguatkan hati saudara-saudara kami di sini. Sebab, saya yakin, jika ada yang berkunjung, hati mereka akan menjadi kuat kembali,” kata Romli.

Tidak berlebihan keyakinan Romli tersebut. Sesaat setelah pria yang sehari-hari menjadi peternak itu datang, beberapa penganut Syiah lain ikut nimbrung. Mereka berbagi kata dan cerita. Tawa pun sempat meledak dua kali, meski tak terlalu keras. ”Kunjungan ini memang sangat berarti buat kami untuk menjaga hati dari kebosanan terus berada di sini,” tutur Iklil.

Tak berselang lama dari kunjungan Romli serta beberapa orang dari Bandung dan Pamekasan, warga Syiah juga menerima bungkusan yang dikirim seorang dari Mojokerto. Setelah dibuka, ternyata isinya beragam jenis mainan. Tak urung, sejurus kemudian anak-anak menghambur ke dua kardus tersebut.

Mereka berusaha mendapatkan bagian mainan. Sayang, keceriaan itu tak berlangsung lama. Setelah memperoleh mainan, mereka seperti tak lagi bergairah memainkannya. Memang ada satu dua yang memainkannya, tapi selebihnya memilih kembali ke kamar masing-masing. ”Kami harus kembali ke kampung halaman. Pemerintah harus mewujudkan keinginan kami ini. Sebagai warga negara, kami berhak mendapatkan jaminan kehidupan yang layak. Berhak mendapatkan perlindungan dan menjalankan keyakinan kami,” tegas Iklil.

Menanggapi keinginan pengungsi Sampang itu, Menteri Agama Suryadharma Ali menyatakan akan mengupayakan proses rekonsiliasi dulu. ”Ini sedang dirumuskan bersama,” ujar Suryadharma di Jakarta kemarin.

Menteri yang akrab disapa SDA itu melanjutkan, upaya rekonsiliasi tersebut didukung banyak pihak, khususnya yang dekat dengan pihak Syiah dan Sunni Sampang. Hal tersebut didasari adanya ikatan darah serta kedekatan relasi dari tiap-tiap pihak. ”Jadi, ada semangat rekonsiliasi yang luar biasa. Semangat itu didasari adanya ikatan darah. Ada pakde, paklik, ada keponakan, ada juga hubungan guru sama murid, kiai dengan santri. Sekurang-kurangnya mereka adalah tetangga. Dengan demikian, semangat rekonsiliasi sangat tinggi,” paparnya.

Saat ini, lanjut SDA, rumusan rekonsiliasi dibikin di bawah pimpinan Rektor Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Sunan Ampel Profesor Abdul A’la. Pertemuan untuk rekonsiliasi direncanakan diadakan di Puspa Agro Sidoarjo, namun bisa berubah sesuai dengan kesepakatan kedua belah pihak. Soal target, dia enggan memberikan kepastian. ”Secepatnya dan itu kita serahkan pada Rektor IAIN Prof Abdul A’la,” katanya berkali-kali.

Politikus PPP itu menekankan, pemerintah dan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) tidak pernah menjanjikan untuk segera memulangkan warga Syiah tersebut ke Sampang supaya bisa berlebaran di kampung halaman. Meski begitu, SDA menyatakan bahwa SBY menaruh perhatian lebih terhadap kasus warga Syiah Sampang itu. Sebagai bukti, dalam safari Ramadan ke Jawa Timur beberapa waktu lalu SBY menyempatkan  diri untuk bertemu dengan sejumlah ulama Madura, menyampaikan rencana rekonsiliasi.

”Bapak presiden tidak menyebutkan soal waktu. Bapak presiden meminta supaya ada rekonsiliasi dan para pengungsi bisa kembali ke kampung halaman masing-masing,” ungkapnya. (ken/c11/kim)

BACA ARTIKEL LAINNYA... Pisang Songgolangit, Primadona Baru di Lumajang yang Akan Dipatenkan


Redaktur : Tim Redaksi

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler