Tanpa Tata Cara Pemilihan Ketum, Munas Golkar Rentan Kehilangan Legitimasi

Kamis, 28 November 2019 – 13:51 WIB
Ilustrasi Golkar. Foto: dok/JPNN.com

jpnn.com, JAKARTA - Politikus Golkar Ton Abdillah Has khawatir Munas Golkar awal Desember nanti kehilangan legitimasi baik secara hukum maupun politis.

Ton menilai, keengganan sebagian pengurus DPP, khususnya Ketua Umum Airlangga Hartarto membahas serta mengesahkan tata cara pemilihan pimpinan partai dalam pleno, Rabu (27/11) malam, mencederai demokrasi di tubuh Partai Golkar.

BACA JUGA: Pasar & Pelaku Bisnis Bereaksi Negatif Jika Airlangga Ngotot Pimpin Golkar

"Hal itu berisiko menempatkan hasil Munas mendatang kehilangan legitimasi. Lebih jauh lagi, kondisi ini berpotensi mendorong Partai Golkar pada perpecahan," katanya dalam keterangan tertulis yang diterima redaksi, Kamis (28/11).

Ton mengatakan, rapat pleno DPP Partai Golkar malam tadi berlangsung tanpa pembahasan materi Munas. "Steering committee yang bertanggung jawab menyusun materi Munas hanya memaparkan kisi-kisi melalui slide di proyektor tanpa membagikan atau menunjukkan secara utuh sejumlah materi krusial yang membutuhkan pengesahan pleno," tuturnya.

BACA JUGA: Airlangga Hartarto Janjikan Bonus

Menurut pria yang juga Ketua DPP Majelis Dakwah Islamiyah ini, di antara materi krusial tersebut adalah laporan pertanggungjawaban dan tata cara pemilihan ketua umum/ketua formatur dan anggota formatur.

"Meskipun diinterupsi banyak pengurus, ketua umum Airlangga Hartarto yang memimpin langsung rapat pleno beralasan hal tersebut akan dibahas di Munas sebagai forum tertinggi sehingga tidak perlu dibahas pada rapat pleno pengurus," katanya.

BACA JUGA: Saksi Mata Pertemuan Airlangga-Bamsoet Pastikan Tidak Ada Kesepakatan yang Dilanggar

Ton mengaku bisa memaklumi jika konteksnya adalah draf perubahan AD/ART atau draf rekomendasi Munas. "Namun, logika yang sama tentu tidak tepat jika mengacu pada laporan pertanggungjawaban serta tata cara pemilihan pimpinan partai," ucapnya.

Laporan pertanggungjawaban, imbuh Ton, merupakan laporan kolektif pengurus yang mestinya dibahas dan disahkan sebelum disampaikan pada forum Munas. Sementara tata cara pemilihan pimpinan partai merupakan aturan yang harus ditetapkan sebelum Munas. "Tahapannya sudah dimulai sebelum Munas digelar, yaitu tahap penjaringan calon ketua umum/ketua formatur," ujar Ton.

Menurut Ton, sebagai forum tertinggi, memang bisa saja terjadinya perubahan tata cara pemilihan jika dikehendaki peserta Munas, tetapi kewajiban pimpinan pusat ialah menjalankan amanah Anggaran Rumah Tangga BAB XIV tentang Pemilihan Pimpinan Partai pasal 50, di mana poin kelimanya (terakhir) menyebutkan akan diatur dalam peraturan tersendiri.

"Sehingga draf tata cara pemilihan pimpinan partai yang disusun SC Munas belum sah digunakan jika belum dibahas dan disahkan rapat pleno pengurus. Pada draf tata cara pemilihan pimpinan partai yang disusun SC juga terdapat ketidaksesuaian dengan ART, di mana paparan lisan ketua SC menyebutkan adanya perubahan tata cara pencalonan menggunakan rekomendasi tertulis minimal 30 persen pemilik suara," ujar Ton.

"Sementara ART pasal 50 menyebutkan pemilihan Ketua Umum DPP dilakukan secara langsung oleh peserta Musyawarah melalui tahapan penjaringan, pencalonan dan pemilihan. Terdapat ambiguitas penempatan pasal 12 poin 4 huruf A yang seharusnya diletakkan pada fase pencalonan melalui pemilihan langsung (voting) di forum Munas, bukan sebagai mekanisme penjaringan lewat rekomendasi tertulis," imbuhnya.

Ton pun menilai, situasi menjelang Munas X Partai Golkar ini sangat rentan menjauhkan partai dari konstituennya. "Khususnya masyarakat kelas menengah yang selama ini mendukung Golkar karena karakter dan tradisinya yang terbuka dan demokratis," pungkasnya. (*/adk/jpnn)


Redaktur & Reporter : Adek

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler